O2, DRAMA PULANG SEKOLAH

2.6K 487 20
                                        

"Ly, pokoknya lo nggak boleh jauh-jauh dari gue," ujar Deon sembari menghalangi langkah Lily. Cowok itu sudah mengucapkan kalimat itu berulang kali, membuat Lily mau tak mau harus menyahuti.

"Kenapa sih?"

"Gue takut lo jadi inceran Jaden."

Bukankah ini terlalu berlebihan untuk dua orang teman? Sedari awal, dia sudah menolak pernyataan cinta Deon yang sudah terhitung puluhan. Tidak pernah sekalipun memberi harapan.

Tak mendapat jawaban, Deon pun melanjutkan. "Dia taunya lo deket sama gue. Takutnya dia gangguin lo buat balas dendam ke gue."

Lily merotasikan bola matanya. Sepertinya cowok itu perlu kaca, bila perlu yang besar ukurannya. "Itu bukannya sifat lo ya? Acara berantem kemarin juga lo kan yang mulai ngusik kehidupan mereka? Nyabotase motor si Abra."

"Kok lo bisa tau?" tanya cowok itu dengan raut terkejut.

Lily menepuk bibirnya pelan. Sial, kenapa bisa keceplosan? Lalu dengan tenang berusaha melontar jawaban.

"Ya taulah! Orang beritanya udah nyebar. L-lagian gue tuh udah kenal lo setahun. Sifat lo, gue udah hafal di luar kepala."

"Terserah, pokoknya lo pulang sama gue! Nggak terima penolakan."

Kalimat milik Deon membuat Lily mengumpat tertahan. Perkataan tadi kalau dibaca dalan novel, pasti akan menuai banyak pujian. Tapi tidak untuk Lily, baginya itu tetap sebuah pemaksaan.

"Dih, lo pikir keren ngomong gitu? Pemaksaan, babi. Minggir."

Saat Deon hendak menarik tangan Lily, ponsel cewek itu berbunyi. Melihat nama Mama di layar ponselnya, Lily tersenyum gembira.

Dengan semangat dia mengangkat ponselnya ke depan wajah Deon yang tampak sedikit kesal. "Nih liat, nyokap gue udah telepon. Sana jauh-jauh dari gue."

Baru saja jemarinya hendak menggeser tombol hijau, Deon sudah terlebih dulu mengambilnya dengan kasar. "Kebetulan, gue izin ke nyokap lo. Biar gue aja yang nganter pulang."

"BALIKIN DEON ANJING!"

"Enggak—"

TITTTT

Bunyi tlakson mobil mengalihkan perhatian keduanya. Lily menggigit bibir setelah melihat mobil yang baru terparkir. Dia tahu persis siapa pemilik mobil ini. Siapa lagi kalau bukan Jaden?

Melihat Deon yang kebingungan, Lily dengan cepat mengambil ponselnya dari genggaman cowok itu. Kemudian menuju mobil berwarna hitam dengan terburu-buru. Dia tak mau membuat Jaden menunggu, terlebih lagi cowok itu sedang cemburu.

Deon yang baru tersadar dari lamunannya berteriak. Tak mau menanggapi, Jaden dengan segera memutar arah mobilnya.

Mungkin kalian bertanya-tanya mengapa Deon tak menaruh curiga pada mobil milik Jaden. Mudah, Jaden selalu membawa ducati setiap berangkat sekolah. Dia selalu menyempatkan diri pulang ke rumah untuk mengganti kendaraannya. Demi menjemput pacarnya.

Jadi singkatnya, tidak ada yang pernah melihat cowok itu mengendarai mobil selain Lily tentunya.

"Kirain kamu nggak bakal jemput aku."

"Kenapa? Mau pulang sama Deon?"

"Nggak gitu, Jaden. Maksud aku, kamu tuh apa nggak repot kalau harus ganti kendaraan dulu buat jemput aku?"

"Enggak."

"Tapi kalau kamu jemput aku, terus dilihat sama Rara atau yang lain gimana? Dulu kan aku masih bisa bilang kalau kamu pacar aku. Ya meski mereka nggak pernah tau kamu."

"Terus?"

"Kalau sekarang, aku bilang sama mereka kita udah putus. Hehehe. Soalnya— mereka minta ketemu sama kamu."

"Oh."

Mendengar balasan cuek dari sang pacar, bukannya takut Lily justru tertawa melihat cowok di sampingnya yang masih berusaha serius menatap jalanan Jakarta.

"Mau makan, Jaden. Laper."

Cowok itu tidak menyahuti, tapi sudah dapat dipastikan kalau dia mendengar permintaan Lily. Buktinya, mobilnya berbelok ke drive thru MCD.

•••

Jaden memberhentikan mobilnya di depan gerbang rumah Lily. Membuat cewek itu memanyunkan bibirnya, karena itu artinya cowok itu akan langsung pergi.

"Udah sampai, turun."

"Nggak mau. Maunya turun sama kamu. Temenin aku makan di ruang tamu. Sebentar aja, lima belas menit, ya?"

Jaden menatap Lily yang masih memasang wajah memelas. Kemudian kembali menjalankan mobilnya menuju halaman rumah cewek itu dengan menahan senyum yang hampir terulas.

Lily merebahkan tubuhnya ke sofa tanpa memperdulikan rok sekolahnya yang tersingkap, memperlihatkan seperempat paha mulusnya. Jaden yang melihatnya langsung mengalihkan pandangan, cowok itu melempar jaketnya ke Lily lalu berdehem pelan.

"Nggak usah mancing."

Lily mengerutkan dahi mendengar ucapan Jaden. Kemudian pipinya memerah saat menyadari sesuatu.

"Makan," perintahnya yang dengan cepat diangguki Lily.

Lily memperhatikan cowok yang sibuk menguyah burgernya dari samping. Menelusuri pahatan wajahnya dengan seksama sebelum memanggil namanya.

"Jaden."

"Hmm?" jawabnya tanpa menoleh.

"Hadap sini dulu."

"Apa?"

"Aku suka kalau kamu cemburu. Tapi bisa nggak kalau cemburu jangan diem gini? Nggak seru, tau."

Cowok itu meletakkan burgernya di atas meja. Setelah itu kembali menatapnya. Perlahan, Jaden mulai mendekatkan wajahnya ke Lily. Membuat pikiran cewek itu ke sana ke mari, hingga memutuskan untuk menutup matanya dengan percaya diri.

Jaden tersenyum geli. "Ngapain tutup mata?"

"IH NGESELIN BANGET SIH!"

"A-awas, aku mau makan!" sambungnya seraya mencoba mendorong cowok itu.

"Bentar."

Jaden meraih pinggang Lily. Cowok itu memperhatikannya dengan tatapan memuji. Hingga— fokusnya nyaris hilang kendali. Kenapa Lily harus secantik ini?

"Aku nggak cemburu. Aku tau, kamu nggak suka sama Deon. Sukanya sama aku, iya kan?"

"Dih, pede bang—"

Belum sempat menyelesaikan balasannya, Jaden sudah terlebih dahulu mengunci bibir Lily dengan— bibirnya. Mata Lily membulat dengan sempurna. Walaupun sempat membayangkan kejadian ini di benaknya, tetap saja ini terlalu tiba-tiba.

Tidak ada pergerakan, lebih ke arah kecupan dibanding dengan ciuman. Namun durasinya sedikit lebih lama. Setelah Jaden memisahkan bibir mereka, Lily seperti orang yang lupa ingatan.

"Maaf, kelepasan."

JADEN SIALAN.

•••

sksjsjsjsk, apa tidak
gemes, hah?!

BACKSTREET [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang