9

10 9 0
                                    


Ardi terlihat menahan tawa, dan seketika tawanya pecah.

Aku yang sedang menyenderkan tubuh di kursi berdecak kesal. Kakiku masih bergetar, tangan masih lemas, dan kepalaku masih sedikit pusing.

"Makanya kalau tidak berani, jangan sok-sok-an berani." ucap Ardi disela-sela tawanya.

Aku mendelik.

"Bapak, pasti ngerjain saya. ya? Jelas-jelas Bapak yang ngajak. Kan saya tidak tahu, kalau wahananya bakal kaya begini."

"Halah. kamu kan bilang dari awal, kalau kamu berani." Kini Ardi duduk disebalahku.

Aku cemberut mendengar penuturan Ardi.

Ardi tiba-tiba berdiri dan pergi meninggalkanku yang masih belum kuat untuk berjalan. Aku sangat kesal dengan sikap Ardi yang seperti itu. Biarkan dia pergi toh aku bisa terbebas dari permintaan dia. Ucapku dalam hati.

Aku mencoba untuk berdiri. Tetapi kakiku masih sedikit bergetar, tetapi lumayan bisa sedikit berjalan.

"Nih. Minum!"

Aku melihat Ardi membawa minuman. Aku masih tidak percaya, aku masih bergeming.

"Ayo, nih ambil. Perlu saya bukain?"

Aku masih terdiam.

"Nih, udah saya bukain."

Karena tanganku masih lemas, tanganku masih gemetar ketika mengambil minuman itu. Aku kembali duduk dan meminum minuman yang diberikan Ardi.

"Makasih, pak."

Aku dan Ardi terdiam sejenak. Namun, tiba-tiba perutku berbunyi keras.

Ardi mengangkat sebelah alisnya, aku hanya nyengir sambl memegangi perut. Aku malu, dengan situasi sekarang. Mungkin mukaku sudah merah.

"Memangnya kamu sudah bisa jalan? Saya tidak mau menggendong kamu."

"Siapa juga yang mau digendong, saya bisa jalan kok."

"Ya, sudah. Kalau begitu kita cari tempat makan."

Ardi berjalan terlebih bahulu, dan aku masih dibelakang. Rasanya aku berjalan seperti melayang. Kayanya aku tidak akan menaiki wahana itu lagi. Aku menoleh kebelakang, dan masih banyak orang yang ingin menaiki wahana itu. Aku bergidik melihatnya.

Ketika selesai makan siang, Aku dan Ardi kembali menaiki beberapa wahana seperti istana boneka, ice age, dan yang terakhir sebelum kita pulang. Aku mengajak Ardi untuk menaiki wahana bianglala.

"Pak, kita naik itu yuk!" kataku menunjuk bianglala.

Tanpa menunggu Ardi, aku sudah mendekati ke wahana tersebut. Aku menoleh, ternyata Ardi tidak ada disampingku. Ternyata dia masih dibelakang. Aku kembali ke sisi Ardi yang masih bergeming.

"Ayo, naik!" aku menarik tangan Ardi namun malah di tepis oleh Ardi.

Aku heran kemudian terkekeh. "Bapak takut?"

"Ng-nggak siapa yang takut. Ayo!" ardi jalan mendahuluiku.

Kini kami sudah memasuki wahana seperti sangkar burung – itu. Aku melihat kearah sampingku, Ardi dengan wajah tegang. Tangannya sudah memegang erat besi. Aku hampir meledakkan tawaku.

"Gak usah tegang begitu, Pak. Ini tidak menakutkan seperti wahana tadi."

Ardi mendengus. Ardi mencoba untuk menarik nafas, tapi ketika matanya melihat ke bawah. Ardi langsung menutup matanya rapat-rapat.

Aku tertawa melihatnya.

"Kamu takut ketinggian? Cemen banget." Aku kembali tertawa. Tanpa sadar aku mengganti panggilan, Bapak.

Ardi menoleh setelah ucapanku, dan tanpa sadar senyum itu terbit dari bibir Ardi.

Perlahan bianglala itu menuju puncaknya. Dan pegangan Ardi semakin erat. Langit hari ini sangat cerah, tetapi tidak seindah senja kemarin yang menguning. Hari ini tampak biasa saja, namun tidak merusak keindahan langit sore langit Jakarta. Disini aku bisa melihat, seluruh dufan dari ketinggian dan lampu-lampu yang mulai menerangi langit senja.

Aku mengeluarkan ponselku ketika bianglala ini berhenti di atas. Aku tidak akan menyia-nyiakan momen ini untuk diabadikan. Aku memotret dengan ponsel pintarku dan ide terlintas begitu wajah Ardi sempat memenuhi ponsel yang aku pegang. Aku arahkan kamera ponselku ke wajah Ardi yang masih tegang.

Aku memotretnya.

Ardi yang melihatnya membulatkan kedua matanya, dan menatap tajam. Aku hanya terkekeh melihatnya.

"Hapus!"

"Gak, buat kenang-kenangan. Lucu tahu muka kamu tegang banget." Aku kembali tertawa.

Ardi tidak bisa berbuat apa-apa. Karena dia takut tiba-tiba jatuh. Ardi menghela nafas. Setelah lima belas menit kemudian kami turun dari bianglala. Beberapa langkah kami mendekati stand penjual minuman. Ardi membeli minum untuk membasahi tenggorokannya yang kering karena tegang.

"Mana hp kamu." Ardi meminta ponselku dengan tangannya yang terulur.

"Buat apa?"

"Lihat foto tadi, saya mau hapus."

"Gak."

"Tapi, saya gak mau difoto. Hapus! Sekarang!"

"Iya, bawel." Dan tentu saja aku tidak menghapus foto itu.

"Habis ini kita kemana?"

"Kayanya pulang deh. Aku capek banget."

"Kalau begitu kita makan dulu sebelum pulang."

Kami berdua memutuskan untuk makan di restoran yang ada di dufan. Aku memesan makan terlebih dahulu.

"Kamu mau pesan apa?"

"Samakan aja."

"Ok."

Beberapa saat kemudian makanan pun datang. Kami makan dengan khidmat. Dan setelah itu kami pulang.

Aku hendak turun, karena sudah sampai rumah. Tetapi tangan Ardi menahanku. Aku menatapnya bertanya.

"Makasih, untuk hari ini. Kamu sudah traktir saya,"

"Iya, sama-sama." Aku jawab dengan nada datar. Sabar, padahal aku terpaksa. Tapi ya,sudahlah. Ucapku dalam hati.

"Nanti saya transfer, uang kamu saya ganti."

"Tidak apa-apa. Tidak usah," hati sama bibir tidak sejalan, dasar rere.

"Kalau begitu, sebagai gantinya nanti kita jalan-jalan lagi. Dan kamu harus mau. Gak ada penolakan."

'Siapa juga yang mau nolak, justru ini kesempatan yang bagus untuk bisa deket lagi sama kamu, Ar.'

Aku menghembuskan nafas. Aku tersenyum.

"Kalau begitu saya turun dulu, Pak."

"Tunggu!"

"Saya mau bilang, kalau bukan dikantor jangan panggil saya 'Bapak'. Emang saya Bapak kamu."

"Ok, baiklah."

"Kamu boleh turun,"

Aku segera memegang pintu, siap untuk keluar. Namun Ardi menahanku kembali. Aku sangat kesal dibuatnya.

"Apalagi sih,"

Ardi mengusap rambutku dengan lembut.

"Selamat malam."

Aku terkejut dengan perlakuannya. Aku yakin mukaku langsung merah.

"Udah sana turun." Aku tersentak ketika Ardi membukakan pintu untukku.

Aku langsung turun. Dan segera memasuki rumah.

Kura-kura In Love 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang