Tiga tahun kemudian.
Aisyah menatap layar handphone yang begitu sepi sejak Haris memutuskan pergi ke Singapura. Tiga tahun berlalu dan tak ada komunikasi lagi setelah kejadian fotonya yang tersebar dengan Yuval saat itu. Entah kekecewaan macam apa yang dirasakan Haris hingga ia benar-benar memutus komunikasi seolah hubungan ini hanya semacam pacaran yang bisa putus seenaknya.
Di balik laci kamarnya itu, Aisyah menyimpan semua barang pemberian Haris, mulai dari sepatu, gelang hingga cincin pernikahan. Setahun terakhir ia memutuskan untuk tidak memakai semua barang itu. Janji pergi hanya dua tahun ternyata hanya bualan, nyatanya hingga tiga tahun belum juga ada kabarnya.
Di antara rindu yang mencekik itu Aisyah merasa benci dengan dirinya yang dulu begitu mudah menerima permintaan Ratih untuk membatasi komunikasi dengan Haris hingga akhirnya berujung semacam ini. Bisakah disebut rumahtangga jika tiga tahun hilang tanpa kabar?
Setetes airmata kembali mengalir. Rasa-rasanya Aisyah sudah jenuh menangisi Haris. Tiga tahun terakhir ia berhasil lulus kuliah dengan baik meskipun sebagian biaya kuliahnya dari hutang pada teman ibunya.
Satu tarikan napas yang begitu sesak, Aisyah menutup kembali laci di depannya, lalu menatap foto pernikahan yang masih terpajang di atas meja. Ia tidak pernah menyangka nasib rumahtangganya akan seperti ini.
"Apakah masih bisa disebut pernikahan, jika tiga tahun kamu hilang tanpa kabar? Sebenarnya pernikahan macam apa yang sedang kita jalani? Atau kamu memang ingin meninggalkanku seperti ini?" Aisyah memeluk kedua lututnya, mencoba untuk tidak cengeng untuk kesekian ribu kalinya.
"Aisyah!" Suara ibu membuka pintu kamar dan Aisyah lekas mengusap wajahnya.
Ibu tahu apa yang sedang dipikirkan Aisyah, namun ia enggan bertanya.
"Kamu jadi antar kue ke rumah sakit? Kata kamu ada pesanan?"
Aisyah lekas berdiri dari duduknya.
"Iya, Bu. Ada seminar di sana. Sekalian aku mau bertemu dokter Yuval. Aku harus segera melunasi semua hutangku padanya."
"Apakah kamu masih sering bertemu dengan dokter Yuval atau berkomunikasi dengannya?" Tanya ibu dengan wajah sedikit khawatir.
"Astaghfirullah, tidak, Bu. Aku jarang bertemu beliau apalagi komunikasi, karena nomer HP-nya saja aku tidak punya. Kenapa ibu nampak khawatir?"
"Tidak apa-apa, ibu hanya ingin mengingatkanmu untuk menjaga jarak. Bagaimana pun dokter Yuval punya perasaan padamu."
Aisyah tertegun sesaat, "Ibu takut aku memberinya harapan dan melupakan mas Haris?"
Ibu memilih diam dan Aisyah pun menghela napas.
"Jika bukan karena imanku pada Allah, mungkin aku akan melakukan itu. Untuk apa menunggu orang yang tiga tahun tidak ada kabar. Apakah masih sah janji pernikahan jika keadaannya seperti ini? Nomer HP-nya saja sudah tidak aktif, mungkin ia sengaja kabur."
"Jangan berfikir seperti itu Aisyah, pokoknya ibu tidak akan mengizinkanmu untuk dekat dengan lelaki mana pun sebelum ada kepastian dari Haris. Bagaimana pun ia masih suamimu."
"Ibu tidak usah khawatir. Aku tidak seburuk itu! Atau justru mas Haris yang sudah cari orang lain." Celetuk Aisyah dengan emosi.
Ibunya hanya bisa memandang Aisyah dengan cemas. Aisyah hanya sedang kecewa dan benci.
"Oya, jangan lupa tuliskan alamat dan nomer telpon temannya ibu yang sudah banyak membantu kita. Insya Allah minggu ini akan aku lunasi semua. Aku ingin bertemu beliau." Kata Aisyah sambil berjalan keluar kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekali Seumur Hidup (Selesai)
ChickLitCinta yang gegabah membuat Haris dan Aisyah menikah muda. Pernikahan saat mereka masih berstatus mahasiswa. Mereka berfikir semua perasaan akan tuntas dan lunas setelah menikah, tapi nyatanya ujian silih berganti datang dan merobohkan bangunan cint...