Bismillahirrahmaanirrahiim. Allahumma shalli 'ala Muhammad wa'ala ali Muhammad. Seneng banget bisa up secepat ini. Gak tahu kenapa aku sukak banget sama cerita Bobo. Nulisnya itu ringan banget. Seneng bangett. Semoga aja chapter selanjutnya juga masih seringan dan sesenang nulis chapter ini.
_
_
Kamar hotel suit room lantai dua puluh tujuh itu tampak ramai dan terasa panas. Orang-orang sibuk dengan diri masing-masing. Ada yang tengah memakai kebaya, makan, mempersiapkan sambutan, dan pula ada yang sedang dirias. Termasuk Bobo, kini tengah duduk di salah satu kursi sambil menunggu riasannya selesai.
Perempuan berkebaya tradisional dengan warna moka itu tengah bersiap-siap menyambut tamu pernikahan. Yang tentunya, bukan pernikahan dia, tetapi pernikahan putri dosennya, Prof. Sasmitha. Jika ditanya mengapa Bobo yang harus menyambut tamu, maka alasannya sangat sederhana. Perempuan bertubuh cukup gemuk itu adalah tangan kanan Prof. Sasmitha sejak ia masih di semester dua pasca sarjana.
Selain Bobo, ada Kamila dan Jesi pula yang dulu juga menjadi asisten Prof. Sasmitha. Bisa dikatakan, menjadi asisten Prof. Sasmitha adalah awal sekaligus alasan mengapa tiga manusia itu bisa berteman dengan sangat akrab.
"Haching! Alhamdulillaah." tiba-tiba saja Bobo bersin. Membuat Mami Nong, periasnya, seketika itu juga menjauhkan wajah.
"Untung Bo, aku pakai masker. Kalau tidak, sudah penuh wajahku dengan air liurmu." Bobo tertawa usai mendengar ucapan Mami Nong.
"Maaf, Mi. Aku mau bilang udah keburu bersin, hehehe." Bobo mengambil tisu di meja. Kemudian kembali bersin.
"Terus bersin aja! Lama-lama mie goreng di meja depanmu jadi mie kuah." Perempuan berpipi chubby itu tidak kuat menahan tawa. Dia benar-benar tidak bermaksud demikian.
"Maaf, Mi. Aku mager banget mau pindah tempat." Perempuan berkerudung biru laut dengan motif karang itu menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian kembali merias wajah Bobo.
"Mbak Mairaaaa!" Seorang gadis berkebaya putih dengan riasan nan cantik di wajahnya itu menghampiri Bobo.
"APA LAGI INI? NGERIAS KAMU ITU BO, SAMA LAMANYA KAYAK TAWAF. SUDAH LAMA, ADA AJA YANG GANGGU." Gadis bernama Abel itu tertawa mendengar ucapan Mami Nong. Dia sedikit merasa bersalah. Akan tetapi tetap menemui Bobo.
"Mbak aku ada uts. Tinggal satu soal terus gak ketemu-ketemu. Jelasin dong, Mbak Mai." Abel terlihat sangat kasihan. Bahkan di acara pernikahan kakaknya saja dia masih memikirkan uts.
"Hmmm." Bobo tampak berpikir. Perempuan itu sedikit bingung antara menolak dan tidak.
"Ayolah, Mbak Mai. Kata Mami kamu dulu asdosnya Prof. Yun. Ayoooo." Bobo masih belum menjawab. Perempuan itu juga merasa tidak enak dengan Mami Nong.
"Mbak Maira. Fawailullilmushalliin (Dan celakalah orang-orang yang shalat) Allazdiinahum ansshalaatihim saahuun (Yang lalai dalam shalatnya). Alladziinahum yuraa'uun (Yang berbuat riya)," Abel sengaja menjeda kalimatnya. Perempuan itu menatap Mami Nong dengan penuh harap. Begitupun Bobo yang kini ikut menatap Mami Nong dengan lekat.
"Iyaaaa, Wayamna'unal maa'un (Dan Enggan memberikan bantuan). PUAS? LIMA BELAS MENIT. GAK LEBIH." Mami Nong membawa kuasnya. Kemudian meninggalkan dua anak Adam yang kini tertawa dengan renyah itu.
"Gimana soalnya?" tanya Bobo sambil melihat tablet yang dibawa Abel.
"Elaborasi pengetahuan dan pemahamanmu mengenai makna tersirat Habis Gelap Terbitlah Terang karya RA Kartini!" ujar Abel pada perempuan berkerudung moka itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Romance of Love and Hate
SpiritualHumaira Fatiha (Bobo) telah mengerahkan segenap tenaga untuk meninggalkan Xavier Ghazali dua tahun lalu. Ia memulai hidup sebagai mahasiswi biasa program magister dan membuka bisnis di bidang kuliner. Akan tetapi, seolah langit tidak berpihak padan...