"Surat permohonan izin penggeledahan sudah diberikan, kita bisa memeriksa tempat tinggal Bu Ima sambil menunggu hasil dari laboratorium forensik," kataku.
"Baiklah, tinggalkan saja mobilmu disini. Kita berangkat menggunakan mobil polisi," kata Inspektur Adi.
Kami kembali ke SMA Rafflesia dan menggeledah paviliun kecil Bu Ima pada hari yang sama. Sementara itu Inspektur Rian masih berada di kantor polisi untuk menyelidiki barang bukti. Sesampainya kami disana, suasana sekolah masih terlihat ramai walau tak terlalu meriah lagi. Terlihat banyak siswa hilir mudik kesana kemari, memakan hidangan, berfoto, tertawa riang, mengobrol, dan saling bergerombol.
Kami segera menuju ke tempat tinggal Bu Ima untuk melakukan proses investigasi. Saat berjalan di halaman sekolah, kami tidak sengaja bertemu dengan Aden bersama seorang temannya. Aden terlihat terkejut melihat kami datang kembali ke sekolah. Namun kemudian ia menyapa kami.
"Halo Detektif, halo Inspektur. Aku tebak kalian pasti akan memeriksa sekolah kami lagi ya? Ada yang bisa aku bantu?" tanya Aden. Sekarang ia tidak terlalu merasa takut atau gugup setiap bertemu dengan petugas polisi karena mungkin ia sudah tahu bahwa kasus ini berkaitan dengannya.
"Hai Aden. Bolehkah kamu tunjukkan dimana tempat tinggal Bu Ima?" tanyaku balik.
"Boleh. Ayo ikuti aku," jawab Aden. Ia meminta izin untuk meninggalkan temannya di depan ruang aula dan menunjukkan kami dimana paviliun Bu Ima.
"Mengapa setiap masalah selalu berkaitan denganmu," gumam Inspektur Adi pada Aden.
"Sejujurnya inspektur, saya juga menanyakan hal yang sama," kata Aden.
Sesampainya kami di paviliun Bu Ima, kami segera memeriksa lokasi. Aden menemani proses investigasi kami, namun ia memilih untuk menunggu di luar. Aku dan Inspektur Adi masuk ke paviliun kecil itu untuk menginvestigasi.
Sebuah tempat tinggal yang tidak terlalu luas namun cukup rapi dan layak untuk ditinggali. Paviliun itu didominasi oleh cat warna putih bersih dan tanaman hias sekedarnya. Aku masuk ke kamar tidur Bu Ima dan melihat apron koki tergantung di depan lemari pakaiannya. Tak ada yang aneh dari apron berwarna putih gading itu kecuali beberapa noda kecoklatan di bagian bawahnya. Aku segera memotret dan membawa apron itu ke dalam kantong barang bukti untuk diselidiki di kantor polisi.
"Lihat apa yang aku temukan," kata Inspektur Adi kepadaku.
"Surat ancaman? Bu Ima menerima surat ancaman dari seseorang?" tanyaku tak percaya.
"Tapi untuk apa seseorang mengancam juru masak sekolah?" tanya Inspektur Adi balik.
"Keluhan atas masakan yang tidak enak?" kataku asal menebak. Inspektur Adi malah tertawa kecil. Kami membawa surat-surat itu dan apron yang kutemukan tadi untuk diselidiki lebih lanjut.
Aku melihat sebuah kertas dibungkus plastik tergantung di salah satu paku dekat pintu masuk. Aku menuju ke kertas itu dan membaca apa yang tertulis. Oh hanya kartu inventaris bangunan, batinku.
Kami keluar dari paviliun itu ketika penggeledahan selesai. Aden masih menunggu kami di luar sambil memainkan ponselnya. Ketika kami selesai, ia segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
"Hei kalian sudah selesai?" tanya Aden.
"Sudah. Tapi bisa jadi kemungkinan kami akan kembali lagi," jawab Inspektur Adi.
"Oh baiklah," kata Aden. Kami berjalan kembali menuju tempat dimana kami memarkirkan mobil polisi.
"Coba tebak siapa yang menjadi trending topic sosial media pekan ini?" kata Aden.
"Siapa? Apakah aku?" tanya Inspektur Adi penuh percaya diri.
"Hahaha... Bukan, Detektif Velisa yang ramai diperbincangkan di sosial media pekan ini," kata Aden.
"Apa?" tanyaku kaget.
"Iya betul. Cobalah mengecek sosial media beberapa saat kalau ada waktu luang," kata Aden.
Perkataan Aden ada benarnya juga. Sudah hampir seminggu ini sejak menangani kasus pembunuhan Pak Rio, aku tidak pernah mengecek akun media sosialku. Benar-benar terkejut saat mengetahui bahwa aku ramai diperbincangkan publik di sosial media.
Saat kami hendak menuju mobil, kami bertemu dengan Pak Arka. Beliau terlihat sibuk karena menggantikan jabatan Pak Rio sementara waktu hingga komite sekolah menentukan siapa kepala sekolah baru yang akan menjabat.
"Halo, bertemu kalian lagi rupanya. Apakah kalian melanjutkan kasus Pak Rio atau mulai menyelidiki kasus Bu Ima?" tanya Pak Arka.
"Sebenarnya kami baru mulai menyelidiki kasus Bu Ima, tapi kasus Pak Rio belum kami tutup, jadi bisa dibilang kami sedang menyelidiki keduanya," jawabku.
"Oh begitu. Baiklah, tetap semangat ya. Saya tahu kalian pasti lelah karena terlalu sibuk," kata Pak Arka menyemangati kami.
"Iya terima kasih, Pak," kata Inspektur Adi.
"Kenapa Aden ikut dengan kalian? Apa dia terlibat juga?" tanya Pak Arka.
"Jangan tanyakan itu, Pak," kata Aden lirih sedkit malas.
"Kemarin kami juga sudah menginterogasi Aden. Dan sekarang mungkin ia akan banyak membantu kami," kataku sambil tersenyum.
"Baguslah kalau begitu. Setidaknya dia tidak hanya berfoto selfie kesana kemari saat acara ulang tahun sekolah," kata Pak Arka. Kami semua tertawa kecuali Aden yang memasang wajah masam.
"Maaf saya harus mengurusi berkas-berkas ini. Saya duluan ya," kata Pak Arka. Kami mempersilakan beliau pergi untuk mengerjakan urusannya.
"Oke Aden, terima kasih atas bantuannya hari ini. Ingat, kalau ada yang mencurigakan jangan takut untuk menghubungi kami," kata Inspektur Adi.
"Baiklah, aku sudah memberikan nomor ponselku ke Detektif Velisa," kata Aden.
Kami menaiki mobil dan meninggalkan sekolah itu. Petugas keamanan membukakan gerbang dan mempersilakan kami lewat. Tunggu! Mengapa kita tidak menginterogasi petugas keamanan sekolah juga?
-----------------
Wah udah sampe bagian 9 nih. Terima kasih udah baca cerita aku. Jangan lupa komen dan votenya yaa. See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Murder of the Principal [END]
Mystery / ThrillerSMA Rafflesia, suatu sekolah asrama swasta elit di kota itu tengah gempar tatkala kepala sekolahnya ditemukan tewas secara mengenaskan di koridor sekolah. Velisa Andriani, detektif remaja berusia 18 tahun, berusaha menyelidiki penyebab dan siapa pel...