Chapter 17. Bogeman

216 137 710
                                    

Happy Reading 👊

Apa definisi sekolah bagimu?
Definisi sekolah bagiku adalah neraka, dimana tempat penuh derita, luka, dan kesengsaraan.

~Gabera Anjana

***

"FATHAN!" teriakku begitu memekakkan telinga.

Aku melihat Fathan yang tergores penggaris besi tepat di lengan atasnya.

Sret!

Darah mengucur deras di lengan atasnya. Aku dengan cepat langsung berlari ke dalam kelas mencari sebuah kain. Aku panik dan cemas bercampur menjadi satu. Kepalaku menoleh ke kanan-kiri untuk mencari sebuah kain. Hingga aku menemukan sebuah kain yang biasa untuk mengelap kaca bukan kanebo tapi seperti kain perca. Aku langsung kembali dengan gerakan secepat kilat untuk menghampiri Fathan. Mengikat tangannya dengan kain begitu kencang agar darahnya tidak keluar lagi.

Aku menatap Bara yang masih mematung melihat penggaris besi yang masih ditangannya. Kali ini aku menatapnya dengan tajam. Mataku memerah melihat Bara. Pandangannya begitu kosong seperti rasa bersalah menggerogoti dirinya. Aku sudah tidak peduli lagi.

"LO UDAH NGGAK PUNYA OTAK ATAU GIMANA?" tanyaku menatapnya dan Bara lebih memilih untuk menundukkan kepalanya.

"Gg - gugu- gue nggak sengaja," ujar Bara membela dirinya sambil terbata-bata.

Aku maju mendekati Bara, dan mencengkeram kerah bajunya begitu kencang sehingga dia akan merasa tercekik, "KENAPA KALAU FATHAN PEDULI SAMA GUE?! KENAPA KALAU DIA KASIHAN SAMA GUE?! APA KATA LO TADI BAR?! LO LEBIH BAIK DARI FATHAN KAN?! BAGI GUE LO NGGAK LEBIH DARI SEKEDAR SAMPAH?!" murka ku terhadap Bara.

"Lepasin gue!" perintah Bara masih menahan emosinya apalagi mendengar penuturan Gabera yang langsung menusuk ke ulu hatinya.

"Lo mau bunuh Fathan? Bar apa lo harus pakai senjata saat lawan lo dalam keadaan tangan kosong?" desis Gabera dengan nada bertanya.

"Perlu lo tahu Fathan yang mulai bukan gue. Dimana letak salah gue? Kenapa lo lebih menghakimi gue ketimbang Fathan?" tanya Bara dengan guratan emosi yang sudah tercetak jelas.

"Kenapa dia nuduh gue tanpa bukti yang akurat! Bisa jadi gue yang nolongin kan bukan sebagai pelaku. APA GUE BEGITU BURUK DI MATANYA?" tanya Bara lagi dan lagi.

"Kalau lo nggak ngelakuin kenapa lo harus berantem sama Fathan?! Apa lo harus nyakiti dia?! Lo pengecut Bar!" sarkas ku melihat Bara.

"Apa itu jadi urusan lo?! Kenapa gue nggak boleh ngelawan atau ngebela diri sendiri saat gue di tuduh yang bahkan gue nggak lakuin sama sekali?" tanya Bara tajam.

"Iya ini urusan gue! Lo boleh ngelawan tapi apa harus berantem sama Fathan? Apalagi sampe ngelukai dia!" ujar ku sengit.

"Anoman, gue bilang lepasin cengkraman tangan lo dari kerah baju gue sebelum gue ngelakuin hal yang nggak gue kehendaki!" ancamnya kepadaku.

Aku semakin mencengkeram kerah baju Bara hingga dia merasa begitu tercekik. Bara mencoba melepaskan dari cengkraman tanganku di kerah bajunya, karena tenaga Bara jauh lebih kuat. Dia berhasil membuat ku jatuh terhuyung mengakibatkan aku tersungkur mencium lantai berwana putih polos tersebut.

Lutut kaki ku memar, mereka malah menertawakan ku tanpa ada niatan untuk menolong diriku. Hingga uluran tangan Fathan membuat diriku tersenyum, tetapi Bara mendorongnya.

Bruk!

"Bar, lo udah gila!" pekik Fathan mencoba berdiri setalah di dorong Bara.

"Nggak kebalik Fat?" tanya Bara menajam.

It's About Me! [ SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang