Beban di Hati

94 8 0
                                    


* Uang semester 30.000.000
* Uang SKS (@1.500.000) dengan total 22,5 juta.
* Uang registrasi ulang 500.000
* Total 53.000.000.

Dan jika dikalikan dua maka biaya per tahun untuk koas tahun pertama adalah 106.000.000. Haris terdiam membaca selembar kertas yang baru saja ia terima dari ruang administrasi. Ia sudah bisa membayangkan sebelumnya bahwa program ini akan berat untuk kantongnya yang tidak ada dukungan dari orangtua.

"Ya Allah." Haris menghela napas sambil memijat-mijat pelipisnya.

Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah meminta haknya pada ibunya. Sudah seharusnya ia membiayai pendidikan anaknya hingga akhir, karena dulu ibunya pula yang menginginkan Haris masuk Fakultas Kedokteran.

Tapi?
Itu mustahil dilakukan saat hubungan antara anak dan ibu tidak sedekat pada umumnya, apalagi ia sudah menikah. Kini Haris hanya bisa memasrahkan semua pada Allah, ia akan belajar keras dan memutuskan untuk kembali mencari rekomendasi beasiswa. Pasti ada peluang di luar sana.

"Bismillah dulu, aku tidak akan membebankan biaya pendidikan ini pada Aisyah yang baru merintis usaha. Aku harus bisa mengatasi masalah keuangan ini. Mudahkanlah ya Allah."

Haris menutup kertas tersebut dan berjalan menuju poli. Ia harus segera hadir sebelum konsulennya datang.

***

Beberapa hari ini begitu banyak pesanan datang, membuat Aisyah sangat sibuk. Selain itu untuk pengantaran biasanya dia lakukan sendiri, mengingat belum adanya tenaga kerja selain dirinya dan ibunya.

Karena bisnis ini juga masih baru, Aisyah belum berani mencari karyawan, tersebab omset tiap hatinya juga belum pasti. Namun ia sangat optimis dan selalu bersemangat.

"Alhamdulillah, akhirnya sampai." Gumam Aisyah sambil turun dari motor.

Ia telah sampai di gedung rektorat, kebetulan pelanggan kali ini adalah pegawai di sana. Mereka memesan 50 kotak untuk acara internal.

"Aisyah?" Suara seorang wanita yang nampak terkejut.

Aisyah menoleh dan melihat Bu Ratna, salah satu dosen di Fakultasnya. Beliau nampak keheranan melihat Aisyah membawa dua plastik besar berisi kotak-kotak kue.

"Bu Ratna." Aisyah sedikit malu dengan pertemuan mendadak ini.

"Kamu kerja? Kenapa lama tidak kelihatan di kampus? Atau kamu sudah selesai skripsi?"

"Eeee.. tidak, Bu. Saya mengambil cuti semester ini."

"Kenapa?"

Aisyah menarik napas sejenak, jujur memang selalu berat, namun ia tidak malu dengan keputusan maupun apa yang dia lakukan saat ini.

"Saya ingin bekerja, Bu. Ingin mandiri."

"Bekerja seperti ini?" Pandangan Bu Ratna nampak sedikit mencibir.

Aisyah hanya bisa mengangguk.

"Memang kemana orangtuamu? Sampai kamu harus bekerja jualan kue seperti ini? Kenapa kamu tidak mengajar bimbel, atau ngajar les privat? Jadi kamu tidak perlu cuti kuliah. Kalau cuti seperti ini kamu akan semakin lama lulusnya."

Kini Aisyah hanya bisa tersenyum, ia tidak akan menceritakan alasan sesungguhnya kenapa dia cuti.

"Ibu harap kamu bisa lebih fokus, kasihan kuliahmu jika terbengkalai seperti ini." Kata Bu Ratna dengan nada sedikit ketus.

"Iya, Bu. Saya memohon maaf sebelumnya." Kata Aisyah tertunduk, dan Bu Ratna pun berlalu pergi.

Entah kenapa hati yang sebelumnya tenang, kini terasa perih. Ia memutuskan untuk cuti karena memang kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Jika ia tetap lanjut kuliah semester ini, maka beban keuangan akan sangat sulit. Ia rela mengalah untuk cuti agar Haris bisa melanjutkan koas. Ia rela bekerja agar ia bisa mandiri secara ekonomi, dan bisa membantu Haris membayar semester selama koas. Apakah keputusan ini salah?

Sekali Seumur Hidup (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang