Vol 2 Ch 10 - Terima Kasih, Selamat Tinggal

17 7 7
                                    

Kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.


==============================


Ubara tidak merespons. Kedua tangannya diam, tidak lagi berusaha untuk mendorong tubuh Erna masuk ke dalam lemari pendingin.

"Kamu kira aku tidak tahu? Aku tahu Bar kalau setiap malam kamu tidak tidur tapi turun ke sini dan berbicara pada Erna!"

Seperti ucapan Rachel, setiap malam, Ubara selalu turun ke ruang penyimpanan jenazah. Ubara tidak benar-benar berbicara pada Erna. Yang dimaksud Rachel adalah Ubara berbicara seolah Erna mendengarkan. Rachel, tentu saja, tidak pernah memergoki Ubara secara langsung. Selama ini dia hanya mendengarkan.

Beberapa malam sebelumnya, Rachel memutuskan turun ke lantai 2 untuk memeriksa Ubara dan Verona di tengah malam. Rachel terkejut ketika mendapati lift tidak terlihat dari atas. Kalau tidak terlihat dari atas, berarti lift berada di lantai paling bawah, di ruang penyimpanan jenazah.

Rachel memutuskan untuk turun tanpa lift. Dia bergelantungan, menuruni tali baja. Ketika tiba di lantai 2 bawah, belum sempat Rachel ke bengkel untuk memeriksa Verona dan Ubara, dia berhenti. Rachel mendengar suara Ubara dari lantai bawah. Setelah mendengarkan beberapa saat, Rachel menyimpulkan kalau Ubara berbicara ke jasad Erna.

"Jawab, Bar! Jawab! Menurutmu, menurut hati terdalammu, kematian Erna salah siapa?"

"I ... itu ...."

"Jawab Bar! Katakan dengan lantang dan jelas, menurutmu kematian Erna salah siapa?"

"...."

Ubara tidak mampu memberi jawaban. Wajahnya semakin pucat. Matanya berkaca-kaca, di ambang merengek. Mulut Ubara bergerak, terbuka tertutup, tapi tidak satu patah kata pun terdengar.

Di lain pihak, Rachel terus mendorong dan memojokkan Ubara. Dia tampak tidak peduli, tapi justru sebaliknya. Rachel melakukan hal ini karena tidak ingin Ubara tersiksa lebih lama oleh rasa bersalahnya. Dia sangat peduli pada Ubara.

"I ... ini semua salahku! Salahku!" Akhirnya, dengan mata berlinang tangis, Ubara menjawab Rachel. "Maafkan aku, Erna. Maafkan aku. Kalau saja aku lebih cepat. Kalau saja aku tidak menuruti polisi dan militer. Kalau saja ... kalau saja ...."

Ubara ambruk, terduduk di atas lantai. Dadanya sesak, berusaha menerima fakta. Sosok Ubara yang mengancam dan menakutkan tidak lagi terlihat. Yang dilihat oleh Erna hanyalah sosok remaja yang menangis karena kehilangan orang terkasihnya.

"Tidak, Ubara ini bukan salahmu. Ini salahku. Aku minta maaf Ubara. Aku minta maaf ...."

Seolah tidak mau kalah dengan pengakuan Ubara, Verona kembali mengklaim kesalahan. Dia merenggut jaket Ubara dari samping, terus memohon ampunan.

Rachel terdiam melihat dua orang yang menangis saling mengklaim kesalahan. Dia menatap ke atas. Ada sedikit rasa penasaran berapa orang yang terbangun dan mendengar tangisan dua orang di depannya. Namun, rasa penasaran Rachel tidak muncul terlalu lama. Masalah di depannya jauh lebih penting.

Rachel berjalan mengitari tubuh Erna. Dia merendahkan badan dan meraih Verona dan Ubara. Rachel merengkuh kedua orang tersebut, memeluk mereka erat-erat.

"Kalian tidak salah. Kalian tidak salah. Ini semua adalah salah pemerintah. Ya, ini adalah salah pemerintah."

Rachel bisa merasakan tubuh Ubara dan Verona yang gemetaran. Dia sangat ingin membantu dua orang di depannya. Satu-satunya yang bisa dilakukan Rachel hanyalah melempar kesalahan ke pihak lain dan memberi ketenangan melalui pelukan. Ya, Rachel sadar tidak ada yang bisa dia lakukan. Rachel sangat marah. Marah pada dirinya sendiri. Dia mengutuk dirinya yang tidak mampu melakukan apa-apa.

OversystemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang