Aisyah mengeratkan jaketnya sambil duduk di salah satu kursi di trotoar dekat alun-alun kota. Malam minggu yang ingin mereka habiskan berdua di luar rumah meskipun hanya datang di teman-tempat sederhana, hal yang selalu ingin Aisyah lakukan untuk mengingatkan perjuangan mereka dulu. Seperti malam ini, melihat penjual nasi goreng di depan sana, juga sepasang suami istri yang sedang mengantri. Melihat mereka mengingatkan Aisyah akan kehidupannya dulu, Haris sering membelikan nasi bungkus sepulang kuliah."Masya Allah, betapa banyak nikmat dan pelajaran hidup yang Engkau berikan hingga kami sampai di titik ini. Terima kasih banyak ya Allah, karena kami tidak putus asa dari rahmad-MU."
Satu helaan napas lega, Aisyah meregangkan tangannya yang sedikit lelah, namun matanya terbelalak terkejut saat melihat sebuket bunga mawar merah tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Bunga cantik untuk wanitaku yang jauh lebih cantik." Suara Haris dari belakang yang seketika membuat Aisyah menoleh.
"Mas Haris??"
Haris tertawa melihat Aisyah yang nampak kebingungan. Ia pun lekas mendekati dan jongkok di hadapan Aisyah yang sedang duduk di kursi. Seperti drama-drama cinta di luar sana, Haris hanya mencoba romantis meskipun masih sangat kaku.
Aisyah tersipu antara malu dan ingin tertawa.
"Jangan tertawa, aku serius sekarang. Ya, barangkali sikap romantis ini akan membuatmu tidak bisa tidur." Kata Haris sedikit sambil menahan tawa, karena jujur ini bukan tipe dia dan dia melakukan demi Aisyah. Namun sayang, suasana romantis yang ingin Haris bangun gagal total karena Aisyah melepas tawa.
"Kok malah ketawa sih? Pegel nih kakiku."
"Oke, oke.. baiklah. Aku akan duduk diam dan mendengarkan apa yang akan mas katakan."
"Ehemmm.." Haris pura-pura batuk sambil menata ekspresi wajahnya agar sedikit lebih serius.
"Aisyah, maukah kamu menikah denganku?"
Apa? Menikah?
Kini mulut Aisyah menganga antara bingung dan terkejut. Seketika ia pun membungkukkan badannya, mendekatkan wajahnya pada Haris."Kok nikah? Kita kan sudah menikah mas?" Bisik Aisyah.
Haris tersenyum, "Dulu kita kan menikah diam-diam, tidak banyak yang tahu. Sekarang aku ingin merayakan pernikahan kita, aku ingin semua orang tahu bahwa kamu istriku."
Kini perlahan Aisyah menegakkan tubuhnya, tertegun dengan keinginan Haris.
"Aku sudah punya uang sekarang."
Kalimat Haris seketika membuat gemuruh di dada Aisyah dan berhasil menjebol airmata yang entah sejak kapan sudah membumbung di pelupuk matanya.
"Aku serius. Aku ingin kita merayakan pernikahan. Dulu aku menikahimu dengan sangat sederhana, gak punya apa-apa, tapi hari ini Allah nitipin aku banyak uang. Sebagai bentuk rasa syukur, aku ingin merayakannya, seperti para pengantin di luar sana."
Ah pintar sekali Haris mengolah kalimat hingga tetes demi tetes airmata berhasil membasahi pipi Aisyah.
"Dulu, saat kita masih begitu miskin, aku selalu berdoa setiap saat agar bisa membuatmu bahagia, tidak lagi membuatmu khawatir tentang uang, juga ada sesuatu yang bisa kita tunjukkan pada semua orang. Terutama tentang pernikahan kita." Lanjut Haris, dan Aisyah pun lekas mengusap airmata.
"Terima kasih ya mas sudah memikirkan sejauh itu, tapi bagiku pesta pernikahan atau merayakan pernikahan tidaklah hal yang begitu penting buat kita. Cukup pernikahan ini sah secara agama dan pemerintah, karena yang membuat rumahtangga sakinah mawadah dan warohmah itu adalah rasa syukur kita dan penerimaan kita pada pasangan, menerima semua kekurangan dan kelebihannya. Jadi, daripada membuat pesta, bagaimana jika uangnya kita sumbangkan saja pada yayasan, atau panti asuhan. Insya Allah itu lebih berkah dan akan membuat rumahtangga kita lebih bahagia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekali Seumur Hidup (Selesai)
ChickLitCinta yang gegabah membuat Haris dan Aisyah menikah muda. Pernikahan saat mereka masih berstatus mahasiswa. Mereka berfikir semua perasaan akan tuntas dan lunas setelah menikah, tapi nyatanya ujian silih berganti datang dan merobohkan bangunan cint...