37. Orang ketiga?

10 6 0
                                    

Rey menggeser duduknya lebih dekat. Mencondongkan tubuhnya ke arah Beby. Menyilakan rambut Beby yang digunakan untuk menutupi wajahnya.

"Ada yang ingin dijelaskan?"

Beby mengangkat wajahnya perlahan. "Kak Rey mau dengar penjelasan Beby?" tanya Beby dengan sangat pelan.

Untung saja Rey tidak punya masalah pendengaran seperti Beby. Jadi pertanyaan Beby tadi masih terdengar dengan jelas di telinganya.

Rey menganggukkan kepalanya. "Bilang aja. Gue akan terima apapun alasannya."

Jawaban Rey membuat hati Beby sedikit melega. Rey tidak marah besar lalu meraung-raung seperti bayangannya. Dia tampak lebih terkontrol dan tenang.

Beby menarik nafas panjang. Memutar tubuhnya menghadap Rey. Ingin agar lawan bicaranya dapat membaca ekspresi dan tatapan matanya dengan jelas.

"Jadi waktu itu Elza tiba-tiba marah sama Beby karena Kak Rey kasih respon yang baik atas kehadiran Beby di hidup Kakak. Elza bilang kalau Beby ini gak pantas. Dan Beby gak akan bisa dapetin Kak Rey."

"Terus?"

Beby menggigit bibir bawahnya. "Sebagai manusia normal yang punya rasa ingin diakui, Beby tanpa sadar nantang Elza buat bikin taruhan dan Elza setuju."

Rey manggut-manggut.

Beby meraih dan menggenggam tangan Rey. "Tapi Kak Rey, sumpah, Beby benar-benar menyesal atas ucapan Beby ke Elza waktu itu. Beby udah kepikiran mau batalin taruhannya, tapi--"

"Gengsi?" potong Rey.

Beby tertegun. Karena tuduhan itu memang benar adanya. Kepalanya mengangguk pelan. "Beby minta maaf. Beby gak bermaksud buat mempermainkan Kak Rey."

"Beby juga tergoda sama uang sepuluh juta yang dijanjikan Elza. Dengan uang sepuluh juta itu setidaknya Beby bisa bantu Papa buat cicil biaya rumah sakit mendiang Mama. Beby benar-benar minta maaf."

"Kak Rey, Beby minta maaf. Tapi Beby beneran tulus kok sama Kak Rey. Bukan cuman sekedar untuk taruhan."

"Tulus?"

Beby mendelik. Kelopak matanya berkedip beberapa kali, disusul otaknya yang baru menyadari sesuatu.

Astaga! Apa yang sudah Beby katakan tadi?

"Maksudnya, Beby emang tulus mau berteman sama Kak Rey. Beby juga tulus kerja sama Kakak." Beby mencoba mengklarifikasi satu kata yang membuat ambigu deretan kalimatnya.

"I know."

Beby terkejut. "Tau apa?"

"Gue tau kalau lo tulus sama gue." Sebuah senyum simpul mengiringi kalimat yang diucapkannya.

"Kak Rey nggak marah?" heran Beby.

"Lo mau gue marah?" Rey malah membalikkan pertanyaannya.

Beby menggeleng cepat.

"Nggak apa-apa. Bukannya udah gue bilang kalau gue akan terima apapun alasannya? Lagipula ini nggak penting."

Beby kaget sekaligus heran hingga bibirnya terbuka secara tidak etis. Bagaimana bisa ini tidak penting? Bukankah setiap orang biasanya akan marah besar jika tau dirinya dijadikan bahan taruhan? Kenapa cowok di hadapannya ini berbeda?

Beby menunduk. "Kak Rey, Beby minta maaf sekali lagi. Beby emang gak tau diri. Bisa-bisanya Beby jadiin Kak Rey sebagai bahan taruhan. Padahal kan, Beby ini siapa kok dengan beraninya melakukan hal yang tidak sopan?"

"Kalau Kak Rey mau hukum Beby, hukum aja! Beby akan terima apapun hukumannya. Beby tau, pasti Kak Rey sakit hati karena ini."

Rey terkekeh. "Kan udah gue bilang, kalau ini gak penting. Tapi kalau lo mau dihukum ya boleh-boleh aja."

ICY SUGAR [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang