Ternyata belum siap aku, kehilangan dirimu.
Belum sanggup untuk jauh dari dirimu.•
•(Belum Siap Kehilangan-Stevan Pasaribu)
***
Seorang pemuda menutupi wajahnya dengan tangannya, mencoba menghadang cahaya matahari yang masuk dari jendela. Matanya mengedip menetralkan cahaya matahari yang masuk ke matanya. Ia terduduk di kasurnya, memandang pantulan wajahnya di cermin. Setelah lama melamun, ia berdiri langkah kakinyaa menuju kamar mandi, hendak segera menyegarkan tubuhnya. Setelah selesai berkutat dengan kegiatannya di kamar, Angkasa melangkah menuruni tangga, antensinya melihat Bunda yang sibuk menyiapkan sarapan, lalu irisnya menoleh memandang kursi yang selalu diduduki seseorang yang kini telah hilang. Angkasa menghembuskan nafasnya, dan kembali menuruni tangga."Pagi Bunda" sapanya sambil menarik salah satu kursi lalu mendudukinya.
"Pagi juga sayang" balas Bunda.
Sekali lagi Angkasa melihat kursi di hadapannya, bayangan Aksara yang selalu duduk di kursi itu terlintas begitu saja. Angkasa tersenyum melihat bayangan Aksara yang seolah-olah mengajaknya berbicara. Bunda berbalik, melihat Angkasa yang menatap kursi di hadapannya dan tersenyum membuat hati Bunda kembali teriris, sepertinya Angkasa masih belum menerima kepergian Aksara, meski akhir-akhir ini Bunda jarang melihat Angkasa menangis, tapi lebih sering melamun dan setiap kali masuk ke kamar Aksara.
"Angkasa sarapannya di makan sayang"
Suara Bunda, mengakhiri lamunannya.
"Ah iya Bunda, makasih Bunda" ucap Angkasa diiringi senyum di wajah tampannya.
Bunda mengusap rambut Angkasa dengan lembut, wanita itu berdiri di samping putranya. Bunda menatap Angkasa dengan sendu, meski ia selalu melukiskan senyumnya.
"Angkasa, kamu jadi ke makan Aksara sekarang?"
"Jadi Bunda, Angkasa mau nengok kakak. Angkasa lama gak ke sana Bun" ucap Angkasa memandang Bunda dengan senyum manisnya. Bunda mengangguk.
"Yaudah hati-hati ya, titip salam buat Kakak ya. Bunda gak bisa nemenin Asa, ada pesanan kue banyak di toko"
"Gak papa Bunda, lagi pula ini inisiatif Angkasa sendiri. Nanti kita bisa ke sana sama-sama Bunda" Bunda tersenyum, usapannya di rambut Angkasa tidak ia hentikan.
***
Motor Angkasa memecah jalan, melintasi beberapa pengendara sampai motornya berhenti di kawasan makam. Langkahnya menuntun kepada sebuah makan yang masih basah dengan bunga-bunga segar bertaburan. Makam Aksara tidak pernah terlihat sepi, terlihat dari bunga yang selalu baru menandakan bahwa banyak yang mencintai pemuda manis itu. Angkasa meletakan buket bunga aster dan bunga kamelia kesukaan Aksara di atas gundukan tanah itu. Tangan Angkasa mengusap nisan Aksara yang sedikit berdebu.
"Kakak, ini aku Angkasa" Angkasa tersenyum masam "Aku panggil kamu dengan sebutan kakak lagi Sa". Angkasa mencabut rumput-rumput kecil yang tumbuh di sekitar makam Aksara, sebelum memulai kembali ceritanya.
"Aksara, maaf ya. Aku baca buku diary kamu", tangan Angkasa masih setia mengusap nisan Aksara "Tulisan kamu selalu bagus dan rapi, aku iri" lanjutnya.
Angkasa menarik nafas panjang, mencoba menahan air mata yang sebentar lagi akan terjatuh. Mengernyapkan matanya, menghilang air mata yang membendung di kelopak matanya. Lalu kembali pemuda tampan itu tersenyum menghadap nisan Aksara.
"Ternyata kamu suka nulis keseharian kamu di diary itu ya. Sa, bolehkan bukunya sekarang buat aku? Aku terusin ya tulisan kamu di sana?" Angkasa menunduk air matanya sudah benar-benar tidak bisa di tahan. Tangan kanannya mencengkeram nisan Aksara. Punggungnya bergetar, tangan kirinya menutup kedua matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Angkasa | Renjun & Jeno ✓ [MASA REVISI]
Teen Fiction[ Difollow dulu yuk kak :) ] Ketika semesta mempertemukan dua darah yang seharusnya tidak saling bertemu, hingga membagi lukanya "Jika Angkasa merupakan lembaran hitam legam yg kelam, maka Aksara akan menuliskan sebuah kisah dengan tinta keemasannya...