Perpisahan

128 7 4
                                    


...

Tidak pernah terpikirkan bagi Haris dan Aisyah untuk menjalani hubungan jarak jauh. Usia dan keadaan memaksa mereka untuk mengambil keputusan. Tidak ada pernikahan yang baik-baik saja, semua memiliki ujian masing-masing. Sudah tiga hari sejak Aisyah pulang dari rumah sakit, berturut-turut tiap malam ia sholat istikharah, berusaha memantapkan hati bahwa keputusan untuk melepas Haris demi impiannya adalah pilihan terbaik.

Setiap malam ia menangis diam-diam di balik sujudnya. Terkadang ingin sekali menyalahkan keputusannya dulu untuk menikah muda, tapi nasi sudah menjadi bubur, takdir sudah berjalan sejauh ini, maka ia harus terima dengan ikhlas.

Bukan jarak yang membuat hatinya tersiksa, tapi keinginan ibu mertuanya yang membuat Aisyah merasa terluka.

Tiba-tiba dari belakang Haris mendekap Aisyah yang masih duduk berbalut mukenah sambil berdoa. Dekapan hangat yang terasa begitu perih.

"Jika kamu tidak mengizinkan aku pergi, aku tidak akan pergi. Jujur, semua keputusan ini begitu berat bagiku. Aku tidak bisa membayangkan hidup jauh darimu. Tolong Ay, katakan kalau kamu tidak ingin aku pergi." Lirih Haris sambil berkaca-kaca.

Aisyah diam sesaat, berusaha menguatkan hatinya, lalu dengan pelan ia memegang tangan Haris yang mendekapnya.

"Kita ini masih sangat muda mas, terkadang keinginan kita terlalu egois, belum dewasa untuk menatap masa depan lebih jauh. Aku tidak mau di masa depan ada penyesalan, karena bagaimana pun impian itu harus diperjuangkan. Aku kuat, aku tidak apa-apa, dan aku yakin masa depan rumahtangga kita akan lebih baik."

Haris membenamkan kepalanya di pundak Aisyah, diam-diam ia menangis. Dua tahun bukan waktu yang cepat, dan baginya ini sangat sulit.

"Setiap kali memikirkan hari-hari tanpamu, rasanya mau gila." Kata Haris, sambil mempererat dekapannya.

"Tidak apa-apa mas, insya Allah nanti akan mudah dan terbiasa. Banyak kok pasangan di luar sana yang terpaksa LDR demi ekonomi keluarga, dan mereka bisa menjalani dengan baik. Aku yakin kita pun begitu, asalkan masih Allah Tuhan kita, maka tidak ada jarak yang terlalu jauh. Kita bisa saling mendoakan tiap hari." Hibur Aisyah.

"Apakah kamu sungguh ingin kita seperti ini?"

Aisyah diam sesaat, mencoba menormalkan gemuruh di hatinya.

"Tidak ada manusia yang ingin diuji kesulitan mas, semua pasti ingin hidup mudah, tapi kadang keadaan berkata lain, dan Allah memberi ujian sesuai kemampuan hambaNYA. Karena jika tidak diuji, maka dengan amal apa kita masuk surga?"

Haris tertegun perih, ia tahu apa pun yang ia katakan tak akan menggoyahkan hati Aisyah.

Malam itu, tidak ada mata yang terpejam. Sepanjang malam hari terasa begitu sesak dan bergemuruh, karena kenyataannya jadwal keberangkatan pesawat juga administrasi terkait pendaftaran koas di Singapura sepenuhnya sudah diurus dengan rapi oleh ibunya Haris. Hal yang seharusnya bisa berlangsung lama, namun berjalan begitu singkat, entah apa yang sudah di lakukan Ratih di luar sana.

Sejujurnya Haris sedikit ragu dengan rencana ibunya, karena tidak mudah menjalankan pendidikan profesi (klinis) di Singapura sedang gelar s1  dari Indonesia. Ada begitu banyak hal yang tidak bisa ditempuh hanya dengan uang, namun Haris terpaksa  berangkat karena ini keinginan Aisyah serta ibunya meskipun sejujurnya ia tidak ingin.

***

Hari yang paling tidak diinginkan itu pun tiba, pagi sekali Ratih datang menjemput Haris untuk mengantarnya ke bandara. Semua keperluan bahkan pakaian pun sudah disediakan Ratih, Haris hanya cukup berangkat tanpa memikirkan apa pun.

Di bandara itu Aisyah sekuat tenaga untuk tegar dan sebisa mungkin tetap tersenyum. Entah masa depan macam apa yang akan Aisyah jalani tanpa Haris ia hanya ingin terus berfikir positif.

Sekali Seumur Hidup (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang