Rasa Bersalah

163 9 2
                                    

"Jika kamu ingin menjual ideologi, jual lah pada para mahasiswa."


Gedung PKM 1, Ruang BEM
Kampus Hijau

Di antara rapat yang sedang berlangsung, Haris lebih banyak memikirkan hal lain. Press release yang ada di tangannya seolah hanya sampul untuk menutupi matanya yang entah sejak kapan hilang fokus.

"Gimana, Ris. Jam berapa kumpul di Doble W besok?" Tanya Alvian, ketua press mahasiswa.

Tidak ada jawaban, bahkan kali ini tangan Haris fokus scroll instagram yang hanya berisi komentar berupa cibiran pada foto yang kapan hari sempat viral. Ah, ternyata berita panas itu masih belum mereda. Sudah seminggu berlalu, bahkan selama seminggu Haris tak posting apa-apa di media sosial, namun ternyata siasat untuk meredam berita itu gagal.

"Ris! Kamu ngelamun apa sih?" Suara Alvian agak sedikit lebih lantang, bahkan terang-terangan ia menatap tajam Haris.

"Maaf." Haris mengusap wajahnya.

"Kamu gak fokus dengan rapat kita ya?"

Haris mengangguk merasa bersalah, "Lanjutkan saja, aku ikut apa keputusanmu."

Alvian mendengus agak kesal lalu melanjutkan kembali menyampaikan keputusan rapat yang seharusnya itu tugas Haris.

Entah kenapa sejak ia mengetahui bagaimana Aisyah mendapatkan serangan buruk dari netizen melalui komentar di instagram bahkan Facebook miliknya, Haris mulai berfikir bahwa dia telah menghancurkan image gadis itu, padahal dia tidak bersalah. Apa yang menjadi sorotan hingga kesan buruk pada postingan tersebut tertuju pada Aisyah.

Melihat dia kapan hari yang memeluk ibunya sambil menangis jelas hal itu membuat luka tersendiri di hati Haris. Ia tak pernah menyangka posisi dirinya justru membuat orang lain terluka. Seharusnya, jika tahu akan jadi semacam ini dia tidak akan menolong gadis itu, ia biarkan orang lain saja yang membopongnya.

Haris kembali mengusap wajah letihnya. Sejak kapan kehidupannya berubah sejauh ini, dan ini sangat menyulitkan.

"Kata Donny kamu gak mau maju orasi ya untuk aksi besok?" Alvian mendekat setelah membubarkan rapat BEM beberapa menit lalu.

Haris tersenyum getir sambil mengangguk.

"Kenapa? Itu kan posisi abadi mu saat ada seruan aksi."

"Itu bukan posisi. Orasi bisa dilakukan siapa saja, tidak harus ketua BEM. Siapa saja boleh naik panggung." Sahut Haris agak kesal.

"Tapi jika bukan lo yang naik panggung, aksi tak akan berlangsung panas. Tidak ada yang bisa membakar semangat mereka."

Ah masa bodoh, Haris bahkan tak pernah berfikir dirinya sehebat itu sebagai orator.

"Ini bukan tentang membakar semangat, Al. Aksi itu tentang aspirasi dan suara kita agar didengar pemimpin. Jadi mau kamu aksi dengan mulut dikunci atau aksi brutal seperti demo pun jika aspirasi  ditolak, maka tujuan aksi gagal. Pun sebaliknya." Kali ini Haris bicara dengan sedikit sensitif.

Alvian mengangguk agak ogah, "Terserah kamu saja lah!" Lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan.

@@@

Sekali Seumur Hidup (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang