Sepasang Langkah kaki yang berlari tergesa-gesa memasuki ruangan rapat, kedatangannya tentu saja membuat rapat yang tadinya tengah berjalan baik menjadi terhenti seketika, Ia tampak sangat panik sembari membisikan sesuatu ditelinga Lukas yang kala itu tengah mengenakan setelan kemeja hitam dan sedang mempresentasikan bisnisnya pada sebuah papan proyektor dihadapan para tamu bisnis. Namun respon Pria itu sama sekali tak terganggu atas berita yang didengarnya barusan, bahkan tak sekalipun ia memperlihatkan ekspresi panik ataupun kaget selain sorotan mata tenang kepada para tamu bisnisnya.
"Mohon maaf kepada bapak dan ibu yang terhormat, saya selaku Manajer perusahaan ini merasa sangat menyesal untuk memberitahukan kepada anda bahwa rapat ini akan kita tunda hari ini dan mungkin kelanjutannya akan segera saya kabarin lebih lanjut, sebab sekretaris saya mengatakan bahwa ada urusan internal mendadak jadi mohon kesediaannya sekalian" ucap pria tersebut dengan penuh wibawa, cukup lama ia menunggu keputusan para tamu tersebut hingga akhirnya ia memperoleh tanggapan yang baik dari para tamu barulah ia langsung berjalan pergi meninggalkan ruangan rapat.
"Susan!!! Lain kali kamu bakal saya pecat kalau melakukan hal-hal yang bersifat mengganggu rapat penting saya." ketusnya kesal, ia langsung berjalan cepat memasuki ruangan kerja pribadinya, disusul oleh sang sekretaris yang bernama Susan.
"Baik pak Lukas, mohon maaf sekali lagi pak soalnya saya pikir ini adalah berita penting dari Rumah Sakit." Susan hanya menundukkan kepalanya saja, ia mulai sedikit takut pada ancaman Lukas yang kini mulai memperlihatkan wajah kesalnya.
Tentunya semua pegawai perusahaan sangatlah mengenal jauh akan sosok Lukas ini, seorang Manajer muda yang sangat membanggakan perusahaan dengan keahliannya yang lihai dalam menjalankan tanggung jawabnya sehingga tak jarang ia selalu menjadi kebanggaan para atasan dan pemilik perusahaan perkebunan sendiri. Namun sayangnya setiap kelebihan pasti tak luput dalam hal kekurangan, meskipun dikenal sebagai orang yang hebat tetapi tak sedikit pegawai yang merasa takut bila berhadapan dengan Lukas, bagi para karyawan Ia adalah sosok pemimpin otoriter yang sangat emosional dan tak pernah segan-segan untuk memecat karyawan yang dianggapnya kurang berkompeten.
"Sekarang kamu bisa pergi dari ruangan saya!" Lukas melepaskan dasinya dan merebahkan diri diatas kursi kantor .
"Baik Pak, tapi saya mau ingetin lagi kalau pihak rumah sakit sudah-" Belum sempat sekretaris itu berbicara, mendadak lukas langsung memotong perkataannya.
"Mereka bukan keluarga saya, jadi gak usah terlalu buru-buru dan kamu juga gak punya hak buat mengatur saya!" bentak Lukas yang masih berusaha mengontrol dirinya, meskipun bentakkannya masih bisa didengar samar-samar oleh karyawan lain yang ada diluar ruangan.
"Baik pak." Susan langsung meninggalkan ruangan lukas tanpa bisa berkata apa-apa lagi, ia juga tak mau karirnya hilang hanya karena mencoba meminta bosnya itu untuk segera datang ke Rumah Sakit.
Begitu Susan telah pergi tentunya kini hanya menyisahkan Lukas saja seorang diri didalam ruangan, saat ini terlihat lukas sedang mencoba menenangkan dirinya yang sudah terlanjur terlahap emosi, berulang-kali Ia memainkan pulpen cair digenggamanan tangan dan sesekali melirik kearah jam yang ada ditangan kiri.
"Oke, aku harus memastikan kalau bunda gak tahu kabar ini!" gumam Lukas, ia tak bisa menyembunyikan raut wajah khawatirnya dan segera menghubungi mbok Susi dari handphone .
"Halo, Selamat siang Pak Lukas. Ada apa ya pak?" tanya ramah mbok Susi dari seberang telepon.
"Bunda gimana keadaannya?"
"Alhamdulillah baik-baik saja Pak, malahan hari ini Ibu bilang kangen sama Bapak"
"Oh baguslah mbok susi, bilang sama bunda lain kali saya datang ya."
"Baik pak." jawab mbok Susi dari seberang telepon, ia merupakan seorang pengasuh sekaligus pembantu kepercayaan dari Ibunya Lukas.
"Oh iya, mbok udah nerima telepon dari rumah sakit gitu?" tanya Lukas lagi, nada suaranya lebih serius kali ini.
"Belum ada Pak, memangnya kenapa Pak?"
"Oke baguslah kalau belum ada, intinya mulai hari ini kalau ada yang nelepon dari pihak Rumah Sakit gitu lebih baik jangan diangkat dan pastikan kalau Bunda gak tahu ya"
"Iya Pak, baik.." Mbok Susi hanya mengiyakan saja, meskipun tidak menutup kemungkinan kalau saat ini ia mulai penasaran dengan nada suara Lukas yang tampak khawatir .
"Ya sudah, saya matikan teleponnya ya." timpal Lukas yang langsung mengakhiri panggilan tersebut tanpa menunggu respon Mbok susi, dan jika boleh jujur kini perasaannya mulai sedikit tenang. Ia mulai menghembuskan nafas panjang dan mengucek-ngucek wajahnya berkali-kali, entah kenapa walaupun sudah sedikit tenang namun tetap saja ia belum merasa lega setelah memastikan bahwa bundanya tidak mengetahui apa-apa mengenai kejadian itu seakan-akan ia sedang menyembunyikan sesuatu hal dari sang Bunda dan setiap kali mengingat kabar itu membuat lukas tak dapat menyembunyikan rasa amarahnya yang becampur lebur dengan kegelisahan yang sangat besar.
Berkali-kali Lukas mencoba meneguk kopi digelas dan menggenggam erat jemarinya, tetapi tetap saja hatinya terasa sangat mengganjal dan tanpa disadarinya, tetesan air mata mulai mengalir disekujur wajah, Pria itu mungkin bisa saja membohongi semua orang tentang segala hal mengenai dirinya, termasuk juga perasaan yang saat ini berusaha ia sembunyikan rapat-rapat . Akan tetapi , pastinya akan terlalu sulit bagi pria itu untuk menipu dirinya sendiri, dan air mata yang menetes disekujur wajahnya itulah menjadi saksi nyata kalau saat ini ia sedang tidak baik-baik saja.
"Haaaaa....." teriak kesal Lukas sembari memukul kepalan tangannya kedinding, Ia mulai merasa tidak tahan lagi untuk bersembunyi dibalik topeng dan melampiaskan amarahnya kepada dinding yang jelas-jelas takkan mampu untuk berkata-kata. Kini jemarinya mulai meneteskan darah segar, namun luka ditangan itu tak sebanding dengan berjuta kemarahan besar yang masih membekas didalam diri pemuda itu.
"Kau pergi dengan seenaknya setelah memberiku rasa sakit ini, aku tak akan memaafkanmu Azka!!!!" geramnya kesal, kini hati pemuda itu telah diselimuti jutaan kebencian yang sudah menumpuk sejak lama.
"Ya Tuhan…Kenapa aku harus punya kakak sepertinya?" keluh Lukas, perlahan-lahan kakinya mulai lemas dan terduduk dilantai.
"Tidak, kau bukanlah Kakakku. " Ocehnya lagi, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau orang yang ada di Rumah Sakit itu bukanlah siapa-siapa lagi dihidupnya sejak hari itu.
"Harusnya aku senang atas kematianmu, bukannya menangis dan marah seperti ini." Ketus Lukas lagi yang tak henti-hentinya berbicara sendiri, berulang kali lukas mencoba mensugesti dirinya sendiri meskipun ia tahu kalau hal itu tetap saja takkan berhasil.
Kematian Azka benar-benar memberikan luka yang sangat mendalam bagi lukas, entah mengapa dalam sekejap mentalnya langsung ambruk begitu mendengarkan berita buruk ini walaupun sudah sedari tadi Lukas selalu saja berusaha menyangkal hal tersebut.
"Aku takkan memaafkanmu, kak." gumamnya lagi, ia mulai berdiri dan berusaha menenangkan dirinya sendiri .
"Aku tak bakal memaafkanmu, Azka!!!" Teriaknya spontan, diikuti oleh suara vas bunga yang sengaja dilemparkan lukas dari atas meja. Ia mulai kehilangan akal sehat dan berusaha meluapkan amarahnya itu pada benda-benda yang ada didalam ruangan.
Hingga keributan yang diperbuat lukas didalam ruangan dalam sekejap membuat beberapa karyawan memberanikan diri untuk masuk kedalam ruangan, dan mencoba menghentikan tindakan lukas yang bisa saja sewaktu-waktu menjadi berlebihan. Kini kita bisa melihat bahwa Lelaki berhati keras itu mulai mengalah pada rasa sedih yang sedari awal berusaha enggan digubrisnya, ia semakin merasakan perasaan kehilangan atas kematian kakak yang paling dibencinya itu. Bukan hanya memberikan duka yang mendalam saja, tetapi kematian Azka juga membuat tembok pertahanan lukas mendadak runtuh seketika, ia malah terlihat seperti lelaki depresi yang telah lama hidup dalam bayang-bayang kebencian terhadap sang Kakak. Bahkan beberapa karyawannya saja cukup kesulitan menenangkan bosnya itu dan terpaksalah salah seorang satpam keamanan memborgol tangan lukas yang sudah mengganggu keamanan kantor dan segera membawanya keluar dari ruangan menuju lantai dasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT BIRU
General Fiction~TAMAT~ Lukas tumbuh menjadi seorang pemuda kasar yang masih memendam kebencian terhadap kakaknya, entah penyebab apa yang membuat hati pemuda itu terasa kaku untuk sekedar memaafkan Sang kakak. Hingga sang takdir ikut mempermainkan kehidupannya , p...