Skandal Di antara Kita

183 9 1
                                    

"Lihat, Ris! pertolonganmu pada gadis pingsan di saat aksi kemaren menjadi Viral. Aku tidak tau siapa yang mengambil fotomu membopong gadis itu, tapi berita ini justru meningkatkan citra baikmu."

"Iya benar, Instagram milikmu dibanjiri komentar pujian dan followers mu makin naik."

"Kalau gini kamu sudah kayak artis."

"Terima endors habis ini, Ris. Bakal banyak duit nanti kamu."

Haris tidak menghiraukan komentar teman-temannya. Pandangannya terfokus pada layar IPhone yang menampilkan foto dirinya sedang membopong gadis berjilbab itu.

Sungguh media masa telah membuat hidupnya kian terpuruk, bukan tenang justru gelisah. Kejadian semacam itu saja sudah menggegerkan dunia maya. Ternyata benar kata teman-temannya, ada begitu banyak pasang mata sedang mengintainya setiap waktu. Padahal dia bukan artis. Tentu saja, semua berubah sejak orasi dan suratnya pada sang presiden mendapat banyak dukungan dari netizen di negara +62.

Ah, tapi bukan seperti itu yang Haris inginkan, ia memang ingin terus menyuarakan kebenaran, berjuang dalam bidangnya sebagai mahasiswa kedokteran, tapi bukan menjadi selebgram yang dibanjiri komentar pujian dari para gadis di luar sana.
Sejak dirinya Viral, sudah tiga kali Haris ganti nomor telepon, karena setiap detik selalu saja ada yang menelpon bahkan ada pula yang mengirim surat cinta. Ya Tuhan, ini bukan dunianya.

"Ada banyak gadis yang mendadak jatuh cinta padamu, Ris. Luar biasa sekali." Kata David sambil masih terheran-heran membaca kolom komentar di feed instagramnya Haris.

"Setiap postingan mu di instagram mendapat like setidaknya 100.000 kali. Sangat luar biasa, Ris. Kamu jadi artis saja kalau gini, pasti banyak penggemar." Tambah Donny.

Haris tersenyum enggan. Ia justru berfikir bagaimana caranya menghentikan akun-akun yang membanjiri instagram, Facebook bahkan kehidupannya, yang hampir 100% adalah perempuan. Ia bahkan tidak bangga sama sekali di posisi saat ini. Justru teman-teman satu organisasi memandang dia sebelah mata. Sangat kontradiktif dengan kehidupan di sosial media.

"Apa aku nikah saja ya? Biar gak jadi bahan gunjingan kayak gini." Tanya Haris setengah bergumam.

"Gila! Ngapain kamu mikir sejauh itu?" Sahut Donny agak kaget dengan pertanyaan Haris barusan.

"Sejujurnya aku punya cita-cita menikah muda, Don. Karena aku tidak mau sibuk menggalau dengan pacaran bertahun-tahun seperti dirimu." Haris kalimatnya dengan memukul pundak Donny sambil tersenyum puas.

"Jahat ternyata lo!!" Seru Dony sambil seolah-olah hendak melempar Haris dengan sepatunya.

@@@

Haris berjalan melewati trotoar samping kampus 2 Fakultas Kedokteran, jalan setapak yang menghubungkan area parkir menuju laboratorium Fisiologi. Pikirannya masih sibuk mengingat-ingat foto dirinya yang membopong gadis itu.

"Jika foto itu sudah viral, apa dia tidak mendapat masalah?" Kata Haris menarik napas mencoba menghapus rasa khawatir yang tiba-tiba tumbuh, lalu ia menelpon seseorang.

"Kenapa tiba-tiba telpon?" Tanya Riska di ujung sana dengan sengit.

"Sinis banget sih, cuman mau tanya."
"Apa?"

"Kamu kenal gak dengan gadis yang tempo hari pingsan saat aksi?" Haris malu menanyakan hal tersebut, karena ia bukan tipe orang yang penasaran.

"Kenapa memangnya? Dia lagi viral gara-gara kamu." Cetus Riska sedikit menggoda.

"Ya, karena itu, aku ingin tau siapa." Suara Haris agak terbata karena malu.

"Namanya Aisyah, anak KAMMI Fakultas Pertanian."

KAMMI? Haris tahu betul organisasi apa itu, jelas sekali karena mereka tak pernah absen saat ada seruan aksi.

"Aisyah sering ikut aksi kok, masak kamu gak pernah lihat?" Kembali Riska bertanya dengan nada menggoda, tentu sebagai teman dekat sejak SMA Riska tahu dimana kelemahan Haris.

"Hahahah.. Aku tidak memperhatikan siapa saja yang ikut aksi." Tawa Haris agak canggung.

"Jangan coba-coba mendekati Aisyah, dia anak rohis, tidak seperti dirimu anak BEM."

Haris kembali tertawa, "Apa aku seperti lelaki penggoda?" Lalu menutup telpon secara sepihak.

@@@

Fakultas Pertanian Gedung 1

Aisyah nyaris ingin menangis melihat foto dirinya yang beredar di media sosial, bikin gemuruh satu kampus. Sedikit yang prihatin, selebihnya nyinyir dan berkomentar buruk. Mulai dari dia dituduh pura-pura pingsan sampai disebut mahasiswa rasis, seharusnya fokus kuliah malah ikut demo.

"Bagaimana ini, Syah? Gara-gara foto itu sefakultas jadi tahu kamu ikut aksi. Anak-anak mikir aneh-aneh." Kata Dian, teman satu kelas Aisyah.

"Bisa-bisa nanti kamu kena tegur Dosen, apa lagi kamu mahasiswi tingkat akhir yang seharusnya fokus skripsi." Tambah Dyla yang semakin membuat Aisyah takut. Banyak sekali pikiran aneh yang mampir di kepalanya.

"Siapa sih yang nyebarin foto kayak gini, Syah?" Risa datang sambil menyodorkan layar ponselnya, namun Aisyah memilih tertunduk.

"Kayak gini bisa menimbulkan fitnah." Tambah Risa khawatir.

"Fitnah gimana maksudmu, Sa?" Tanya Dyla.

"Ya jelas fitnah. Aisyah itu anak rohis, terus tiba-tiba fotonya tersebar di media sosial sedang dibopong oleh seorang lelaki, dan parahnya lelaki itu adalah Haris. Siapa yang tidak akan mengkritik Aisyah? Kalian tahu kan bagaimana sepak terjang Haris?"

Aisyah kian tertunduk kalut, kali ini dadanya terasa ngilu. Aib kah ini? Selama ini ia tidak pernah memposting foto dirinya di media sosial, Aisyah sangat menjaga dirinya. Lalu kejadian kali ini sangat membuatnya malu. Ini bukan lagi tentang Haris, atau siapa yang menolongnya saat itu, tapi ini tentang izzah dan iffah nya sebagai perempuan.

"Jangan bilang gitu, Sa! Nanti Aisyah tambah sedih."

"Maafkan aku Syah." Risa nampak menyesal.

"Aku sebaiknya pulang. Aku ingin menenangkan diri." Sahut Aisyah lalu melangkah pergi, meninggalkan Dyla dan Risa dalam kekhawatiran.

@@@

Aisyah datang ke kantin Fakultas Ekonomi. Ibunya sudah lama jualan di kantin sejak sebelum Aisyah kuliah. Ia merasa sangat bersalah saat melihat ibunya.

"Kenapa wajahmu begitu?" Nada suara ibunya nampak santai.

"Maafkan Aisyah, Bu." Aisyah mendekap ibunya dari belakang. Di balik punggung hangat itu ia menumpahkan air mata. Ibunya tahu berita itu, namun ia memutuskan untuk diam.

Di ujung sana Haris melihat semua, dia berdiri menatap dengan rasa bersalah.


Happy Reading
Terima kasih sudah membaca 🙏
Jangan lupa vote dan tinggalkan komentar ya teman 😘🙏

*catatan

KAMMI : kesatuan aksi mahasiswa muslim Indonesia
Izzah : kesucian
Iffah : kemuliaan

Sekali Seumur Hidup (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang