Sudah lebih dari tiga minggu mata kosong itu menatap jendela yang sama. Menatap lurus ke ranting yang bergoyang-goyang dengan sumringah. Memandang dan merasakan setiap helai daun berguguran ke tanah. Kemudian terhempas entah ke mana. Menghilang bagai kebahagiaan yang telah berganti hampa.
Ketidakberdayaan seperti ini begitu menyiksa Bobo. Dia telah merasakan berbagai macam tiupan angin dalam hidup. Mulai dari sepoi, sampai badai. Ia kira selama ini paham benar caranya bangkit. Dia pikir sejauh ini telah mengerti caranya melawan arus. Akan tetapi, nyatanya itu hanya kefanaan. Selama ini ia terlalu sombong. Bobo pikir, Tuhan akan selalu berpihak pada rencananya. Nyatanya, ia hanyalah dedaunan yang gugur. Melambai, menari, menghilang entah ke mana setelah badai berlangsung. Pada akhirnya, perempuan itu tak tahu jalan pulang. Lalu kini, yang tersisa hanya kegamangan dan ketidakpastian.
Bobo melihat perutnya yang telah mengecil. Tepat setelah Brian tertembak, ia keguguran. Takdir malang dan penderitaan datang dengan tiba-tiba dan bermaan. Maka tidak heran jika hati perempuan berbulu mata indah itu sehancur ini.
Sinar matahari yang terus menyorot lurus kaca bening jendela semakin terik. Akan tetapi, perempuan dengan rambut tergerai lurus itu belum beranjak pergi. Dia masih setia duduk di kursi roda sambil menatap penuh kehampaan. Tentu sebagai manusia yang hidup lebih lama, Pak Ahmad tidak tega. Lelaki itu ingin mengobati luka putrinya, tetapi dia sendiri tak tahu di mana lukanya. Tidak ada yang bisa melihat luka itu dengan mata telanjang kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
Buk Minah, salah satu perempuan tangguh dalam sejarah, kini hatinya ikut basah. Sebagai seorang ibu, dia paham putrinya sedang tidak baik-baik saja. Akan tetapi, lagi-lagi masalah utamanya sama. Bobo tidak mau menceritakan apa yang dia rasakan. Perempuan bermata indah itu benar-benar bungkam. Bahkan untuk mengatakan sepatah dua patah kata pun dia tidak mau.
"Ehm, Nduk."
Lelaki berpeci putih itu berdehem. Kemudian duduk di sofa samping anaknya.
"Hari ini perusahaan bapak mengadakan festival. Bapak sudah merencanakannya sejak tahun kemarin. Ada lomba pengolahan sampah, pameran, sampai kuliner. Kamu mau ikut tidak?" Sambil menahan tangis, Pak Ahmad berkata demikian. Lelaki itu berharap apa yang dia lakukan bisa mengembalikan semangat hidup putri tercintanya. Akan tetapi, Bobo tidak menjawab. Perempuan itu masih diam sambil menatap jendela dengan kosong.
"Ikut, ya. Kamu jangan khawatir. Nanti bapakmu ini akan siap siaga di manapun kita berada. Tidak akan ada orang yang berani macam-macam denganmu. Itung-itung cari suasana baru biar gak sumpek di rumah."
Syarif yang mendengar ucapan bapaknya, kini menghampiri Bobo. Lelaki itu tersenyum. Kemudian menimpali.
"Bapak sudah tua, Mbak. Mana bisa bapak nanti menjaga Mba Bobo? Tapi tenang. Aku sebagai pemuda gagah perkasa akan menggantikannya. Lagi pula lumayan, Mbak. Daripada di rumah terus sumpek, mending jalan-jalan." Bobo melihat Adiknya. Lelaki itu tersenyum dengan sangat manis. Seolah-olah ingin memperjelas bahwa Bobo tidak perlu sedih sebab ada banyak orang yang mencintai dengan tulus.
Kata orang dulu memang benar. Sejauh apapun kita melangkah, sedekat apapun kita dengan teman, sebesar apapun masalah, keluarga adalah tempat pulang. Mereka akan menerima kita apa adanya. Tanpa syarat, tanpa banyak tanya.
"Udah gak usah kebanyak mikir. Ayo berangkat."
Syarif menarik tangan Bobo pelan. Membuat perempuan bermata indah itu bangkit. Kemudian mengikuti adiknya. Tidak ada tatapan lain selain kekosongan. Ia masih tidak baik-baik saja. Berjalam menuju mobil selayaknya cangkang hidup. Jika angin berhembus ke kanan, maka ia akan berbelok ke kanan. Jika angin berhembus ke kiri, maka dia akan berbelok ke kiri. Bahkan jika adiknya memintanya lurus, Bobo akan menuruti.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Romance of Love and Hate
EspiritualHumaira Fatiha (Bobo) telah mengerahkan segenap tenaga untuk meninggalkan Xavier Ghazali dua tahun lalu. Ia memulai hidup sebagai mahasiswi biasa program magister dan membuka bisnis di bidang kuliner. Akan tetapi, seolah langit tidak berpihak padan...