Chapter 18. Keadilan?

157 102 774
                                    

Happy Reading 💥

Apa yang kamu lihat belum tentu itu yang sebenarnya,  karena manusia itu pandai dalam memanipulasi perasaannya

~Fathan & Gabera

***


"Bu, setiap Elina lapor Ibu selalu mendengarkannya bahkan sekalipun tanpa bukti. Jika saya yang melaporkan harus ada buktinya. Apa Bu Indah percaya kalau Elina mengunci saya di gudang? Membully saya? Apa Bu Indah percaya kalau saya diperlakukan tidak adil di kelas? Apa jawaban Bu Indah ... iya harus ada bukti yang kuat. Saya juga seorang murid Bu, tapi saya disini merasa sangat di bedakan. Apakah karena orangtua Elina sebagai donatur sekolah dan dia juga sebagai aset sekolah ini, maka setiap ucapannya adalah kebenaran mutlak. Padahal ucapannya belum tentu kebenaran, bisa saja dia memutar balikan fakta. Saya juga bayar di sekolah ini walaupun orangtua saya bukan donatur sekolah, saya juga bukan murid yang pandai tapi saya nggak bodoh. Jika saya meminta keadilan di sekolah ini apa kah bisa?" tanyaku kepada Bu Indah.

"GABERA!" marah Bu Indah dengan berteriak.

BRAK! suara Bu Indah menggebrak mejanya menatap muridnya yang melawan dirinya.

Saat tangan Bu Indah melayang untuk menamparku, dia terhenti tidak tahu apa yang menghentikannya.

"AYO TAMPAR SAYA BU?! KENAPA BERHENTI?!"

Aku hanya menatap Bu Indah dengan hati yang  sudah hancur. Aku sudah tidak lagi duduk, melainkan berdiri. Air mataku terus bercucuran dan membasahi wajahku. Dimana rasanya sesak sekali berada di sekolah ini, bahkan aku tak tahan lagi. Aku sudah cukup muak untuk menahannya.

BRAK!

Suara dobrakan pintu membuat aku menoleh, aku melihat Fathan, "Bu Indah saya sudah bilang dengan sangat jelas bahwa Gabera tidak mengetahuinya. Saya melakukan ini karena kehendak saya bukan karena Ga—" aku memegang tangan Fathan untuk menghentikan aksinya, sedangkan Fathan malah menggelengkan kepalanya seolah-olah sorot matanya sudah mengatakan semuanya ‘Kali ini jangan cegah aku Gab, aku tidak akan berhenti untuk kali ini’ . Sudah cukup semuanya, kenapa semuanya malah menjadi begitu buruk untuk Gabera.

"Aku mohon berhenti Fat, biar aku yang  menyelesaikan sendiri masalah ini. Jangan libatkan hal yang membuat kamu terjebak dan tidak ada jalan untuk kamu keluar," lirihku.

"Apa Bu Indah tahu? Saya sudah di bully oleh Elina dan teman-temannya berkali-kali bahkan setiap kali saya datang ke sekolah jiwa saya seakan-akan di matikan berkali-kali secara paksa," ujarku dengan gemetar, Fathan menggenggam tangan ku dengan erat seolah-olah menyalurkan kekuatannya. "Kalau bisa saya tidak ingin bersekolah lagi, tapi itu akan menimbulkan banyak pertanyaan dibenak kedua Orang tua saya, dan saya tidak ingin itu terjadi," lirihku.

"Saya tahu Bu Indah mungkin sudah mengetahui  hal ini, bahkan seisi sekolah tahu apa yang terjadi dengan diriku, tapi kenapa kalian tidak berbuat apa-apa seolah-olah kalian menutup mata?" tanyaku sambil tersenyum sendu. "Jika bisa aku berharap, kalian memang benar-benar buta agar aku bisa memaklumi semua keadaan yang menimpaku," lanjutku sambil tertawa hampa.

"Gab, mereka itu nggak buta matanya, tapi mata hatinya yang udah buta!" tajam Fathan.

"Gabera, sekolah juga membutuhkan bukti yang konkret kamu tidak bisa hanya berkata omong kosong saja," jelas Bu Indah.

Entah dimana letak omong kosong ku?

Terkadang hidup memang selucu itu.

"APA SAYA KURANG JELAS MENJADI SAKSI MATA DAN BUKTINYA BU!" geram Fathan. "Bukannya saksi mata lebih kuat dari bukti apapaun itu?" tanya Fathan yang menahan emosinya.

It's About Me! [ SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang