Sesampainya di kantor polisi, kami bertemu dengan Inspektur Rian. Ia terlihat seperti ingin menjelaskan banyak hal kepada kami. Namun pandangannya teralihkan pada kantung barang bukti yang kami bawa.
"Ini barang bukti yang kami temukan tadi," kata Inspektur Adi. Inspektur Rian membuka kantung itu dan mengeluarkan isinya.
"Apron?" tanya Inspektur Rian.
"Lihat di bagian bawahnya," kataku. Inspektur Rian membalik apron itu.
"Noda, mungkin bekas saus atau kecap ikan," kata Inspektur Rian.
"Dan surat-surat ancaman," kata Inspektur Adi.
"Kita punya beberapa bukti disini ya," kata Inspektur Rian.
"Aku rasa semuanya harus diperiksa juga," kata Inspektur Adi.
"Bagaimana dengan barang-barang bukti yang telah diselidiki?" tanyaku.
"Jejak lumpur yang ditemukan itu bukan berasal dari halaman sekolah karena struktur lantai halaman sekolah berbentuk paving," kata Inspektur Rian.
"Aku bertaruh itu berasal dari area kebun sekolah," kata Inspektur Adi.
"Ya, kami juga menduga seperti itu. Lalu beberapa helai rambut, itu bisa kami identifikasi melalui tes DNA, kecocokannya positif milik Bu Ima," kata Inspektur Rian.
"Bagaimana dengan gelasnya?" tanyaku.
"Penyidik forensik menemukan banyak sidik jari dari dua orang yang berbeda di gelas itu. Sidik jari pertama tentu saja milik Bu Ima, dan sidik jari yang kedua masih menjadi misteri," kata Inspektur Rian.
"Sepertinya kita menemukan sidik jari pembunuhnya," kata Inspektur Adi.
"Belum tentu. Perlu diingat bahwa kasus ini terjadi di saat ada acara besar dan korban minum dari gelas yang ada di meja hidangan, tentu...," kataku terputus.
"Tentu saja ada seseorang yang bertugas sebagai penata hidangan atau ibaratnya seperti seorang pramusaji di sebuah restoran yang pastinya dia memegang gelas itu," kata Ayah datang tiba-tiba untuk mengambil beberapa lembar kertas di meja sudut ruangan.
"Tapi Pak, bagaimana kami bisa mengetahui orang itu?" tanya Inspektur Rian.
"Sepertinya kalian harus menghubungi rekan saksimu itu lagi," kata Ayah sambil keluar dari ruangan ini.
"Kita harus menghubungi Aden lagi," kataku sambil mengeluarkan ponsel dari saku jasku.
"Halo Aden. Ya, kami memerlukan bantuanmu disini. Bisakah kamu izin untuk meninggalkan acara itu sebentar? Kami akan mengurus surat perizinan keluar dari gedung sekolah untukmu," kataku dalam telepon.
"Baiklah, kami tunggu," kataku sambil menutup telepon.
"Aku saja yang mengurus surat perizinannya," kata Inspektur Adi.
"Oh ya Nak, ada satu hal janggal yang ada di gelas itu. Pernahkah kamu melihat sirup dalam bentuk bubuk?" tanya Inspektur Rian.
"Maksudnya?" tanyaku.
"Ada sedikit serbuk di gelas itu, kami tidak bisa memastikan bahwa itu wujud lain dari sirup yang diminum korban," kata Inspektur Rian.
"Mungkinkah itu racun?" kataku.
"Menurut informasi dari tim dokter forensik kepolisian, jasad Bu Ima baru akan diotopsi setengah jam lagi karena ada urusan administrasi yang belum terselesaikan," kata Inspektur Rian.
"Detektif Velisa, ada tamu yang ingin bertemu dengan kamu," kata Detektif Tio, detektif resmi kepolisian. Sementara ia belum bisa turun ke lapangan karena masih dalam masa pemulihan setelah bahu kirinya terluka karena tembakan.
"Aden," kata Inspektur Rian.
---
"Hai Aden, kami ingin menanyakan beberapa pertanyaan kepadamu," kata Inspektur Rian pada Aden.
"Baiklah," kata Aden sambil mengangguk.
"Apakah kamu tahu siapa panitia yang bertugas untuk urusan hidangan?" tanya Inspektur Rian.
"Tentu tahu, aku yang membawa daftar panitianya," jawab Aden santai.
"Kalau begitu, siapa?" tanyaku.
"Yang mengurus hidangan adalah dari divisi konsumsi, ketua divisi itu adalah Clara. Tapi yang menata hidangan aku jamin bukan Clara, karena dia membantu Tarisa mengurus kabel sambungan pengeras suara di belakang panggung," jawab Aden.
"Berarti orang lain yang menata gelas-gelas itu?" tanya Inspektur Rian.
"Tentu saja. Divisi konsumsi banyak diisi oleh volunteer dari berbagai siswa dari penjuru kelas berbagai angkatan, aku rasa Clara tahu siapa saja yang bertugas menata gelas dan menata hidangan," kata Aden.
"Bisa kamu hubungi Clara untuk datang kemari? Katakan padanya kami akan mengurus surat perizinannya," kata Inspektur Rian pada Aden.
"Aku akan katakan kepada Inspektur Adi untuk membuat surat perizinan satu lagi untuk Clara," kata Inspektur Rian padaku.
"Aku rasa kita perlu dua, untuk Clara dan satu temannya yang bertugas menata gelas," kataku.
"Oh ya benar juga," kata Inspektur Rian sambil keluar dari ruangan.
"Hei aku mau tanya beberapa hal, apakah kamu keberatan?" tanyaku pada Aden.
"Tentu tidak," kata Aden ringan.
"Ini bukan terkait dengan kasus Bu Ima, sebaliknya ini berkaitan dengan kasus Pak Rio. Kami belum menutup kasus itu karena aku rasa ini berhubungan dengan kematian Bu Ima," kataku pada Aden.
"Iya, aku juga merasakan itu. Tapi bagaimana bisa ada dua kejadian pembunuhan dalam waktu singkat di sekolah kami. Aku rasa tahun ini menjadi hari ulang tahun sekolah terburuk sepanjang aku bersekolah di SMA Rafflesia," kata Aden.
"Dan anehnya semua berkaitan denganmu," kataku.
"Maksudmu aku yang membunuh mereka? Yang benar saja," kata Aden sedikit kesal.
"Dengar, Pak Rio dibunuh menggunakan pisau bukan? Apa kamu tahu siapa yang biasanya sering bekerja menggunakan pisau?" tanyaku.
"Pisau? Mungkin juru masak?" tanya Aden balik.
"Maksudmu Bu Ima yang membunuh Pak Rio?" tanya Aden lagi. Aku hanya mengangkat bahu. Aden memalingkan wajahnya.
"Tunggu, kamu tidak bisa menuduh orang sembarangan selama tidak ada bukti. Itu hanya teoriku yang baru saja terlintas di pikiranku, aku sendiri kurang yakin," kataku.
"Detektif, Clara akan tiba di kantor polisi dalam waktu sepuluh menit lagi bersama temannya yang menata gelas di meja Bu Ima, persiapkan dirimu," kata Inspektur Adi.
"Kamu boleh keluar dari ruangan ini tapi jangan kembali ke sekolah dulu. Tunggu sampai Clara dan temannya selesai diinterogasi baru kalian boleh kembali ke sekolah bersama," kataku.
"Kenapa? Apa kamu menuduh aku akan kabur?" tanya Aden mencurigaiku.
"Tidak, aku hanya berpikir itu akan jauh lebih hemat bahan bakar mobil polisi daripada kami harus mengantar kamu duluan kemudian kembali untuk menjemput Clara. Jangan terlalu percaya diri," kataku sambil tertawa kecil.
"Detektif, ada seseorang yang ingin menemui Anda," kata Detektif Tio lagi. Aku pergi menuju lobi kantor polisi dan mengajak Clara serta temannya untuk duduk di ruang interogasi, sama seperti Aden tadi. Inspektur Rian sudah menunggu disana.
"Detektif, hasil penyidikan di laboratorium forensik sudah ada dan hasil sementara untuk otopsi Bu Ima juga sudah keluar," kata Inspektur Adi sambil berjalan mengiringiku.
"Terima kasih banyak, Inspektur. Tapi maaf sekali aku dan Inspektur Rian ada tamu yang harus diinterogasi disini. Bisa tolong analisis dulu hasil sementaranya bersama Inspektur Tio? Aku akan menyusul setelah proses interogasi selesai," kataku sedikit terburu-buru.
"Oke, aku mengerti," kata Inspektur Adi kemudian ia berjalan berbelok ke ruangannya.
-----------------
Halo udah sampe bagian 10 nih. Terima kasih udah baca cerita aku. Jangan lupa komen dan votenya yaa. See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Murder of the Principal [END]
Mystery / ThrillerSMA Rafflesia, suatu sekolah asrama swasta elit di kota itu tengah gempar tatkala kepala sekolahnya ditemukan tewas secara mengenaskan di koridor sekolah. Velisa Andriani, detektif remaja berusia 18 tahun, berusaha menyelidiki penyebab dan siapa pel...