Sedikit Kekhawatiran

121 6 0
                                    


...

Satu Minggu setelah pernikahan, Haris dan Aisyah memutuskan untuk kos rumahtangga, tidak lagi tinggal di rumah orangtua. Mereka memutuskan untuk kos tersebab biaya lebih murah daripada kontrak rumah. Apalagi Haris sudah harus mempersiapkan dana untuk kelulusan hingga koas. Uang yang tidak sedikit, apalagi beasiswanya sudah habis sejak semester lalu.

Aisyah menepuk-nepuk dadanya agar ritme jantungnya tidak naik turun kencang. Padahal sudah seminggu pernikahan, tapi debar hangat saat bertemu Haris masih saja terasa.

"Kenapa?" Tanya Haris yang merasa aneh dengan sikap Aisyah sejak kaki mereka menginjakkan ruang kos tersebut.

Aisyah menggelengkan kepala. Entah kenapa pikirannya liar kemana-mana. Ia ingat bahwa sampai saat ini mereka belum melakukan hubungan suami-istri. Bukan karena takut, tapi Haris pun tak ingin memaksakan kehendak. Ia sangat mengerti keadaan Aisyah.

"Aku, hanya merasa sedikit gugup dan canggung. Karena mulai hari ini kita akan tinggal berdua di sini." Jawab Aisyah kikuk.

Haris yang sedang menata buku di rak seketika tertawa. Kepolosan Aisyah selalu mengundang tawa.

"Memang kamu sedang berfikir apa?" Tanya Haris sambil berdiri dan mendekati Aisyah yang sedang duduk di ranjang.

Aisyah tertawa malu.

"Bukan apa-apa, aku hanya..." Kalimat itu belum selesai tapi Haris sudah mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Aisyah, membuat napas hangat Haris menyapu wajah Aisyah yang nampak merah malu.

"Sudah satu minggu, kenapa masih malu-malu?"

Apa? Aisyah segera mengalihkan pandangan. Jantungnya kembali seperti genderang yang sedang ditabuh.

"Kenapa mas selalu membuatku gugup."

"Karena kamu lucu, jadi aku suka menggodamu." Kata Haris di ambang tawa.

Aisyah menggerutu sambil membuang muka. Namun sekejap mata tangan Haris menariknya hingga Aisyah jatuh dalam pelukannya.

"Hanya dengan begini aku merasa tenang, dan tidak khawatir akan masa depan. Jadi sebentar saja, izinkan aku tetap memelukmu seperti ini." Kata Haris  yang mencoba mempererat pelukannya agar Aisyah tidak mencoba melepasnya.

Aisyah hanya tersenyum mengangguk.

Sejujurnya dalam pelukan itu Haris sedang memikirkan hal lain. Beberapa saat lalu Pak Harto yang bekerja bagian administrasi kampus mengirimkan pesan singkat padanya bahwa Haris harus segera membayar uang semester ini.

Dulu mungkin Haris adalah mahasiswa kebanggaan kampus, mendapat beasiswa penuh dan sering juara lomba karya ilmiah, namun saat memasuki masa tugas akhir ia sudah jarang mengikuti lomba dan sibuk dengan skripsi yang belum juga selesai karena dosen yang sulit ditemui. Jika semester ini ia tidak juga sidang skripsi, maka semester depan ia harus memperpanjang masa kuliah, yang itu artinya ia harus membayar uang semester lagi.

"Mas, aku lapar." Suara Aisyah lirih dengan malu-malu.

Haris tersenyum sambil melepas pelukannya, "Kamu mau makan apa? Biar aku yang beli."

"Apa saja, yang penting murah dan dapat banyak." Jawab Aisyah nyengir.

Haris tertawa sambil mengusap kepala Asiyah, "Oke. Tunggu di sini ya."

"Siap."

Haris pun melesat pergi, sedang Aisyah melanjutkan menata buku di rak.

***

Hujan turun dengan deras, Haris yang masih di kedai terpaksa berhenti sejenak untuk berteduh. Dua nasi bungkus masih ada di tangannya.

"Gak bawa payung lagi. Kasihan Ay, dia sudah menunggu lama." Gumam Haris sambil melihat sekeliling. Hujan tidak juga reda.

Sekali Seumur Hidup (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang