21. Sebuah Pertanda

1.1K 117 19
                                    

Kita hanya tokoh dalam sebuah kehidupan, sedangkan Tuhan adalah penulis skenarionya

***

Sudah hampir satu bulan semenjak Angkasa tahu dia memiliki penyakit jantung. Selama satu bulan ini, terhitung empat kali Angkasa down, bukannya membaik kondisinya semakin menurun. Obat-obatan yang kini menjadi sahabat dan menyokong hidupnya. Angkasa rasanya sudah ingin menyerah, tapi dia melihat perjuangan Bunda dan saudaranya yang begitu memperjuangkan kesembuhannya. Selain itu, Angkasa juga melihat ketulusan sahabat-sahabatnya yang setia mendampinginya. Di kampus, Jeva dan Haikal turun andil menjaga Angkasa. Basket yang menjadi kegemarannya kini ia tinggalkan, sesekali melihat teman-teman berlatih, meski ada rasa iri yang pemuda ini rasakan, tapi dia sadar bahwa tubuhnya tak sekuat dulu. Rekan-rekannya juga tidak memandang Angkasa rendah, mereka masih memperlakukan Angkasa sebagai kapten basket mereka. Sama seper hari ini, dia melihat rekan-rekannya berlatih.

"Kak Jeva, kasih bola kak?!" Pinta Faheel, dengan sigap Jeva melemparkan bola yang ditangannya ke arah Faheel, Faheel menerimanya dengan baik, satu kali lembaran bola itu masuk ke dalam ring.

"Loe mau minum Sa?" Tanya Arumi yang berdiri di samping Angkasa.

"Gue gak haus Rum" Angkasa yang masih setia melihat rekan-rekannya berlatih. Arumi mengangguk mengerti.

Priiiittt!!!

Suara fluit dari Arumi menjadi pertanda latihan hari ini berakhir. Mereka berhamburan dan duduk melingkar ditengah lapangan. Angkasa selaku ketua tim basket menghampiri mereka. Angkasa memberikan beberapa pujian kepada rekan-rekannya karena mereka berlatih dengan baik, dan permainan mereka berkembang dengan baik.

"Terimakasih kalian sudah berlatih dengan baik, gue sebagai kapten bangga, dan-" suara Angkasa sedikit terjeda "selanjutnya posisi kapten gue serahkan sepenuhnya ke Jev" ucapan Angkasa mampu membuat yang lain tercengang. Jeva yang langsung ditunjuk menjadi kaptenpun tidak kalah terkejut, dia tidak terima.

"Ngak, ngak! Gue gak mau. Loe tetep kapten di tim ini Sa!"

"Loe tahu kan kondisi gue Jev?!" Keduanya saling melempar pandangan "Yang lain juga tahu kondisi gue Jev, gak mungkin gua mimpin tim ini dengan kondisi gue yang sekarang!"

Semua anggota tim basket menunduk, mereka sebenarnya tidak rela, mereka bahkan kesal kenapa Angkasa harus sakit, mereka sangat membutuhkan Angkasa.

"Tapi Kak-" belum selesai ucapan Kainan dipotong oleh Angkasa.

"Gue tahu ini terlalu mendadak, dan gue gk bisa melawan. Ini udah jalan gue. Gue juga gak mau latihan kalian terhambat karena gue, gue yakin kalian pasti bisa tanpa gue" jelas Angkasa.

Jeva sebenarnya juga paham atas kondisi yang dialami sahabatnya ini, hanya dia tidak rela posisi Angkasa diganti meski itu adalah dirinya sendiri. Tapi mau tidak mau di harus melakukannya, Angkasa sudah memberikan tanggung jawabnya untuk dirinya.

"Oke, gue bakal gantiin loe jadi kapten" ucap Jeva, anggota yang lain akhirnya menyetujui keputusan Angkasa, mereka mengangguk mengerti.

Malam ini, dilewati seperti biasa. Bukan canda tawa yang menghiasi rumah ini, tapi kegiatan baru yang harus dilakukan. Bunda dengan telaten memberikan beberapa untuk Angkasa minum, memberikan dukungan moral kepada putra tercintanya. Begitu pula Aksara yang siap siaga jika saudaranya ini membutuhkannya. Bahkan dengan inisiatif Aksara sendiri, kini dia tidur di kamar Angkasa, dia takut jika terjadi sesuatu kepada Angkasa, dan jauh dari jangkauan matanya.

"Sa, aku ngerepotin kamu sama Bunda ya?" Ucapnya, mereka berdua saat ini duduk berdua di atas balkon, secara fisik terlihat Angkasa memang baik-baik saja, tidak perlu kursi roda untuk menopang tubuhnya, meski dibutuhkan saat dia di rumah sakit, wajahnya juga tidak terlihat pucat. Tapi siapa sangka, bahwa semakin hari, jantung Angkasa semakin melemah.

Aksara Angkasa | Renjun & Jeno ✓ [MASA REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang