Kesalahpahaman

125 7 5
                                    

Selama menunggu proses operasi yang masih berlangsung, Aisyah duduk di koridor tunggu sambil membaca Al-Qur'an. Ia hanya bisa berdoa dan berpasrah kepada Allah atas kesembuhan kaki ibunya. Beberapa kali telpon berbunyi, panggilan dari Haris, namun Aisyah memutuskan untuk tidak mengangkat. Ia tidak ingin goyah lantas bercerita tentang kondisi ibunya, hingga hal itu akan membuat Haris cemas dan khawatir.

Sejak awal ia sudah berniat untuk memberi waktu bagi Haris meraih impiannya, dan ia berjanji tidak akan menjadi penghalang. Ia hanya sesekali membalas pesan atau menerima telpon yang dirasa sangat penting, karena mustahil untuk benar-benar tidak berkomunikasi sesuai keinginan ibu mertuanya. Bagaimana pun Aisyah tetap ingin mempertahankan rumahtangganya meskipun hanya sebatas komunikasi.

Karena merasa terganggu, Aisyah pun mematikan handphone-nya dan melanjutkan membaca Al-Qur'an. Dalam hati ia hanya bisa memohon ampun pada Allah atas sikap dinginnya pada Haris.

"Maafkan aku mas, aku hanya tidak ingin  kamu khawatir di sana. Kamu harus fokus belajar, di sini aku insya Allah bisa berjuang sendiri." Batin Aisyah sambil menghela napas berat.

"Kenapa tidak di angkat?" Suara seseorang membuyarkan lamunan Aisyah, dan ia pun segera menoleh. Sesaat Aisyah terkejut melihat siapa yang sudah duduk di dekatnya entah sejak kapan.

"Kamu istrinya Haris kan?"

Aisyah masih terdiam, mengingat-ingat siapa pemuda jangkung berkacamata yang sedang mengamatinya. Oh iya, dia dokter residen yang bertugas malam itu, saat Aisyah dibawa ke UGD oleh Haris. Dokter Yuval.

"Eee.. iya," jawab Aisyah sambil mengangguk dan lekas memasukkan Al-Qur'an kecil kedalam tasnya.

Yuval tersenyum lega, "Sedang apa di sini? Siapa yang sakit?"

"Ee,, ibu saya, dok."

"Operasi ortopedi?"

Aisyah kembali mengangguk. Anggukan yang membuat Yuval tertegun, karena ia tahu beberapa saat lalu Aisyah menolak panggilan Haris beberapa kali.

"Oh begitu, semoga lancar operasinya."

"Amin, terima kasih atas doanya."

"Lalu, Haris jadi ke Singapura?"

Aisyah diam. Ia tidak menyangka akan ditanya lebih banyak dari yang ia sangka.

"Ee.. iya."

"Begitu ya," gumam Yuval dengan kecewa, "Padahal terakhir bertemu denganku, dia tidak akan berangkat. Selain itu aku sudah ngasih banyak informasi kalau koas di sana sulit bahkan cenderung tidak bisa."

Seketika Aisyah menoleh, terkejut.

"Maksud dokter bagaimana?"

"Singapura itu negara persemakmuran Inggris, jadi punya sistem pendidikan yang tidak jauh-jauh dari Inggris. Sulit bisa koas di sana, kecuali memang sejak awal kuliah di sana. Bahkan beasiswa pun jarang yang menembus fakultas kedokteran meskipun ada beberapa kampus yang membuka peluang itu. Tapi, aku yakin Haris pasti bisa melakukannya, dia mahasiswa pintar, jadi aku yakin akan ada peluang."

Aisyah hanya bisa mengangguk dengan dada yang terasa sesak. Entah kenapa ia merasa makin bersalah, memaksa Haris berangkat padahal tidak tahu apa-apa kondisi di sana.

"Jangan khawatirkan Haris berlebihan, fokus saja dengan kesembuhan ibumu. Kalau butuh bantuan, kamu bisa panggil aku. Kebetulan aku residen ortopedi di sini, jadi siang malam hidup di rumah sakit." Hibur Yuval di akhiri tawa ringan di akhir kalimat, menertawakan nasibnya.

Aisyah hanya tersenyum mengangguk, "Terima kasih banyak, dok."

"Aku cukup dekat dengan Haris saat di kampus dulu, dia pintar dan sangat mandiri. Mahasiswa kebanggaan dosen, jadi aku yakin dia jalannya akan mudah."

Sekali Seumur Hidup (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang