23. Ucapan Selamat Tinggal

1.3K 97 6
                                    

Denting yang berbunyi dari dinding kamar ku sadarkan diriku dari lamunan panjang, tak kurasa malam kini semakin larut.
Ku masih terjaga

(Melly Goeslow-Denting)

***

Matahari menerobos, memaksa masuk di celah jendela yang masih tertutup rapat. Kicauan burung saling bersahut-sahutan. Suara tawa riang dari bangsal anak di bawah terdengar samar, mereka tertawa. Sudah empat hari pemuda manis itu pergi, ia pergi dengan sebuah tujuan yang pasti. Melepas segala bebannya, meninggalkan orang-orang yang begitu mencintainya tanpa penyesalan sedikit pun. Raganya ia tinggalkan dengan sejuta kenangan yang ikut terkubur, jiwanya berkelana, menuju sebuah kata yang disebut 'keabadian'.

Tapi berbeda dengan orang-orang yang ia tinggalkan, masih jelas bagaimana suara lembutnya yang menyeruak di telinga, bagaimana senyumnya yang terlukis dengan indah, bagaimana sifatnya yang terekam jelas. Jejaknya masih terasa, meski hujan mencoba menghapusnya namun itu tetap ada. Hanya doa dan tangis yang mengiringi kepergiannya. Mencoba berdamai dengan luka dan kenangan manis yang terasa pahit.

"Bunda, kondisi Asa udah enakan. Asa mau lihat Aksa Bun. Empat hari dia gak nengok Asa", suara Angkasa yang mengintrupsi membuat mereka yang di sana harus menelan ludah, merapatkan lisan. Hanya pemuda itu yang belum tahu kepergian sosok yang amat disayanginya.

"Bunda boleh ya, Mas Dion, Dokter Jefri boleh kan?" Masih belum bergeming, belum ada yang berani berucap.

"Angkasa..." Bunda memberanikan diri, cepat atau lambat Angkasa harus tahu, bahwa Aksara telah pergi.

"Angkasa, Asa dengerin Bunda ya sayang" lidah Bunda kelu, tapi ia harus menyampaikannya, "Aksara sudah pergi, pergi meninggalkan kita semua sayang" Bunda kembali terisak, tangannya terus menggenggam tangan Angkasa.

"Maksud Bunda apa? Aksara pergi kemana Bun?" Tanya Angkasa kebingungan, kepalanya terasa pening, dadanya tiba-tiba terasa sesak.

"Aksara sudah tiada, empat hari yang lalu dia meninggalkan kita semua"

"Ngak, Bunda jangan bercanda. Gak lucu Bunda" dada Angkasa benar-benar sesak, seperti ada sebilah pedang yang menancap, membuatnya harus meneteskan air mata.

"BUNDA JAWAB ANGKASA BUN! AKSARA MASIH DI SINI KAN? GAK MUNGKIN DIA NINGGALIN ASA BUN!! BUNDA!!" tangannya terus mengguncang tangan si Ibu, meminta penjelasannya.

"Kal, Jev. Bilang sama Gue, Bunda bohong kan?!" Haikal dan Jeva hanya menunduk, Angkasa tidak terima dengan sikap sahabatnya yang seolah mengiyakan.

"TOLONG SIAPAPUN. BILANG KALAU INI HANYA LELUCON. INI GAK BENER!" Teriaknya. Bunda langsung memeluk tubuh Angkasa yang mulai bergetar. Di usapnya punggung lebar sang putra.

"Bunda gak bohong sama Asa, sekarang jantung yang berdetak di tubuh Asa, itu milik Aksara sayang" ucapan Bunda mampu menghujam jantung Angkasa, tangannya jatuh tergulai tidak percaya. Dilepaskannya pelukan Bunda secara paksa.

"BOHONG!!! KALIAN PEMBOHONG!!" Tubuh Angkasa memberontak, Dion, Jefri serta Haikal dan Jeva menahan tubuh Angkasa. Bunda menutup mulutnya, menyaksikan bagaimana reaksi Angkasa yang begitu tidak terima. Dia harus kehilangan sosok kakak yang mencintainya.

"AAAAAKKKKHHHHHH!!" Teriak Angkasa di sela-sela tangisnya, tangannya memegang dada kirinya menghantam bagian itu dengan tangannya. Jefri dengan sikap menyuntikan obat penenang untuk Angkasa, agar tidak semakin menyakiti dirinya. Tubuhnya melemas, namun air mata terus mengalir deras, sampai mata itu terpejam. Bunda jatuh tertunduk, Dion yang di sana langsung memeluk tubuh Bunda.

"Tante, Tante harus kuat. Dion yakin, Angkasa akan segera menerima ini semua" tak ada jawaban hanya isak tangis yang mengisyaratkan bagaimana hancurnya wanita paruh baya ini.

Aksara Angkasa | Renjun & Jeno ✓ [MASA REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang