Syifa mempunyai seorang adik laki-laki, Faiz, berusia satu tahun yang juga dirawat oleh baby sitter yang umurnya lebih muda dariku, kira-kira umurnya baru menginjak awal dua puluhan bernama Nina.
Nina pembawaannya ceria, tipe-tipe remaja yang masih ingin serba tahu. Tapi dibalik sikapnya yang kadang kekanakan, dia sangat bertanggungjawab pada Faiz. Faiz pun sangat dekat dengannya.
Suatu hari kami sedang mengajak Syifa dan Faiz bermain bersama di ruang keluarga.
"Ka Sha, kan sudah pernah nikah. pasti bisa dandan kan. Ajarin Nina dong."
Aku menahan tawa mendengar permintaan Nina.
"Duh koq jadi ngebet belajar dandan. lagi ada gebetan ya?"
Nina tersipu malu. "Ah Ka Sha bisa saja. Ajarin ya! Please! Please!" mohonnya.
Astaga selama ini aku mana pernah dandan. Paling mentok bedak sama lipgloss doang.
Tapi demi membuat hati Nina senang aku membrowsing cara make up simple untuknya di youtube. Nina nampak antusias sekali.
Dan kami menghabiskan waktu hampir dua jam untuk belajar make-up selama Syifa dan Faiz tertidur.
Aku hanya bisa menahan tawa saat melihat hasil kreasiku di wajah Nina. Tak ada yang sinkron, alis kiri ketebalan, eye shadow kanan lebih hitam dari kiri. Dan lipstik yang membuatnya seperti emak-emak ikut arisan. Merah merona.
Gagal.
***
Lagi. Syifa harus kami angkut kembali ke UGD rumah sakit tengah malam buta. Atas perintah dokter Syifa harus opname. Seminggu lebih aku menemaninya di ruang anak.
Ibu Melinda selalu menyempatkan waktunya untuk menjenguk Syifa di sela-sela kesibukannya. Jangan lupa masih ada Faiz di rumah yang juga masih sangat memerlukan perhatiannya.
Aku kagum dengan ibu Melinda, ia rela bersusah payah ditengah malam bangun hanya untuk pumping ASI untuk Faiz jika ia bekerja keesokan harinya.
Aku tau ia sangat kelelahan. Ia tetap bisa memberikan kasih sayang yang penuh untuk kedua buah hatinya sebagai wanita karir. Tiba-tiba saja aku jadi kangen sama ibuku. Sudah sebulan tidak pulang karena kondisi Syifa yang terus naik turun. Aku tidak tega meninggalkannya. Aku tak tau apa saja yang bisa terjadi pada Syifa jika aku tak ada. Menitipkan Syifa pada Nina adalah hal yang mustahil karena Nina orang yang luar biasa panikan.
***
Saat aku tengah menyuapi Syifa di ruangan, seorang perawat masuk untuk memeriksa tanda vital Syifa.
Perawat muda itu mengangguk segan padaku. Ia tau jika aku adalah perawat juga. Dalam dunia medis sikap hormat kepada senior adalah sebuah keharusan. Aku pun memberikan senyum terbaikku untuknya.
"Ka Sha, kata dr.Ridwan mau bicara sama orangtuanya Syifa. Ada yang ingin disampaikan."
Perlu beberapa detik untukku bisa merespon ucapan Sarah, perawat muda itu. Pikiranku traveling ke mana-mana. Apa sesuatu tengah terjadi pada Syifa. Apa keadaan Syifa memburuk.
Suara Sarah menyentakkan lamunanku. Ia bahkan harus memanggilku berkali-kali saat aku tersadar.
"Iya nanti aku sampaikan kalo ibu Melinda datang ya," kataku.
Sarah tersenyum. "Kalo gitu aku permisi ya, Kak."
Aku mengangguk. Mengantarkan Sarah hingga ke depan pintu. Dan berdiri di sana beberapa saat ketika ada seorang dokter yang terlihat masih muda melewati kami bersama dua orang perawat lain.
"Pagi, Dok!" sapa Sarah ramah.
Dokter itu berhenti sebentar untuk menjawab salam Sarah.
"Pagi," balas dokter itu tak kalah ramah pada Sarah. Kemudian dia menoleh padaku sesaat dan juga tersenyum.
Aku hampir mengenal seluruh dokter di rumah sakit ini karena saking seringnya menginap di sini rumah sakit ini sudah layaknya rumah kedua bagiku. Dan ini kali pertama aku bertemu dengan dokter itu.
Aku mengangguk hormat pada dokter itu dan membalas senyumnya.
"Dokter baru, Ka," ungkap Sarah tanpaku tanya.
Sekilas aku melihat rona merah pada pipi chubby Sarah saat mengatakannya. Wahh pasti dokter itu masih single, pikirku.
"Jangan-jangan bakal ada cerita cinta lokasi antara dokter dan perawatnya nih," Godaku membuat wajah Sarah semakin memerah. Dia tersipu malu. Dan ijin pergi karena takut aku semakin menggodanya.
***
Sore hari baru ibu Melinda datang. Ia bergegas menemui dr.Ridwan, Dokter spesialis jantung yang selama ini menangani Syifa.
Saat Ibu Melinda kembali ke ruangan, aku merongrongnya dengan berbagai pertanyaan mengenak kondisi kesehatan Syifa.
"Tenang dulu, Sha. Syifa baik-baik saja!"
Aku langsung bernafas lega. Terasa ada aliran air deras yang mengalir di tenggorokan yang sejak bertemu Sarah tadi seperti ada bara api saking gugup dan cemasnya memikirkan kondisi Syifa.
"Lalu kenapa dr.Ridwan manggil Ibu?" tanyaku kemudian.
Ibu melinda tersenyum.
"Dr.Ridwan akan pensiun. Jadi tugasnya untuk merawat Syifa sudah beliau alih tugaskan kepada dokter spesialis jantung yang baru. Tadi beliau mengenalkan dokter itu padaku."Aku hanya ber-oh ria. Padahal aku sangat menyukai dr. Ridwan. Beliau sangat mengayomi kepada pasien. Terutama anak-anak. Syifa bahkan sangat dekat dengan beliau.
"Nanti kamu juga harus kenalan ya sama dr. Aqly."
Ohh, jadi dokter baru yang akan merawat Syifa bernama dokter Aqly, benakku.
"Ganteng lho, Sha." Ibu Melinda cekikikan.
Aku mengernyitkan kening. Sangat jarang aku mendengar beliau memuji fisik orang lain. Berarti dokter itu memang ganteng mungkinmungkin kali ya.
***
Makasih banyak yaaa buat kalian yang baca, vote dan komen 😍
Jangan lupa follow akun aku juga ya😁😁☺😇

KAMU SEDANG MEMBACA
SHA (Completed)
Chick-Lit"Udah punya pacar?" tanya dr. Zain sambil masih fokus mengisi rekam medis pasien. Malah aku yang dibuatnya gagal fokus. Apa aku tak salah dengar. dr.Zain bercanda kali. "Be..belum.." jawabku terbata. "Calon suami?" Lah, pacar saja tak punya apalagi...