Antara Rencana ibu dan Rencana Allah

116 8 2
                                    


Mackenzie Rex Restaurant

Haris begitu terkejut sekaligus kecewa luar biasa saat mengetahui bahwa ibunya tidak pernah mendaftarkan dirinya dalam program profesi di salah satu rumah sakit pendidikan di Singapura. Ia berbohong dengan begitu sempurna, dan yang lebih mengejutkan lagi, Ratih ternyata meminta Haris untuk kuliah Pascasarjana alih-alih melanjutkan profesi.

Sejauh ini, memang belum ada rumah sakit pendidikan di Singapura yang menerima lulusan S1 Kedokteran dari Indonesia untuk melanjutkan profesi/koas, akan sangat sulit dan lama prosedur yang harus dijalankan jika pun bisa diterima. Ratih sudah paham itu, sebab itu ia melakukan rencana lain agar tujuan utama Haris datang ke Singapura tidak sia-sia.

"Jadi, sebenarnya ibu pun tahu bahwa aku tidak bisa koas di sini. Lantas kenapa tetap memaksaku berangkat?" Tanya Haris dengan nada kecewa.

Sejenak Ratih menyeruput teh hangat di hadapannya, ia nampak santai dan sama sekali tidak peduli perasaan Haris.

"Ibu hanya ingin bertanggung jawab atas pendidikanmu. Setidaknya ibu sudah memberikan yang terbaik."

Haris menarik napas kesal, "Tapi, Bu. Jika seperti itu tujuannya, aku tidak perlu jauh-jauh datang ke sini. Aku bisa melanjutkan koas di Indonesia, prosedur lebih mudah dan lebih cepat, juga aku tidak perlu ninggalin Aisyah sendirian di sana."

Ratih meletakkan gelasnya, "Justru itu yang ingin ibu pertegas di sini. Sejak kapan kamu menikah diam-diam? Sejak kapan ibu tidak lagi menjadi orang penting dalam hidupmu? Itulah alasan kenapa ibu memaksa kamu ikut, agar kamu paham bahwa kamu tanpa ibu tidak bisa menjadi apa-apa! Apalagi pernikahan konyol yang kamu lakukan itu, sungguh ibu kecewa. Seandainya kamu bisa sedikit bersabar untuk tidak menikah dulu, mungkin ibu akan membiayai semua kuliahmu hingga selesai profesi." Tegas Ratih dengan tatapan tajam.

Haris meremas tangannya yang tertumpu di atas lutut.

"Lihat dirimu sekarang! Kamu bahkan tidak bisa menafkahi istrimu, lantas dengan uang mana kamu melanjutkan koas?" Tambah Ratih dengan tajam, kalimat yang membuat dada Haris begitu sakit. Seperti ada yang meremukkan harga dirinya.

"Ibu hanya ingin memberi kamu satu pelajaran di sini, bahwa memutuskan menikah saat masih kuliah itu tidak gampang, apalagi kamu kuliah Kedokteran. Gak papa jika kamu kuliah di Fakultas lain yang tidak perlu menjalankan pendidikan profesi. Seharusnya kamu berfikir itu sebelum memutuskan menikah."

Kini Haris hanya bisa menutup mulut. Apa pun kalimat yang dikatakan ibunya, ia tidak punya senjata untuk membantah karena itu memang kenyatannya. Keputusan menikah tanpa berfikir panjang dan mengira semua akan mudah.

"Sekarang, kamu harus mengikuti saran ibu. Lanjutkan kuliah Pascasarjana di sini, ibu punya kenalan rektor di kampus internasional. Tidak perlu menjadi dokter, kamu bisa menjadi dosen di Fakultas Kedokteran di Indonesia. Ibu juga punya teman dekan di sana, jadi tidak perlu khawatir."

Kini Haris tertunduk benar-benar menahan perih. Kini yang berkecamuk di hati dan pikirannya bukan lagi pendidikan macam apa yang harus ia jalani, tapi Aisyah yang menjadi korban demi keegoisan ibunya.

"Kamu juga bisa membantu profesor di sini, melakukan penelitian di bidang kesehatan, atau apa pun itu yang bisa meningkatkan kualifikasi kamu sebagai magister kesehatan. Jadi ibu yakin saat pulang ke Indonesia nanti kamu sudah punya posisi."

"Jadi, sejak awal, ibu memang tidak pernah menginginkan aku menjadi dokter, begitu kan?"

"Tidak juga, jika kamu ingin menjadi dokter kamu tetap bisa melanjutkan profesi di Indonesia. Ibu rasa itu tidak begitu sulit."

Haris kembali menarik napas panjang, ia berusaha untuk tenang, "Semua impian dan rencana ibu nampak bagus, sampai ibu tega memisahkanku dari Aisyah seperti ini."

Ratih diam sejenak menatap wajah Haris yang nampak putus asa dan lelah.

"Itulah kebodohanmu saat ini, kamu bukan Haris yang ibu kenal dulu. Kamu terlalu mencintai gadis itu hingga lupa diri, dan jujur semua upaya ibu saat ini adalah demi impianmu. Ibu tidak memintamu berpisah darinya, ibu hanya mau kamu fokus belajar dulu. Aisyah juga setuju akan hal itu, jadi tidak ada korban di sini."

"Ibu tidak tahu, jika bukan bantuan dari Aisyah aku tidak bisa lulus dari kampus. Dia merelakan tabungannya agar aku lulus dan lanjut koas di saat ibu bahkan tidak peduli. Dia bahkan rela bekerja dan jauh dariku agar aku bisa menjadi dokter, tapi nyatanya aku datang ke sini bukan untuk menjadi dokter, tapi menjadi apa yang ibu impikan. Jujur aku sangat kecewa, meskipun aku sangat sadar diri bahwa aku tidak punya uang untuk mewujudkan impian itu."

Kini Ratih nampak sedikit emosi, ia merasa Haris tidak mudah dikendalikan.

"Lantas, apa setelah kamu tahu kenyataannya seperti sekarang, kamu mau pulang ke Indonesia? Mau jadi apa kamu di sana? Kamu bahkan tidak punya uang, apa kamu mau kerja jadi penjual kue seperti Aisyah? Pikirkan itu baik-baik jika kamu merasa seorang suami! Kamu harus mendapatkan uang banyak jika ingin membahagiakan istrimu, dan untuk dapat uang kamu harus kuliah lebih tinggi. Pikirkan sekali lagi sebelum memutuskan segala hal!" Tegas Ratih dengan suara sedikit lebih tinggi.

Kini Haris benar-benar hanya bisa terdiam. Semua yang dikatakan ibunya memang benar. Bagaimana pun Aisyah pasti kecewa jika ia pulang dengan tangan kosong.

"Pikirkan baik-baik rencana ibu, atau kamu akan menyesal!" Tambah Ratih sambil berdiri dari duduknya, lalu melangkah pergi meninggalkan Haris yang hanya bisa tertunduk sambil mengusap lelahnya.

"Ya Allah, haruskah aku melakukan semua ini?"

***

Di Indonesia.

Seminggu setelah Haris berangkat ke Singapura, ibunya Aisyah jatuh sakit. Beliau sejak dulu memang memiliki masalah dengan tulang kakinya, yang semakin hari semakin bengkok. Dari dulu dokter memang sudah menyarankan untuk operasi, namun karena ketiadaan biaya membuat ibunya Aisyah hanya bisa menelan obat setiap harinya, apalagi bapak hanya seorang tukang ojek yang tidak tentu penghasilannya.

Kini semua pertahanan itu gugur saat penyakit ibu semakin parah hingga ia tidak bisa berjalan. Keputusan operasi pun harus dibuat dan mau tidak mau Aisyah harus merelakan uang kuliah pemberian Ratih untuk operasi ibunya. Sungguh ujian yang datang bertubi-tubi membuat Aisyah memaksa dirinya untuk kuat.

Ia rela putus kuliah asal ibu tetap sehat, ia bisa cuti untuk bekerja atau apa pun itu untuk mencari uang asal ibu bisa sehat. Aisyah tidak peduli lagi tentang kuliahnya, meskipun ia sangat sadar bahwa ia harus segera lulus jika tidak ingin di drop out. Hanya saja, terkadang takdir berkata lain.

"Ya Allah, kuatkan aku." Lirih Aisyah sambil menepuk-nepuk dadanya. Ia pun berjalan mendekati ibunya yang sudah berbaring di ruang rawat.

"Maafkan ibu Aisyah." Kata ibu merasa bersalah sambil memegang tangan Aisyah.

Aisyah mencoba tersenyum.

"Tidak apa-apa, Bu. Justru aku bersyukur karena ini adalah rencana terbaik Allah. Uang dari Bu Ratih adalah cara Allah untuk membuat ibu sehat lagi. Ini adalah rezeki, Bu. Jadi tidak ada yang harus dikhawatirkan." Hibur Aisyah.

"Tapi uang itu untuk kuliah kamu sampai lulus."

"Allah Maha Kaya, Bu. Dengan ibu sehat kita bisa cari uang lagi, jualan lagi, sehingga aku bisa lanjut kuliah lagi. Tidak perlu cemas, ibu hanya cukup fokus untuk sembuh."

Mendengar semua itu ibu meneteskan airmata. Ia sangat terharu karena memiliki anak seperti Aisyah yang begitu pengertian dan rela mengorbankan banyak hal demi orang-orang yang ia cintai. Mulia sekali hatinya.

"Terima kasih, Aisyah. Doakan ibu selalu, jika sudah sehat nanti ibu berjanji akan membantumu jualan hingga kamu sukses, sampai kamu punya outlet sendiri yang besar."

"Amin, amin ya Allah. Semangat ibu!" Kata Aisyah dengan senyum lebar.

Beberapa saat kemudian perawat datang dan memindahkan ibu di atas kursi roda, beberapa saat lagi ia harus segera siap di ruang operasi.

"Semoga operasinya lancar ya Allah." Lirih Aisyah sambil berjalan di belakang perawat yang membawa ibu menuju ruang operasi.

Bismillah...
Allah selalu punya rencana baik di balik setiap ujian-Nya. Setiap saat Aisyah hanya terus memompa pikiran-pikiran positif agar hatinya bisa tenang. Semua akan baik-baik saja selama masih Allah tempat kita bersujud.



Happy Reading


Sekali Seumur Hidup (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang