Chapter 13. Ejekan Baru

293 211 456
                                    

Happy Reading🍧

Perasaan seseorang sekarang hanya sekedar candaan! Jika kita melawannya kita dianggap baperan. Memang yah mulut manusia bisa sebercanda itu.

~Author Devantaa

***

Aku berjalan dengan begitu lunglai ke arah kelas dengan keadaan yang bisa dibilang tidak baik-baik saja. Sekarang dia berdiri di depan kelas dengan air mata yang telah mengering. Ruangan ini akan menjadi saksi bisu akan hal yang selama  ini terpendam dan selama ini tak pernah diungkapkan, "Terimakasih ..." ujarku begitu lantang tapi aku menjeda perkataanku membiarkan temanku untuk mencela diriku. Aku butuh jeda untuk mengatakan apa yang selalu terpendam biarkan saja mereka terus mencemooh dan mencelaku.

"Dia kayaknya udah kehilangan akal."

"Drama Queen, kalau cantik nggak papa dia jelek."

"Kayaknya otaknya kebalik deh."

"Bisa ya udah beli kunci jawaban, nggak malu malah berdiri depan kelas."

"Nggak ngenak-enakin pemandangan aja."

"Mukanya tebel banget yah, padahal dia udah nggak punya harga diri."

"Ada yang nyumbang muka kali!"

"Terimakasih untuk semua luka yang kalian tabur. Terimakasih karena sudah mampu menjatuhkanku berkali-kali, terimakasih telah membuatku berjuang begitu keras sampai tubuhku remuk. Aku cuman ingin mengucapkan selamat kepada kalian semuanya, karena telah membuat diriku hancur sehancurnya," ujar Gabera dengan air mata yang mengalir deras. "Satu hal lagi kalian tidak pernah tahu rasanya menahan rasa sakit di hati itu lebih menyiksa, aku lebih baik kalian sakiti secara fisik karena itu akan sembuh beberapa hari malah aku sangat bersyukur kalau kalian bisa membunuhku," lanjut ku masih dengan air mata yang mengalir deras.

Semua temanku memandang ke arahku, ekspresi mereka tak bisa aku tebak.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

"Hadeh drama banget, mending ikutan casting film aja! Ups muka lo kan jelek paling jadiin tukang suruh-suruh," ejek Elina.

"Ikut ratapan buah hati di Indosiar tuh," ejek Sasa sambil tersenyum renyah.

"Di pikir kita orang sukarelawan yang ngasih simpati kali," sinis Jelita.

"Biasalah caper ... caper!" sahut Azora.

"Dipikir kita nggak tau muka aslinya."

"Skip ... skip!"

Elina langsung merobek kertas dan meremasnya membentuk seperti bola kertas dan langsung melempar ke arahku dengan ujaran kebencian, "Nggak usah caper! Kalau mau ngemis simpati di lampu merah aja sana gih! Kalau disini lo salah tempat Gab!"

"Pindah sekolah aja sana!" seru Perdo.

"Biar nggak ada lagi sampah," sahut Casa.

"Buanglah sampah pada tempatnya, kayak lo perlu dibuang dari kelas ini," balas Jelita.

"Malu-maluin aja si anoman ini. Ups!" sindir Azora.

Teman-temannya juga melempariku dengan bola kertas. Seharusnya aku tau bahwa temannya tidak memiliki hati. Aku menyilangkan kedua tangannya dihadapan mukaku sehingga bola kertas itu tak akan mengenai mukaku. Aku sudah jatuh terduduk tetap saja mereka belum puas. Namun tiba-tiba ada seseorang yang menghalangi bola kertas itu dia Fathan. Dia ada dihadapanku. Punggungnya menghalangi bola kertas tersebut mengenaiku. Kali ini raut mukanya tak ada lagi ketenangan hanya ada amarah, bahkan guratan-guratan emosi jelas tercetak.

It's About Me! [ SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang