13, JADEN, LET'S BREAK UP

1.5K 265 22
                                        

Lily menatap pantulan dirinya di cermin. Sudah terhitung ratusan dia berlatih pengucapan. Meski demikian, rasanya berat sekali untuk menyeret tubuh keluar kamar. Padahal, Deon sudah sampai lima belas menit lalu. Entah berapa lama lagi cowok itu harus menunggu.

"Lily, lo dandan lama ba— anjir. Gue kira lo dandan ternyata masih acak-acakan gini. Deon udah nungguin lo dari tadi loh Ly," komentar Lyra.

Lily mengabaikan. Dia mengunci rambutnya asal-asalan. Kemudian masuk ke kamar mandi untuk berganti hoodie kebesaran.

"Kalau penampilan lo gini gimana Jaden yakin lo bahagia sama Deon?" cibir Lyra kembali.

"Terus? Gue harus pakai gaun? Mending lo diem deh nggak usah bacot. Panas kuping gue." Lily menyambar ponsel, kemudian bergegas turun meninggalkan Lyra yang tersenyum puas.

Sedangkan Deon tampak berkali-kali melihat ke arah jam dinding. Mendengar suara langkah kaki dari tangga, dia segera bangkit dari duduknya.

"Cantik," puji Deon.

Lily merotasikan mata. Cowok ini tak pantas memujinya, tapi untuk kali ini Lily harus tahan. Belum lagi saat Deon menautkan kedua tangan.

Setelah mobil Deon keluar dari halaman, cowok itu mencoba memancing pembicaraan. Tapi yang Lily lakukan hanya memandang ke arah luar jendela tanpa mau memberi jawaban.

Bahkan, Lily kembali terdiam cukup lama saat mobil sudah sampai di parkiran. Deon diam-diam mengepalkan tangan, kenapa cewek itu kentara sekali dalam berekspresi?

Deon mendekatkan wajahnya ke telinga Lily. Mengendus potongan leher cewek itu, lalu berbisik. "Jaden nggak akan mau putus kalau lo loyo gini. Inget tujuan lo bawa gue ke sini kan?"

Lily langsung mendorong tubuh Deon kala tangan cowok itu dengan lancang meraih pinggangnya. "Brengsek. Nggak usah macem-macem!"

Deon tersenyum miring. "Sama calon pacar nggak boleh gitu. Lo juga pasti udah sering sama Jaden."

Pipi Lily memerah, marah. "Lo sama Jaden itu beda. Nggak akan pernah sama." Lily keluar dari mobil sebelum Deon berbuat yang tidak-tidak. Sementara Deon mencengkram stir mobil kuat sebelum menyusul cewek itu.

Lily mengambil napas setelah sampai di lantai tiga. Deon merangkul pundaknya dan dia membalas dengan terpaksa.

Sedangkan Jaden, cowok itu sedang mogok makan. Dalam hati dia sesekali mengeluh, karena sekarang untuk berjalan saja dia merasa amat kesusahan.

Dia tau, kondisinya akan membaik. Hanya saja, dia benar-benar tak suka ketika ada orang yang memberikan tatapan kasihan. Itulah alasan dia tak mau bertemu banyak orang sampai dia bisa kembali berjalan dengan normal.

Kamar pasien itu tampak gelap Jaden benar-benar memerintahkan Abra menutup seluruh jendela dengan gorden. Tak ada celah cahaya masuk. Sudah puluhan kali Jaden menolak orang-orang datang untuk membesuk.

Lily mengetuk pintu. Abra melirik ke arah Jaden yang sibuk bermain ponsel. "Ada yang dateng, mau gue usir lagi atau suruh masuk?"

"Tergantung," jawab Jaden.

"Tergantung gimana?"

"Tergantung siapa orangnya."

Abra mengangguk. Saat membuka pintu, senyumnya terukir. Tapi setelah melihat seseorang di samping Lily yang memeluk erat bahu cewek itu, Abra jadi berpikir.

"Gue sama Deon mau ngomong sama Jaden. Bertiga," ujar Lily.

Abra menggelengkan kepala. Menepis tuduhan buruk mengenai dua orang ini. "Jaden bakal seneng lo dateng. Tapi temen lo yang satu ini kayaknya harus gue tahan. Dia nggak boleh masuk."

"Kalau Deon nggak boleh masuk, gue juga nggak akan masuk," Jawab Lily.

Abra mengerutkan dahi. Deon tersenyum, kemenangan tinggal selangkah lagi. Lily melirik ke dalam. "Gue nggak lama kok Bra. Sepuluh menit. Gue juga punya banyak urusan abis ini."

Deon mendorong Abra dari depan pintu. Kemudian keduanya masuk, sedangkan Abra kebingungan di luar ruangan.

Jaden mengalihkan pandangan begitu mendengar langkah kaki mendekat. Sama seperti Abra, Jaden juga kebingungan saat melihat dua orang itu bermesraan.

"Kenapa? Kaget?" tanya Deon sembari tersenyum remeh. Berbeda dengan dugaan cowok itu, Jaden hanya memasang wajah datar melihat Deon memeluk mesra pinggang Lily.

Tak ada satu kata pun yang lolos dari bibir Jaden. Cowok itu lurus memandang Lily, mengabaikan keberadaan Deon.

"Jaden, let's break up," ujar Lily cepat.

Nyaris saja Deon tersenyum sempurna, tapi Jaden benar-benar tak memberikan reaksi apa-apa. Cowok itu memang selalu sulit Deon tebak.

"Kenapa mau putus?" tanya Jaden. Cowok itu berusaha mati-matian agar terlihat tenang meski amarahnya sudah memuncak.

Hati Lily tergores melihat cara Jaden menatapnya. Namun dengan pendirian yang sama, dia meraih lengan Deon untuk dia peluk.

"Paham kan apa maksudnya?" tanya Deon sembari mencium puncak kepala Lily.

Sial, seandainya lengannya tak terbungkus perban, Jaden pasti sudah melayangkan pukulan pada Deon. Tapi...... kenapa cewek itu hanya diam?

"Tapi kayaknya lo belum paham. Jadi, gue bakal jelasin. Gue sama Lily, pacaran," jelas Deon.

Jaden menarik satu sudut bibirnya. "Sejak kapan Lily suka sama lo?"

"Man, kita udah saling suka sejak lama. Tapi gue keduluan sama lo. Dan lo tau kenapa Lily mau pacaran sama lo? Karena lo ketua Jaguar. Musuh terbesar gue dan Mayapada. Dengan Lily pacaran sama lo, gue bisa tahu kelemahan kelemahan lo."

"Sekarang, coba bilang sama gue, sejak lo pacaran sama Lily apa lo berani mukulin anak Mayapada seberingas dulu? Enggak. Karena kelemahan lo ada di Lily. Sedangkan Lily bagian dari Mayapada. Ah, satu lagi, di saat anak-anak Sutasoma ngeroyok lo, gue sama Lily lagi asik liburan. Makasih loh, udah ngasih waktu gue buat berduaan."

Bola mata Jaden bergulir perlan. Meminta Lily menjelaskan. Dia akan meras bodoh jika dia mempercayai ucapan Deon barusan. Rasanya Lily ingin menggeleng, tak mau membenarkan. Karena apa yang dikatakan Deon adalah kebohongan. Belum lagi Jaden memandangnya seolah meminta harapan.

Tapi cewek itu malah mengangguk. "Apa yang diucapin Deon bener. Kemarin waktu gue bilang gue mau liburan sama keluarga, sebenernya gue liburan sama Deon. Kalau lo nggak percaya, gue punya fotonya."

Jaden terhenyak. Gaya bicara Lily langsung berubah. Sial, dia benar-bemar tak mengerti dengan situasi kali ini. Belum lagi, Lily benar-benar menunjukkan foto mereka berdua di tempat liburan.

Bibir Jaden berat untuk tebuka. Benar-benar tak tau harus berbicara apa. Jauh dari lubuk hatinya, Jaden yak percaya. Belum lagi penjelasan Deon terdengar sedikit cacat logika. Tapi dia tak bisa memungkiri kalau rasanya sesakit ini melihat Lily menggenggam tangan Deon.

"Jadi, sebenernya lo nggak cinta sama gue? Lo cuma mau bantuin Deon buat ngalahin gue?" Suara Jaden terdengar semakin berat. Di akhir kalimat seperti tercekat.

"Ya," jawab Lily.

Jaden tertawa. Bingung harus menyalahkan siapa. Dirinya yang jatuh cinta terlalu dalam, Deon yang merusak kisah cintanya, atau Lily yang ternyata tak mencintainya?

Percaya tak percaya, bahagia maupun tidak, berada di sisi Jaden memang terlalu beresiko bagi Lily. Mungkin sudah saatnya Jaden melepas cewek itu pergi.

"Lo berdua bisa pergi, bahagia terus."

Lily segera berbalik badan. Dia merasa matanya sudah tak kuat membendung air mata yang sedari tadi dia tahan.

•••

AH GA TAU GUE NULIS APAAN.

BACKSTREET [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang