Vol 5 Ch 8 - Limit

9 2 0
                                    

"Rachel, ada progres?"

"Tidak!"

Seharusnya, satu menit setelah Ubara, tim penyerang juga lepas landas—menyusul. Sudah dua menit berlalu sejak Ubara lepas landas, tapi tidak seorang pun pergi menyerang. Tidak! Tidak seorang pun yang takut dan memutuskan untuk tidak berangkat. Justru sebaliknya, mereka sangat ingin segera berangkat.

Bukan hanya Faris dan Rachel, hampir semua orang panik. Mereka menekan tombol, memunculkan banyak jendela virtual di kacamata Over. Semua orang berusaha mencari tahu apa yang salah.

Beberapa detik sebelum berangkat, tiba-tiba semua Over tidak bisa menggunakan fungsi terbang. Semua roket pendorong di tubuh Over mati, tidak kunjung menyala.

"Rachel, apa ini firasat buruk yang kamu maksud?" Faris bertanya.

"Bisa jadi. Entahlah." Rachel tidak yakin. "Tapi, tadi malam, Ubara terasa ... aku tidak tahu harus bagaimana mengatakannya. Tapi, entah mengapa, Ubara terasa pasrah, lepas, dan ... lega."

"... Lega? Jangan bilang ...." Faris menggertakkan gigi, tidak menyelesaikan kalimat.

Bagi seorang tentara, seperti Faris, hanya ada 2 momen ketika seseorang merasa lega. Momen pertama adalah ketika dia dipulangkan dari medang peperangan. Jika perasaan lega yang dimiliki Ubara berhubungan dengan kemungkinan pertama, Faris akan tenang.

Namun, ada sebagian dari Faris yang justru meyakini kalau yang membuat Ubara lega adalah momen kedua. Momen tersebut adalah ketika seseorang berada di penghujung hidup, siap memberikan nyawa. Dengan kata lain, sejak awal, Ubara berencana untuk bunuh diri.

"Daripada panik, bagaimana kalau kalian semua menghentikan usaha sia-sia kalian dan bersiap lepas landas kapan saja."

Hampir semua orang panik. Hampir. Ada satu orang yang justru duduk santai di atas bongkah batugamping berongga—Alice.

Alice melanjutkan. "Yang menyetel dan mengatur semua Over kita adalah Ubara. Dia juga yang memasang virus di gelang komunikator kita. Kalau Ubara memang tidak ingin kita segera berangkat, bisa apa kita?"

Ucapan Alice benar, dan semua orang menyadari hal ini. Namun, tidak seorang pun mau menerima fakta itu—terutama Faris.

"Alice, apa kamu sudah tahu rencana Ubara?"

"Bukan tahu, hanya menebaknya. Dan, Faris, menurutku kamu juga sudah bisa menebak apa yang ada di pikiran Ubara, kan?"

"...." Faris tidak langsung menjawab. Dia menggertakkan gigi. "Ubara akan menjadi garda depan untuk mengurangi jumlah pasukan lawan besar-besaran. Setelah Ubara selesai, baru kita masuk."

"Benar. Dengan kata lain, Ubara ingin meminimalisir korban jiwa."

"Tapi kita sudah berjanji!" Verona masuk. "Kita sudah siap membuang nyawa demi misi bunuh diri ini!"

Seperti ucapan Verona, semua orang sudah meneguhkan hati. Ubara yang tiba-tiba mengubah rencana seolah meludahi keteguhan hati mereka. Semua, kecuali beberapa orang.

"Faris, aku mau tanya," Alice melanjutkan. "Apa pendapatmu tentang rencana Ubara jika rencana ini gagal?"

Faris terdiam, mengingat rencana Ubara yang dibeberkan minggu lalu.

"Menurutku, rencana Ubara sangat berbahaya," jawab Faris. "Karena itu lah kita harus berhasil."

"Tidak Faris, arah ucapanmu salah. Kita berhasil adalah cerita lain." Alice menyanggah. "Sekarang, kelihatannya, Ubara bermaksud melimpahkan rencananya pada kita. Mungkin padamu, Faris. Menurutmu, kenapa Ubara melakukan itu?"

"Itu ...."


***


OversystemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang