"Ly," Jaden berusaha meraih pundak cewek yang menatap marah, sedih, dan bingung ke arahnya.
Acara makan malam bersama dengan kedua orang tua Jaden memang berjalan menyenangkan. Mulus tanpa kendala, sebelum sang Ayah tak sengaja mengungkit persiapan keberangkatan Jaden. Saat itu, daging di piring Lily sisa dua suap. Masakan enak yang sejak awal masuk ke mulutnya menjadi hambar. Dia ingin Jaden menjelaskan semuanya secara lengkap. Tanpa terlewat satu kata pun.
"Maaf." Jaden menundukkan kepala. Dia tahu, Lily marah. Dia juga bingung harus menjelaskan ini bagaimana.
"Maaf buat apa?" sahut Lily cuek.
Jaden menghela napas. "Maaf karena tiga hari lagi aku bakal ninggalin kamu."
Lily tertawa hambar. Dia ingin mencegah Jaden pergi, tapi apa haknya? Ini semua keinginan Ayah Jaden, Lily tidak seharusnya ikut campur. Tapi, kalau boleh jujur, Lily ingin egois.
"Aku nggak tau, Den. Sumpah. Bingung banget. Nggak ngerti harus kayak gimana ngasih respon ke kamu." Lily berjalan sedikit menjauh dari Jaden, lalu berhenti ketika dirasa sudah cukup jauh. Berdiri memunggungi cowok itu, dan mengusap air matanya yang meluncur tanpa aba-aba.
Hubungan sembunyi-sembunyi mereka sebelum putus saja sudah berat. Apalagi ini? Ldr dengan Jaden? Lily rasa sehari saja bisa terasa seperti satu tahun.
Jaden mendekat. Cowok itu membawa Lily dalam pelukannya. "Nggak papa kalau mau nangis."
Isakan kecil mulai terdengar di telinga Jaden. Dia segera mengeratkan pelukkannya dari tubuh Lily. Mengusap lembut rambut kekasihnya, lalu berbisik. "Papah alasan aku buat pergi, tapi percaya sama aku, kamu alasan aku buat kembali nanti."
Tidak ada jawaban. Jaden paham, Lily masih belum terima. Namun, dia merasakan jika pelukan Lily semakin erat.
Cukup lama mereka berdua berdiri di depan rumah besar Jaden dengan bulan sebagai saksinya.
"Berapa lama?" tanya Lily dengan suara serak sembari melepas pelukan mereka berdua. Hidung cewek itu memerah, Jaden tidak bisa menahan senyum saat melihatnya.
"Kamu maunya aku di sana berapa lama, hmm?" Jaden menunduk, mengusap sisa genangan air di pelupuk mata Lily.
"Nggak sama sekali. Maunya kamu di sini aja. Tapi, ini yang minta Papah kamu." Ya, Lily tau, bagi Jaden Ayahnya itu nomor satu. Lily sama sekali tidak keberatan dengan hal itu.
Sejenak, Jaden terdiam. Dia menatap mata Lily lekat. "Kuliah yang bener, nanti kalau kamu mau wisuda, aku pulang."
"Lama banget." Jaden terkekeh mendengar jawaban Lily yang disertai decakan lucu. "maksimal tiga tahun, ya. Kalau lebih aku cari cowok lain," sambung Lily.
"Iya, aku usahain cepet wisuda di sana. Biar cepet pulang."
"Janji?"
"Janji."
Masih, kedua insan itu masih menatap satu sama lain. Dari dorongan angin malam yang dingin, Lily memejamkan mata. Mencoba memberi sinyal kepada Jaden, untuk melakukan sesuatu dengan segera.
Dan, dengan rasa peka segunung, Jaden mendaratkan kecupan lama di dahi Lily. Bamun, bukan itu yang Lily harap. Dia ingin .... lebih. Lantas, Lily membuka mata tepat saat Jaden menjauhkan bibir dari dahinya.
"Den?"
Jaden lagi-lagi tersenyum. Dia paham ke mana arah pamdang Lily sekarang. Dengan lembut, cowok itu mencubit hidung kekasihnya. "Cium bibirnya nanti, kalau aku pulang."
"Berarti ikutnya utang, ya?"
"Iya."
"Oke nanti aku catat. Kamu punya utang cium buat tiga tahun kedepan."
•••
"Lo kenapa dah? Baru pulang ketemu camer kok kayak orang abis kesurupan? Ditolak jadi calon menantu ya?" Lyra duduk di sebelah Lily, di tangan kanannya terdapat kaleng soda yang baru dibuka.
"Mulut lo lemes banget. Ya kali cewek secantik gue ditolak jadi menantu."
Sebenarnya Lily enggan menjawab. Tetapi, dia selalu kesal mendengar celoteh Lyra. Cewek itu pun menyenderkan tubuh di sofa, lalu memejamkan mata.
"Terus kenapa dong?" Lyra meletakkan kaleng soda di meja. Menatap Lily yang tampak lesu.
Jam dinding menunjukkan pukul sebelas. Terlalu sore untuk Lyra menutup mata. Sedangkan ini, untuk Lily, ini sudah terlambat untuk beristirahat.
"Jaden .... " Lily menjeda ucapannya, sedangkan Lyra terlihat tidak sabar dengan kelanjutan kata yang akan mengudara dari bibir Lily. Namun sialnya, cewek itu malah diam. Jadi Lyra memutuskan untuk meneguk sodanya lagi.
"Jaden mau kuliah di Aussie."
"UHUK UHUK UHUK!" Pernyataan lirih dari Lily membuat soda di kerongkongan Lyra naik kembali.
Lily spontan membuka mata. Kemudian menarik senyum tipis. "Mampus lo."
"Si anjing. Terus gimana? Lo biarin dia pergi?" Lyra menggeser tempat duduknya agar lebih dekat dengan Lily. Sedangkan Lily mengangguk pelan menanggapi pertanyaan sepupunya itu.
Jujur, Lyra agak sedih dan tak rela. Mau bagaimana pun, Lyra masih menyukai Jaden. Meski dia sudah sedikit rela mengubur perasaan dan keegoisannya dalam dalam.
"Ly? Mau peluk nggak?"
Mendengar pertanyaan Lyra, Lily ngeblank. Namun selang beberapa detik, dia berhambur memeluk sepupunya untuk pertama kali. Ya pertama kali.
"Lo masih suka sama Jaden, ya?" gumam Lily membuat Lyra buru-buru melepas pelukan mereka.
Cewek itu mengangguk, lalu menghela napas. "Hedeh, padahal niat awal cuma iseng mau ngerebut dia dari lo. Eh beneran suka. Sialan."
Respon dari Lyra sukses membuat Lily tertawa. "Aduh, sorry to say nih, sebenernya gue mau bilang 'semoga lo dapet yang lebih dari Jaden', tapi kayaknya nggak mungkin."
"LO MENDING NANGIS AJA DAH. ANJING."
•••
Note :
Uhuk, uhuk. Kembali lagi
bersama saya. Jangan lupa
jejaknya ya wehhhhhhh.
TBL TBL BENTAR LAGI
TAMAT.

KAMU SEDANG MEMBACA
BACKSTREET [END]
Fanfiction(YIBO X LISA) Jaden dan Lily saling mencintai. Tetapi Gardacita dan Mayapada saling membenci. Tradisi yang kronologinya masih terkunci itu membuat hubungan mereka dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Akankah hubungan mereka berdua aman hingga hari k...