Bagian 13 - Kontemplasi

2.4K 349 14
                                    

Aku berjalan menuju ruangan Inspektur Adi dan melihatnya disana bersama dengan Detektif Tio. Mereka tampak sedang berdiskusi serius sambil sesekali menunjuk berkas-berkas yang ada di atas meja.

"Halo Inspektur, Detektif. Bagaimana hari kalian?" tanyaku saat tiba di ruangan itu.

"Sangat menyenangkan sekaligus sibuk," kata Inspektur Adi sambil meminum kopi.

"Bagaimana kondisimu, Detektif Tio?" tanyaku.

"Cukup baik, hanya saja bekas jahitan ini terkadang masih terasa nyeri," jawabnya sambil memegang bahu kirinya.

"Jadi apakah ada petunjuk?" tanyaku langsung.

"Banyak yang harus kau lihat, Nak. Mulailah dari laporan hasil forensik ini," kata Detektif Tio.

Aku membaca laporan forensik itu dengan teliti. Laporan itu menyebutkan bahwa noda berwarna kecoklatan yang ada di apron milik Bu Ima adalah noda bekas lumpur, bukan kecap asin maupun saus.

"Lumpur," kataku singkat sambil masih membaca laporan itu.

"Dan sama seperti jejak lumpur yang dibawa Inspektur Adi tadi," kata Detektif Tio.

"Jejak lumpur yang ada di lantai halaman tadi mungkin berasal dari sepatu Bu Ima. Itu berarti Bu Ima mengenakan sepatu yang sama saat memakai apron ini," kataku.

"Sedangkan ia memakai apron saat memasak di dapur, bukankah begitu?" tanya Inspektur Adi.

Aku berpikir keras setelah Inspektur Adi mengatakan hal demikian.

"Bisa jadi seperti ini. Setelah selesai dari dapur, Bu Ima belum melepaskan apronnya kemudian ia berjalan melewati kebun dan apron serta sepatunya tidak sengaja terkena lumpur," kataku.

"Itu penjelasan yang logis. Tapi bukankah paviliun Bu Ima berada di belakang? Begitu pula dengan dapur sekolah?" tanya Inspektur Adi.

"Benar. Bu Ima melakukan hal yang tidak biasanya ia lakukan," kata Detektif Tio.

"Termasuk dekat dengan Aden," kataku sambil melipat tangan dan menopang dagu.

"Kenapa kamu menopang dagumu seperti itu?" tanya Inspektur Adi.

"Gaya berpikir seorang detektif," kata Detektif Tio pada Inspektur Adi.

"Kalau begitu, bagaimana dengan gayamu?" tanya Inspektur Adi meledek Detektif Tio.

"Tak usah dipikirkan," jawab Detektif Tio kesal.

"Entah kenapa aku selalu mengaitkan kasus Bu Ima dengan kasus Pak Rio. Bagaimanapun ini masih terjadi di lokasi TKP yang sama," kataku.

"Maksudmu kematian Bu Ima ada kaitannya dengan kematian Pak Rio?" tanya Inspektur Adi.

"Ya, kurang lebih," kataku.

"Maaf menyela, tapi bolehkah aku menginterogasi petugas keamanan sekolah itu?" tanya Inspektur Rian tiba-tiba ada di depan ruangan.

"Tentu. Kita bahkan belum menemukan satupun tersangka," kata Detektif Tio.

"Baik Detektif, terima kasih," kata Inspektur Rian sambil pergi.

"Bagaimana dengan surat-surat ancamannya?" tanyaku.

"Menurutku ini ancaman dan makian. Disini tertulis : Kau harus diam! Pegawai rendahan sepertimu akan sangat mudah untuk dipecat!," kata Detektif Tio sambil membaca surat-surat itu.

"Lalu yang ini tertulis : Tutup mulutmu atau aku akan membuatmu sengsara!" kata Inspektur Adi.

"Tunggu, mengapa si pengirim surat ini ingin Bu Ima untuk tetap diam. Apakah ia mengetahui sesuatu?" tanyaku.

"Kami berdua memikirkan hal yang sama," kata Detektif Tio.

"Mungkinkah Bu Ima mengetahui siapa pelaku pembunuhan Pak Rio?" tanyaku.

"Sepertinya aku tidak berpikir sampai situ," kata Inspektur Adi.

"Bagaimana dengan hasil otopsi Bu Ima?" tanyaku.

"Mungkin sekarang bisa disebut laporan toksikologi," kata Inspektur Adi.

"Ia benar-benar diracun?" tanyaku lagi.

"Dokter menyatakan bahwa Bu Ima tewas karena racun sianida. Hal ini diketahui dari perubahan warna kulitnya yang semula cerah menjadi merah muda aneh yang disebabkan akibat oksigen tidak bisa sampai ke sel dan tetap di dalam darah," kata Detektif Tio.

"Dan ciri lain yang mengarah pada racun jenis itu adalah napas Bu Ima berbau seperti almond, almond pahit," kata Inspektur Adi.

"Apakah dokter sudah melakukan tes darah?" tanyaku.

"Sudah. Dokter sudah mengetes darah dan juga melakukan rontgen pada Bu Ima. Hasilnya adalah terdapat senyawa Natrium Sianida dalam tubuhnya. Natrium Sianida adalah senyawa padat berwarna putih...," kata Detektif Tio terputus kemudian aku menyambungnya.

"Yang dapat larut dalam air," kataku bersamaan dengan Detektif Tio.

"Itu bisa menjelaskan tentang sirupnya," kata Inspektur Adi.

"Benar. Racunnya larut dalam sirup sehingga Bu Ima tidak menyadarinya," kataku.

"Berapa dosis Natrium Sianida yang ada dalam tubuh Bu Ima?" tanyaku.

"0,4 gram," jawab Detektif Tio.

"Berapa berat badan Bu Ima?" tanyaku.

"63 kilogram," jawab Detektif Tio lagi.

"Pembunuh ini sudah tak waras. Setengah gram sianida saja bisa membunuh orang dewasa dengan berat badan 80 kilogram. Apalagi dengan berat badan hanya 63 kilogram," kataku.

"Kita bisa menempatkan Juan sebagai tersangka," kataku.

"Siapa Juan?" tanya Inspektur Adi.

"Siswa yang sudah kuinterogasi tadi. Ia adalah sukarelawan acara itu yang bertugas menata gelas dan menuang sirup untuk meja yang ditempati Bu Ima," jawabku.

"Bagaimana dengan surat-suratnya?" tanya Detektif Tio.

"Mungkinkah Juan bermasalah dengan Bu Ima?" tanya Inspektur Adi.

"Tapi Juan mengatakan bahwa Bu Ima adalah orang yang baik, bahkan ia berkata jika Bu Ima memiliki musuh, maka itu akan menjadi hal yang sia-sia karena Bu Ima memiliki banyak teman yang akan mendukungnya," jawabku.

"Lalu apa motif dia untuk membunuh Bu Ima?" tanya Inspektur Adi.

"Tunggu. Bukankah Bu Ima sering mendapatkan surat ancaman yang berisi agar Bu Ima selalu tutup mulut? Apakah itu berarti Bu Ima mengetahui sesuatu?" tanyaku.

"Benar. Dugaanku adalah Bu Ima menyembunyikan suatu rahasia besar yang dimana si pengirim surat ini ingin agar Bu Ima tidak mengatakannya pada publik," kata Detektif Tio.

Aku duduk di kursi ruangan Inspektur Adi sambil meletakkan kepalaku di dinding. Pikiranku kusut saat ini. Dan di kepalaku masih terngiang-ngiang lagu Fruhlingsstimmen.

-----------------

Hai udah sampe bagian 13 nih. Jangan lupa komen dan votenya yaa. Terima kasih udah baca cerita aku. See you!

Murder of the Principal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang