Vol 5 Ch 5 - Panti Asuhan Kasih Anak

19 3 6
                                    

10 September XX87

H-209

Sore


[Halo, Kak Ka'i, ini Ubara. Tidak terasa, sudah semakin dekat ya dengan tanggal 15 September. Untuk Elite Tentara dan Negara, mereka tahu ada apa tanggal 15 September. Untuk warga umum ... ya, kalian tidak akan tahu ... untuk saat ini.]

Di belakang meja kerja besar, seorang perempuan melihat pantulan wajahnya di cermin. Sambil memperhatikan fitur wajahnya, dia mendengarkan video yang diupload oleh Ubara di internet. Perempuan itu memperhatikan garis wajah yang tampak jelas di sekitar hidung, mata, bibir, dan leher. Seolah garis wajah tidak cukup, rambut putih mengukuhkan statusnya sebagai ibu-ibu paruh baya.

"Tidak, bahkan paruh baya masih terlihat lebih muda dari ini," keluh sang perempuan. "Dulu aku berpikir saat tua akan melakukan operasi wajah untuk memudakan wajah. Aku sama sekali tidak pernah menduga di usia yang masih kepala 2 malah operasi untuk menuakan wajah. Tapi, di lain pihak, wajah ini cantik juga meski terlihat tua."

Sang perempuan menghela napas berat. Meski mulut memuji, sebenarnya dia masih tidak rela melihat wajahnya yang menua. Sang perempuan pun memasukkan cermin ke laci meja dan menyandarkan punggung ke kursi tinggi direktur.

Perempuan itu tidak hanya ditemani kursi tinggi direktur dan meja kerja kayu. Di samping kiri dan belakang ruangan, terlihat rak besi penuh dengan buku. Pada bagian kanan, terdapat meja dengan dispenser dan alat pembuat kopi di samping pintu yang menuju ruang lain. Ruangan itu juga siap menerima tamu dengan dua buah sofa panjang dan meja kaca pendek di tengah ruangan.

[Kak Ka'i, jujur, aku berharap Kak Ka'i, elite negara, dan semua orang yang pernah menggunakan Politik Kambing Hitam untuk mengaku. Kalau bisa, maksimal tanggal 15 September itu. Kalau tidak, aku bisa menjamin kalau hari itu akan menjadi titik kunci sejarah Negara Sabag Raya. Aku yakin itu.]

Titik kunci sejarah Negara Sabag Raya? Ubara, kamu bercanda, kan? Yang akan kamu lakukan bukan hanya titik kunci sejarah negeri ini, tapi seluruh dunia. Dan, apa kamu serius meminta negara ini mengaku salah? Itu sama saja seperti berharap linggis mengapung!

[Namun, aku tahu kalau negara ini tidak akan pernah mengaku salah. Jadi, daripada mengharap kalian mengaku salah, akan lebih realistis kalau aku berharap pada tanggal 15 September besok tidak ada masalah. Dan, jujur, bukan hanya aku yang harus berharap. Negara ini mungkin juga harus berharap demikian.]

Meski tidak berada di satu ruangan, pikiran sang perempuan dan Ubara relatif mirip.

Suara ketukan terdengar, membuat sang wanita menekan tombol pause pada proyeksi gelang komunikator.

"Bu Adele, Anda di dalam?"

"Ya, Sari, aku di dalam," jawab Adele. "Pintunya tidak aku kunci. Masuk saja."

"Permisi."

Pintu terbuka dan membiarkan wanita jelita masuk. Dengan rambut coklat muda dikepang samping, wanita itu memberi kesan dewasa. Ditambah dengan postur tegak dan senyum simpul, aura wibawa memancar ke semua arah. Dengan pakaian yang mirip dengan Adele—setelan blazer dan celana formal berwarna krem—kesan dewasa dan aura wibawa semakin kuat.

Wanita bernama Sari itu masuk dan menutup pintu. Namun, tepat setelah pintu ditutup, wibawa yang sebelumnya memancar langsung menghilang. Punggung yang tegak langsung membungkuk. Bahu yang bidang langsung turun.

"Ah ... Del, jujur, ini melelahkan."

"Ahaha, kamu sendiri kan yang mau ikut-ikut buat persona wanita berwibawa."

"Ya, mau bagaimana lagi ...." Sari duduk di sofa. "Aku kasihan juga kalau cuma kamu yang memasang persona wanita berwibawa."

"Aku cukup yakin masih ada bu Nia."

OversystemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang