Proses interogasi telah selesai kemarin. Banyak kisah kesaksian dari para tersangka yang bercokol di pikiranku. Aku telah siap pergi menuju SMA Rafflesia menggunakan mobil pribadi yang merupakan hadiah ulang tahunku yang ketujuh belas dari ayah. Adrian Bagaskara, nama ayahku. Saat ini menjabat sebagai kapten detektif kepolisian di kota ini, dan merupakan rekan kerja Inspektur Rian juga Inspektur Adi. Tak heran mengapa kedua petugas polisi itu akrab denganku.
Bagaimana dengan ibuku? Rafa Ariani, beliau seorang diplomat yang bertugas di kantor kementerian luar negeri di ibukota. Pulang ke rumah hanya satu tahun sekali saat ada cuti. Dan menurutku ibu terlalu sibuk untuk sekedar mendengarkan cerita pengalaman konyolku di sekolah. Maka kegiatan hari-hari kuhabiskan untuk datang ke kantor polisi, mendatangi ruang kerja ayah, menyapa beberapa petugas polisi yang sedang piket jaga, dan ikut menyelidiki beberapa kasus, terlebih pembunuhan.
Aku memiliki seorang sahabat dekat yang bernama Nadin Valeria. Namun ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Italia. Kami tetap saling berhubungan melalui video call dan chatting. Sesekali kami saling berbalas komentar di sosial media.
Aku mengendarai mobil dengan santai dan tiba di sekolah itu tepat lima menit setelah Inspektur Rian dan Inspektur Adi datang. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi namun matahari belum juga terlihat. Hari ini adalah hari Minggu.
Siswa-siswi di sekolah ini memang sudah tidak ada kegiatan pembelajaran sejak hari Rabu lalu karena mengikuti lomba-lomba dalam rangka menyambut hari ulang tahun sekolah. Peringatannya enam hari lagi, dan hari ini SMA Rafflesia disibukkan dengan lomba kostum karnaval antar kelas. Suasana halaman sekolah terlihat ramai dengan siswa berpakaian warna-warni yang meriah.
Aku dan kedua inspektur polisi ini segera melangkah menuju ruang kepala sekolah. Para siswa itu seperti sama sekali tidak terganggu dengan keberadaan kami, mungkin karena sudah mengerti bagaimana situasi sekolah mereka. Aden juga terlihat sibuk di halaman itu sambil membawa papan dan setumpuk kertas, mungkin lembar penilaian lomba.
Sebelum sampai di ruang kepala sekolah, kebetulan kami bertemu dengan Pak Arka yang memang ruangan beliau bersebelahan dengan ruang kepala sekolah. Kami meminta izin untuk menginvestigasi ruang kepala sekolah dan Pak Arka mempersilakan kami dengan hangat.
Namun Pak Arka mengatakan bahwa beliau tidak bisa ikut menemani proses penyelidikan dikarenakan harus menandatangi berkas-berkas proposal acara yang seharusnya ditandatangani oleh mendiang Pak Rio. Inspektur Rian membuka pintu ruang kepala sekolah dan kemudian kami menyusul masuk.
"Ruangan yang cukup luas bagi seorang kepala sekolah," ucap Inspektur Adi.
Menurutku ruangan ini memang luas. Bahkan ruang kerja ayah di kantor polisi saja tidak seluas ini. Ada satu set sofa mahal, televisi, pendingin ruangan, lemari arsip, bahkan kulkas pun ada di ruangan ini. Inspektur Rian mulai memeriksa meja kerja Pak Rio sedangkan Inspektur Adi masih mengagumi ruangan yang terlihat mewah tersebut.
Aku melihat-lihat berkas yang ada di lemari arsip besi. Tidak ada yang aneh dari berkas-berkas ini. Aku pun memutuskan untuk melihat-lihat isi ruangan itu.
"Sepertinya Pak Rio ini seseorang yang menyukai hal-hal klasik ya," kataku sambil melihat lukisan-lukisan yang terpajang di ruangan itu.
"Tentu saja. Lihat ini. Beliau pun suka menulis not lagu-lagu klasik di tengah kesibukannya," kata Inspektur Rian sambil menunjukkan beberapa lembar kertas kepadaku.
"Fruhlingsstimmen ya," gumamku.
"Sama seperti lagu yang beliau minta untuk dibawakan di acara pembukaan hari ulang tahun sekolah," kata Inspektur Rian.
"Mengapa Pak Rio ini sangat terobsesi dengan hal-hal klasik," gumam Inspektur Adi.
"Tidak ada yang mencurigakan dari tempat ini," kata Inspektur Rian.
"Tapi mengapa ada orang yang ingin melenyapkan beliau, sedangkan beliau adalah orang yang bersih?" tanya Inspektur Adi.
Hampir satu jam kami berada di ruang tersebut dan kami tidak menemukan hal mencurigakan disana. Halaman sekolah masih ramai oleh lomba karnaval yang diikuti siswa-siswi sekolah itu. Karena merasa hasilnya nihil, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke kantor polisi. Kami berpamitan dengan Pak Arka kemudian pergi menuju mobil.
"Hei, inikah kasus yang sedang kamu kerjakan?" tanya Ayah kepadaku saat kami telah tiba di kantor polisi.
"Iya," jawabku singkat sambil meminum coklat hangat.
"Menarik. Lalu sampai mana perkembangan kasus ini?" tanya Ayah.
"Tidak sampai mana-mana. Kami buntu," jawabku putus asa.
"Tidak biasanya kamu begini," kata Ayah.
"Apa ini?" tanya Ayah lagi.
"Undangan acara pembukaan hari ulang tahun sekolah itu. Inspektur Adi dan Inspektur Rian juga dapat," jawabku.
"Wow. Kalian bisa datang ke acara itu tanpa harus sebagai polisi ya," kata Ayah meledekku.
-----------------
Udah sampe bagian 6 nih, semangat yeeu. Terima kasih udah baca ceritaku. Jangan lupa komen dan votenya yaa! See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Murder of the Principal [END]
Mystery / ThrillerSMA Rafflesia, suatu sekolah asrama swasta elit di kota itu tengah gempar tatkala kepala sekolahnya ditemukan tewas secara mengenaskan di koridor sekolah. Velisa Andriani, detektif remaja berusia 18 tahun, berusaha menyelidiki penyebab dan siapa pel...