Kejujuran

107 8 2
                                    


Malam usai sidang skripsi, Haris mengajak Aisyah makan malam di luar. Sudah lama mereka tidak makan di luar karena Aisyah selalu menolak dengan alasan berhemat, namun kali ini ia menerima karena ingin merayakan kelulusan Haris.

Di salah satu warung lesehan yang tidak jauh dari kos mereka, warung yang cukup bagus namun harga di sana tidak memberatkan kantong. Haris beberapa kali menatap Aisyah bingung, ingin sekali mengatakan sesuatu, tapi ragu.

"Apa ada sesuatu yang ingin mas katakan? Sejak tadi aku lihat mas agak murung. Bukankah seharusnya mas bahagia karena sudah lulus?"

Haris tersenyum, lalu menghela napas.

"Ay, aku ingin sekali jujur padamu. Ada beberapa hal yang mungkin tidak kamu tahu. Tentang orangtuaku, juga tentang kuliahku."

Aisyah mengangguk, karena memang selama ini ia tidak pernah bertanya jika bukan Haris yang bercerita.

"Sebenarnya aku berbohong jika orangtuaku membiayai kuliahku sepenuhnya. Mungkin dulu saat masih awal kuliah iya, tapi di akhir masa kuliah, mungkin sekitar dua tahun belakangan ini mereka jarang mengirim uang, sehingga aku kuliah sepenuhnya dari beasiswa satu ke beasiswa yang lain. Dan sekarang, jika aku ingin melanjutkan impianku, maka aku harus ikut program klinis, namanya koas, dan itu berlangsung selama dua tahun. Hanya saja, di program ini sulit untuk mendapatkan beasiswa, sedang di lain hal aku harus menafkahimu." Haris memutuskan untuk berhenti sejenak, menarik napas.

"Terus, kenapa mas?" Tanya Aisyah yang mulai curiga, ia tahu kemana arah pembicaraan Haris.

Sesaat Haris tertunduk, ia mencoba memantapkan diri untuk benar-benar berkata jujur pada Aisyah.

"Aku, aku berfikir untuk berhenti di sini." Haris tertunduk, dan Aisyah terkejut hingga hilang kata-kata.

"Aku tidak ingin membebanimu, aku sudah cukup membuatmu menderita Aisyah. Kamu rela jualan setiap hari, bahkan kuliahmu terbengkalai hanya demi aku agar bisa lulus. Aku tidak ingin semua itu berlanjut jika aku koas. Jujur, aku sangat takut." Kali ini Haris benar-benar menahan gemuruh di dadanya, bahkan airmatanya mengancam keluar.

"Apakah pernikahan ini menjadi beban bagi mas Haris?"

Deg..
Haris lekas mengangkat wajahnya, menatap Aisyah yang ternyata matanya sudah berkaca-kaca. Melihat itu, Haris segera menggenggam tangan istrinya.

"Tidak Ay, bukan seperti itu maksud aku."

"Lalu kenapa mas punya keinginan untuk berhenti? Bukankah menjadi dokter adalah impian mas sejak awal, juga impian keluarga mas Haris, begitu juga impianku."

Haris menghela napas berat, "Aku hanya takut menjadi beban untukmu, karena ketika koas nanti, aku tidak akan lagi punya waktu untuk bekerja. Sedang di lain hal aku pasti butuh uang untuk membayar uang selama program berlangsung. Aku tidak mau kamu bekerja untuk impianku, aku tidak mau egois sedang kamu harus berkorban."

Ya Allah, Aisyah merasa dadanya ngilu. Ia tahu perasaan Haris sebagai suami, tapi juga tahu impian Haris sejak kecil. Haruskah pernikahan ini disalahkan atas situasi ini?

Tidak, Aisyah tidak boleh ikut berfikir lemah.

"Mas Haris apa sudah meragukan Allah Yang Maha Kaya?"

Pertanyaan Aisyah seketika menumpahkan airmata Haris yang ia tahan.

"Setiap rumah tangga ada ujiannya mas, karena jalan menuju surga itu memang tidak mudah. Jika saja kita berfikir sempit, pasti kita akan menyalahkan pernikahan ini. Tapi aku tidak akan berfikir sesempit itu. Justru ujian ini adalah cara Allah menaikkan level kita. Aku bukan beban bagi mas Haris, aku istrimu dan kita sedang membangun rumahtangga. Aku tidak mau ada yang paling berkorban atau menderita sendirian. Jika mas berhenti, maka di masa depan ujian rumah tangga ini akan lebih sulit. Aku tidak mau setan semakin bahagia melihat kita terpuruk."

Sekali Seumur Hidup (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang