...
Sepanjang malam Haris hanya terus memandangi wajah Aisyah. Selain karena ia tidak bisa tidur, beberapa kali ia juga harus membantu dokter Yuval saat ada pasien darurat datang. Maklum, malam itu tidak ada dokter jaga selain dokter Yuval.
Sekitar pukul satu dini hari Haris mendapat pesan masuk dari ibunya yang tinggal di Singapura.
From: ibu
Gimana kabarmu, Ris? mami baru sampai di bandara.
Satu tarikan napas yang begitu berat, setelah membaca pesan itu Haris lekas mematikan handphone, ia tidak berniat membalas. Baginya kedatangan ibunya bukan hal membahagiakan.
"Mas.." suara Aisyah lirih yang baru terbangun dari tidurnya.
Haris lekas memasukkan handphone di sakunya dan tersenyum.
"Kamu sudah bangun. Bagaimana kondisimu? Sudah merasa baikan?"
Aisyah mengangguk, masih dengan wajah pucat dan mata sayu.
"Jam berapa sekarang?" Tanya Aisyah sambil mengambil posisi duduk, dan lekas dibantu oleh Haris.
"Jam satu dini hari."
"Aku sudah cukup membaik mas, apa kita bisa pulang?"
Haris terkejut namun disambut dengan senyum lebar, "Gak boleh pulang kalau sudah daftar jadi pasien. Minimal tiga hari perawatan baru bisa pulang."
"Tiga hari? Tapi aku gak separah itu sakitnya, lagian kita tidak punya cukup uang untuk menginap di rumah sakit. Aku lebih nyaman berobat di rumah." Gerutu Aisyah dan entah kenapa kalimat itu justru membuat hati Haris perih. Kata 'Tidak punya uang' begitu mengiris hatinya.
"Kamu tidak perlu memikirkan uang, kamu sudah terlalu bekerja keras, anggap saja sakit kali ini adalah cara Allah agar kamu istirahat. Masalah uang, aku punya tabungan kok. Gak usah khawatir."
Sesaat Aisyah tertegun, ia ingat selembar kertas yang ia baca beberapa hari lalu. Jumlah angka yang membuat pikiran dan hatinya tegang.
"Aku sudah tahu semuanya. Tentang biaya pendidikan mas Haris selama koas." Kata Aisyah tertunduk dengan sedikit bimbang.
Tidak ada komentar, meskipun terkejut tapi Haris memilih diam.
"Sejak melihat angka di kertas itu, jujur aku memang sangat kepikiran. Entah kenapa aku mulai merasa takut, itu jumlah angka yang fantastis. Terkadang, aku menangis diam-diam. Tapi dalam hati, aku masih terus memupuk keyakinan bahwa Allah Maha Kaya, Allah tidak akan menyia-nyiakan ikhtiar hambaNya. Aku, berusaha meyakinkan itu setiap saat." Cerita Aisyah dengan mata berkaca-kaca.
Haris menarik napas dan kembali menggenggam erat tangan istrinya.
"Dulu, aku berfikir semua bisa diraih dengan mudah asal kita pintar, tapi setelah aku kuliah di Fakultas Kedokteran, semua persepsi itu berubah. Pintar saja tanpa uang, tidak akan cukup untuk menjadi dokter. Aku mulai paham itu karena mulai melewati kekhawatiran selama kuliah. Jika bukan karena pertolongan Allah dan keyakinan yang kamu berikan, mungkin aku tidak akan lulus kuliah dan koas di rumah sakit ini Ay. Sejak memutuskan untuk lanjut koas, aku mulai berpasrah total pada Allah. Jika takdirku memang menjadi dokter, pasti aku akan tetap menjadi dokter sesulit apa pun jalannya. Pun sebaliknya, jika memang takdirku bukan menjadi dokter, bagaimana pun aku berusaha tetap tidak akan terwujud. Dengan berfikir begitu aku lebih merasa tenang, aku pasrahkan semua pada Allah, karena jujur, aku tidak mau kamu menjadi korban di sini." Cerita Haris, sambil sesekali menarik napas berat.
Airmata Aisyah mengalir, dan ia lekas mengusapnya.
"Aku tidak takut tidak menjadi dokter, bagiku itu bukan tujuan utama hidup ini. Di akhirat nanti aku juga tidak akan ditanya apakah aku seorang dokter atau bukan, tapi pasti aku akan ditanya bagaimana pertanggungjawabanku sebagai seorang suami. Aku lebih rela tidak menjadi apa-apa daripada harus kehilangan harga diriku sebagai suami."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekali Seumur Hidup (Selesai)
Literatura FemininaCinta yang gegabah membuat Haris dan Aisyah menikah muda. Pernikahan saat mereka masih berstatus mahasiswa. Mereka berfikir semua perasaan akan tuntas dan lunas setelah menikah, tapi nyatanya ujian silih berganti datang dan merobohkan bangunan cint...