22. Satu Jiwa Dua Raga

1.2K 110 27
                                    

Jika ragaku dan ragamu tidak diijinkan bersama, lalu mengapa Tuhan mempertemukan kita

***

Beberapa ambulance silih berganti berhenti di Rumah Sakit. Rumah Sakit Swasta yang dikabarkan akan menerima pasien dari korban kecelakaan beruntun sudah siap siaga. Termasuk Dion. Beberapa pasien sudah dikeluarkan dari ambulance, perawat yang sudah menunggu telah sigap membawa pasien korban kecelakaan, Dion yang menunggu pasien berikutnya, iris matanya menangkap seseorang yang ia kenal. Bram, salah satu teman Aksara yang Dion kenal karena pernah berkunjung ke rumah sakit ini, terlihat wajahnya begitu pucat, pemuda itu terus melafalkan nama seseorang. Sesaat maat Dion terbelalak, dia mengenal seseorang yang ada di kereta pasien.

"Aksara?!" Dokter muda itu berlari dan ikut mendorong tubuh Aksara yang ada di atas kereta pasien. Tubuh Aksara yang berlumuran darah dibawa ke ruang UGD untuk segera mendapat pertolongan.

Berita kecelakaan beruntun yang terjadi di ruas jalan Sudirman menjadi kabar yang memilukan. Bunda, Angkasa, Haikal dan Jeva yang baru tiba di rumah sakit langsung berlari ke UGD, kondisi jantung Angkasa sudah tidak dihiraukan lagi, masa bodoh dia harus berlari, dia ingin segera melihat kondisi saudaranya.

"Mas Bram Aksara di mana Mas?!" Tanya Angkasa khawatir.

"Aksara di dalem Sa" jawab Bram. Bram adalah saksi kecelakaan malam ini, karena saat pemuda ini berhenti di supermarket dekat TKP, dia menangkap mobil yang sangat di kenalinya, dan itu mobil Aksara. Bram langsung menelpon Haikal saat itu untuk memberi kabar.

Dion menatap tubuh Aksara yang penuh darah, dokter muda itu beserta perawatnya begitu sikap, sudah dua kali Aksara memuntahkan darah dari mulut. Nafasnya tidak stabil, meski begitu kesadaran Aksara masih ada. Dion memberikan perban di beberapa tubuh Aksara, sesekali dokter muda itu meneteskan air mata, tidak tahan rasanya melihat seseorang yang sudah ia anggap adik begitu kesakitan.

Sekitar satu jam Aksara tidak sadarkan diri, keluarga dan sahabatnya menunggu Aksara sadar. Bunda terisak, tangisnya bersaut-sautan dengan Senja. Gadis itu terus menyalahkan dirinya, jika saja dia menolak untuk berkencan mungkin Aksara masih baik-baik saja. Kedua orang tua Senja terus menenangkan putrinya. Lalu bagaimana dengan Angkasa. Angkasa mematung di depan ranjang pasien Aksara, dia melihat kondisi saudaranya, begitu banyak kabel yang menempel di dada Aksara, suara alat dari pendeteksi jantung, tidak lupa masker oksigen yang terpasang di wajahnya.

"Aksara, bangun. Kamu lihat Bunda sama Senja, mereka terus-terusan nangis" lirihnya, dan air mata yang sedari pemuda ini tahan pun akhirnya mengalir dengan deras, tangan terkepal dengan kuat, wajah tertunduk. Jeva dan Haikal menghampiri Angkasa mengusap punggung Angkasa. Seperti sebuah bel, panggilan Angkasa berhasil membuat Aksara membuka matanya.

"Bunda?" Panggil Aksara lirih dibalik masker oksigennya.

"Iya sayang, Bunda di sini Nak"

"Maaf Bunda, Aksara sudah buat Bunda khawatir" ucapnya disertai senyum meski sedikit menahan sakit. Semua mata yang melihat Aksara, meneteskan air mata.

"Gak sayang, Aksara harus sembuh ya nak. Kita pulang" jawab Bunda menahan tangisnya, Aksara mengangguk mengiyakan.

"Angkasa mana Bun?" Pemuda yang ditanya, kini beralih berdiri di samping Aksara.

"Aku di sini" jawabannya

"Kamu nangis? Jangan nangis jelek" ejek Aksara dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Angkasa tersenyum dan mengusap sisa air matanya.

"Senja?" Lirih Aksara kembali.

"Iya Sa, aku di sini" jawab sang gadis menahan tangisnya.

"Aku mau pegang tangan kamu boleh?" Tanpa memberikan jeda, Senja langsung menggenggam tangan Aksara. Aksara tersenyum merasakan sentuhan tangan Senja hangat.

Aksara Angkasa | Renjun & Jeno ✓ [MASA REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang