KEPUTUSAN LUKAS

138 8 1
                                    

Hampir setengah jam lamanya Lukas menghabiskan waktu berkeliling dikoridor rumah sakit, Ia berusaha menjernihkan kembali pikirkannya dan sesekali ia mengamati tingkah pasien dan perawat yang berlalu-lalang .Matanya juga sesekali menatap jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 20.00 PM, sepertinya ia sudah terlalu lama berada disini sampai-sampai ia sendiri telah melewatkan waktu makan malam.

Akan tetapi setiapkali langkah kakinya ingin pergi dari Rumah Sakit itu, ia selalu saja teringat perkataan Ahmad tadi dan entah mengapa ia merasa tak sanggup membayangkan bila keponakannya itu dibawa ke Panti Asuhan. Ia kini mulai diselimuti perasaan ragu dan bimbang , sebab disisi lain ia juga takkan pernah bisa mengobati kebenciannya jikalau setiap saat ia harus melihat sosok sang kakak didalam diri Abil.

Ditengah kegelisahannya itu, ia memilih berdiam diri diatas balkon rumah sakit yang menghadap langsung kejalan raya, kini suasana diluar tidak terlalu macet seperti beberapa waktu yang lalu dan lampu-lampu jalan mulai menerangi para pengendara jalan.Ia juga bisa melihat beberapa warung yang ada disekitaran luar Rumah Sakit mulai terlihat ramai, sepertinya banyak orang yang memilih makan malam diluar daripada mencicipi masakan rumah. Suatu hal yang teramat dirindukan Lukas saat ini, ia bisa mengingat jelas bagaimana Bundanya harus merelakan kebahagiaannya sendiri demi mempertahankan dirinya yang sudah jelas-jelas bukanlah anak kandung sang Bunda.

Namun semenjak saat itu, perlahan-lahan kondisi Bunda mulai memburuk dan kerap sekali ia mulai berhalusinasi tentang suaminya dan azka yang teramat ia rindukan, karena kondisi buruk Bunda itulah akhirnya Lukas memberikan perawatan khusus kepada Bunda ketika ia memperoleh gaji pertamanya saat menjadi karyawan part time dan disaat itu pula Lukas tak pernah lagi merasakan masakan rumah yang dulu dirinya sukai.

Kedua matanya terlihat berkaca-kaca setiap kali ingatan masa lalu menyelimuti pikirannya. Jika saja dunia dapat diputar kembali, mungkin saat itu Lukas memilih untuk tidak bersembunyi dan menunjukan semua emosinya kepada ayah dan Azka, atau andai saja saat itu ia bisa sedikit lebih berani untuk melepaskan Bunda untuk pergi bersama azka sehingga ia tak perlu repot-repot melihat Bunda menderita seperti ini.

"Papa, nanti kita bisa pergi jalan-jalan ya kalau adik sudah sembuh!" Sebuah suara perempuan kecil yang berkisaran 7 tahun sontak menghentikan lamunan Lukas, ia menatap tajam kearah seorang lelaki tua yang mengenakan pakaian Satpam yang saat itu tengah menggendong anak perempuannya yang terlihat pucat dengan kepala gundul yang menandakan kalau putri kecilnya itu sedang menderita penyakit mematikan. Namun bukan sebuah kesedihan yang kala itu diperlihatkan ayah dan anak tersebut padahal jelas-jelas Lukas bisa melihat kalau gadis kecil itu terlihat parah,malahan hanya tawa kecil yang tampak seolah-olah tengah menyindir Lukas saat ini.

"Papa dan Mama, siapapun pasti bakal bangga memiliki keduanya.” gumam Lukas pelan, ia kembali menatap langit malam yang telah dibanjiri beribu bintang dan kilatan indah sang rembulan.

"Kau memang lucu ya takdir, kenapa harus anak seusia dia yang dibiarkan hidup sendirian?" lirih Lukas yang hanya bisa bergumam sendirian, ia merasa sangat geli setiapkali mencerna kenyataan ini sebab jika dipikir-pikir kembali, mengapa kebakaran yang terjadi digedung itu membunuh semua keluarga Abil dan hanya menyisakan abil seorang diri seakan-akan takdir sedang mempermainkan kehidupan dari keponakannya itu , kenapa juga Azka harus meninggal secepat itu padahal setahu Lukas kalau kakaknya itu adalah Pria yang cerdas dan atletis jadi hal ini benar-benar tak masuk diakal baginya.

Anggaplah mungkin ada beberapa tamu lain yang selamat, tetapi dari begitu banyaknya keluarga dari pihak sang istri malahan tak ada satupun yang selamat dari tragedi itu termasuk juga kakak laki-lakinya Lukas, hanya Abil saja yang bisa terselamatkan dan kini harus mengalami kebutaan seumur hidup yang mana pastinya hal itu memberikan trauma yang mendalam bagi sang Anak.

"Kak, kenapa kau juga sangat menyedihkan?" Ia berkali-kali memukul pelan pagar balkon, ia berusaha untuk tetap tenang dan menahan semua luapan emosi yang sedari tadi dipendamnya.

"Kau memang orang yang menyedihkan, bisa-bisanya kau meninggalkan anakmu sendirian didunia yang kejam ini. "

"Hufftt.." Ia menghembuskan nafas panjang, lalu untuk terakhir kalinya ia menggenggam erat pagar balkon cukup lama dan berjalan pergi meninggalkan balkon rumah sakit.

Langkahnya mulai semakin cepat, sepertinya ia mulai mendapatkan jawaban atas kebimbangannya beberapa saat lalu. Dengan wajah tanpa ekspresi dan suram, lelaki itu berjalan kembali memasuki ruangan mawar E . Kini ia bisa melihat Abil yang sudah tertidur lelap dan disampingnya terdapat Ahmad yang tengah membacakan sebuah dongeng anak pengantar tidur.

"Kupikir kau sudah pulang, dek." Ahmad tampa senang melihat adik sahabatnya itu kembali lagi kesana, ia pikir kalau dirinya gagal menepati janji kepada mendiang rekan sahabatnya.

"Dia sudah tidur lelap?" tanya Lukas tanpa bertele-tele, ia mendekat kearah ranjang dan menatap sekilas kearah anak laki-laki itu.

"Kau bisa lihat sendiri, jadi bagaimana keputusanmu?" Tanya Ahmad yang juga bersamaan menyerahkan sebuah browser Panti Asuhan kepada Lukas , sepertinya ia sudah duluan mempersiapkan hal tersebut jauh sebelum ia menemui Lukas tadi sore.

"Aku akan membalas budi kepada Bunda, jadi Dengan terpaksa aku akan mengasuhnya." ucap Lukas dengan nada yang datar, ia tak terlalu banyak memperlihatkan sisi emosionalnya kepada siapapun. Baginya dunia yang kejam ini takkan memperdulikan hal tersebut, sebab jika memang manusia hidup dalam sisi kemanusiaan pasti takkan ada anak-anak dan lansia yang menderita dipinggir jalan raya dengan keadaan yang sangat miris.

"Baguslah, kalau kau memang mau mengasuh abil."

"Hmm.." Lukas hanya berdehem saja.

"Ya udah kalau gak ada yang mau diobrolin lagi, aku mau pulang dan beritahu aku kalau anak ini sudah diperbolehkan pulang!" tukasnya.

"Gak ada niat untuk bermalam disini?" tanya Ahmad sembari berdiri dari kursinya dan menutup buku dongeng itu, sepertinya lelaki ini mempunyai banyak cara untuk membuat Lukas terus-menerus merasa bimbang, seakan ia sudah sangat jauh mengenal Lukas padahal hari ini adalah pertama kalinya bagi Ahmad bertemu dengan Lukas.

"Aku banyak kerjaan dari Kantor, lagipula aku akan membawanya ke Sumatera jadi ada banyak hal yang harus dipersiapkan."

"Itu bukan sebuah alasan dek, kau hanya mencoba menghindar darinya karena kau takut mengijinkan nalurimu untuk berbicara"

"Anda gak usah sok tahu." ketus Lukas yang sudah mulai kesal, " Saya gak tahu ya sudah berapa banyak yang diceritakan Lelaki itu tentang saya pada anda, tetapi yang perlu anda ketahui kalau ada banyak hal didunia ini yang anda tidak tahu dan pastinya anda gak perlu repot-repot untuk ikut campur." sambungnya lagi.

"Maaf kalau aku sudah kelewatan, baiklah kau bisa pulang dan aku akan menjaga Abil untuk beberapa hari ini dirumah sakit" Ahmad terlihat mengalah, ia tidak mau terus menerus berdebat argumen pada Lukas yang memang dikenal sikeras kepala.

"Hmmm..." dehem Lukas sebelum akhirnya ia langsung membanting pintu cukup keras saat keluar ruangan. Untungnya suara pintu itu tak sampai membuat Abil terbangun dari tidur nyenyaknya, atau lebih tepatnya memang tak ada alasan Abil untuk bangun diantara perdebatan dua orang lelaki dewasa yang secara terang-terangan enggan merawatnya.

LANGIT BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang