Chapter 16. Berkelahi

244 158 534
                                    

Happy Reading 👥

Yang kita anggap sahabat saja, belum tentu  memahami diri kita sepenuhnya!
Siapa yang lebih memahami diri kita? Kalau bukan diri sendiri.

~Bara Mechanical

***

Saat aku sudah pasrah akan bermalam di gudang sekolah. Saat sudah tak ada lagi harapan untuk keluar, tiba-tiba pintu cokelat tersebut terbuka dengan sendirinya, aku mengangkat kursiku untuk keluar dengan darah yang menetes dari pergelangan tanganku. Setelah keluar aku menyeret kursi ku sampai ke kelas dengan tetesan darah yang keluar.

Kelas sudah begitu sepi, teman-teman ku sudah pulang karena hari yang sudah sore. Aku menghela nafas, pasti tas ku sudah di bawa pulang Kakak ku. Aku akan bersiap menerima amarah orangtuaku. Aku juga harus menyiapkan fisik ku. Orangtuaku dalam mendidik sangat keras. Aku tidak tahu apa ini adalah ajarannya agar aku kuat. Aku harus siap menerima tamparan entah di pantat atau pahaku, jeweran, atau cubitan mereka. Amarah mereka yang meletup-letup sambil berteriak tepat ke wajahku. Ini salah satu alasan ku enggan untuk menceritakan apa yang terjadi kepada ku karena aku yang akan di salahkan mereka karena tidak melawannya padahal aku sudah melawannya berkali-kali tapi aku kalah. Aku berdiri mengamati kelas yang begitu sunyi.

"Semuanya nggak ada yang baik-baik aja," lirihku sambil berjongkok dan menenggelamkan wajahku di antara lutut kaki.

Aku menangis tersedu-sedu dalam keheningan ruangan kelas ini. Aku mengingat kejadian demi kejadian yang menimpaku. Membuat hatiku semakin sakit seperti tersayat- sayat pisau.

"Gabera!" teriaknya memanggil ku.

Aku seperti tidak asing dengan suaranya, tapi siapa yang memanggil ku agar tidak penasaran aku langsung mendongak dan menoleh ke arah sumber suara yang memanggilku, "Fathan?" ujarku begitu terkejut melihat Fathan yang belum pulang.

Fathan langsung berlari ke arahku dia memegang pundakku, "Gab, apa kamu baik-baik aja?" tanya Fathan begitu cemas terlihat jelas dari raut wajahnya dan tas ku juga ada bersamanya.

Aku tidak menjawab pertanyaannya tangisku pecah dihadapan Fathan. Sudah berkali-kali Fathan melihat diriku yang rapuh. Berkali-kali juga dia yang menjadi saksi akan tangisan ku. Fathan berusaha menghapus air mata yang membasahi pipiku, tapi Fathan tidak bisa menghapusnya, karena banyaknya air mata yang keluar. Tanpa aba-aba Fathan langsung memelukku, aku tanpa ragu juga membalasnya. Semakin aku ingin menahan semakin dadaku terasa sesak menahan sebuah tangis yang ingin pecah.

"Gab, percaya aja semuanya akan baik-baik aja," ujar Fathan begitu pelan sambil mengusap punggungku seolah-olah Fathan ingin menyalurkan begitu banyak kekuatan terhadap diriku.

Kali ini biarkan saja, aku menangis sepuasnya. Aku sudah tidak peduli jika air mata ku habis. Aku sudah lelah berpura-pura baik-baik saja. Aku juga sudah lelah berdrama, seakan-akan aku pandai dalam menutupi segalanya. Aku sudah lelah hidup dalam sebuah kebohongan. Maka biarkan untuk saja kali ini saja menunjukkan kerapuhan yang ada dalam diriku.

Aku melepaskan pelukan yang diberikan Fathan, menatap kedalaman bola matanya, "Semuanya nggak ada yang baik-baik aja! Dimana letak baiknya Fat?" tanya ku begitu lirih.

"Pasti ada Gab! Kalau bukan sekarang pasti suatu saat nanti," sanggah Fathan.

Aku hanya menggelengkan kepala tak percaya, "Aku ingin percaya, tapi hal itu terlalu sulit untuk aku percaya," jujur ku menatap Fathan.

"Tidak masalah, mungkin suatu saat kamu akan percaya," jelas Fathan.

Fathan tidak sengaja melihat pergelangan tanganku yang masih berdarah, "Gab, pergelangan tanganmu kenapa?" tanya Fathan begitu cemas memegang pergelangan tangan ku yang terluka.

It's About Me! [ SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang