3

7.5K 675 16
                                    

Berbekal kulit pucat dan tubuh kurus, Aga selalu berhasil menghindari upacara di hari Senin yang membosankan, apalagi di tahun ajaran baru seperti sekarang. Satu Minggu berlalu setelah masa orientasi siswa, pagi ini waktunya kepala sekolah memberikan sambutan hangat untuk barisan siswa di ujung kanan. Dilihat dari warna seragam yang masih cerah juga kaku seperti baru di setrika, sudah dipastikan bahwa mereka adalah peserta didik baru, masih lugu dan malu-malu.

Aga berjalan santai melewati lautan manusia yang memenuhi lapangan, menuju kumpulan siswa yang berkerumun di bawah pohon rindang dengan kotak p3k dan slayer kuning di leher mereka.

"Gue sakit."

Dua kata yang sudah tidak asing untuk anggota PMR yang berjaga di ujung barisan ketika upacara akan dimulai.

Contohnya sekarang, Aga, pasien satu-satunya yang duduk tenang sambil meminum teh hangat di bawah pohon rindang, UKS dadakan setiap upacara dilaksanakan. Kecuali untuk yang pingsan, akan langsung dibawa keruang kesehatan.

Tidak ada yang berani menegur, apalagi setelah satu sekolah tahu bahwa pasien langganan UKS itu adalah Cucu dari Wakil Kepala Sekolah.

"Tumben langsung minta teh anget, biasanya ikut baris dulu sebentar," kata salah satu petugas PMR bernama Raya.

"Panas, tar kulit gue gosong."

Raya berdecih pelan sambil berkata, "Lebay!!"

Sedang nikmat-nikmatnya menyeruput teh tawar, cairan hangat mengalir pelan dari lubang hidungnya. Aga terlihat santai, tapi petugas PMR terlihat kelabakan. Terlebih saat anak itu mulai mengerutkan kening, tangannya bergetar sehingga gelas yang dia pegang jatuh dan menimbulkan suara yang sedikit memancing perhatian.

Tubuhnya lemas, Dapat Aga rasakan seseorang menopang punggungnya sambil mengelap darah yang terus mengalir di hidung bangirnya.

Seseorang menepuk pipinya pelan saat matanya mulai menutup, "jangan tidur, ga."

Aga masih sadar, hanya saja saat membuka mata semuanya tampak berputar. Telinganya mulai berdengung, dan kembali normal saat seseorang mengangkat tubuhnya kemudian di baringkan di ranjang di ruang kesehatan.

Dokter jaga yang ada di sana dengan cekatan membersihkan darah yang masih mengalir di hidung Aga, posisinya menyamping, dengan kepala ditundukan agar tidak menyumbat jalur pernafasan.

Perlahan, kesadaran yang sempat terombang-ambing itu mulai kembali, mimisannya sudah berhenti, menyisakan tubuhnya yang lemas seperti jeli. Aga membuka mata, berbagai tatapan dapat dia lihat, sungguh memuakkan, terlebih tatapan kasihan yang orang-orang itu berikan.

Melihat Aga seperti tidak nyaman, dokter jaga yang sudah 2 tahun merawat aga di sekolah itu meminta anggota PMR yang ada didalam ruangan untuk keluar dan melanjutkan tugasnya. Kemudian menatap Aga yang kembali memejamkan matanya.

"Napasnya sesek gak?"

Aga menggeleng lemah, dia tidak sesak. Hanya sedikit mual mencium bau anyir bekas mimisan tadi. Seakan mengerti, Dokter ber nametag Rini Susanti itu mengarahkan minyak kayu putih ke hidung Aga.

"Hirup ini, biar mualnya ilang."

Entah tubuhnya yang masih lemas, atau aroma kayu putih yang menenangkan, mata Aga mulai memberat, kemudian terlelap.


Manusia yang tiga jam lalu seperti orang sekarat, nampak lemah dan tak berdaya itu sudah menduduki salah satu bangku di kantin. Menikmati semangkuk bubur ayam dan sebotol minuman teh yang tidak dingin. Membuat kedua temannya terheran-heran.

Kalau Saga ada di sana, pasti Aga sudah mendapatkan tausiah super panjang kali lebar. Untungnya mereka tidak satu sekolah, masih satu yayasan hanya beda gedung saja. Jika Aga di SMA, maka Saga memilih SMK otomotif karena hobinya membongkar pasang mesin.

"Tadi pagi udah kayak mayat idup, ni anak," kata salah satu pemuda yang duduk di samping Aga, sebut saja dia Satya.

Gavin yang ada di sisi lain ikut bersuara, "sekarang cosplay kayak orang yang gak pernah makan."

Sedangkan orang yang dibicarakan masih asik dengan bubur ayam langganan, hanya ini makanan kantin yang aman untuk Aga konsumsi, meskipun bosan, yang penting dia bisa makan. Sebenarnya bisa saja Aga melanggar pantangan, toh tidak ada yang tahu dia makan apa saat diluar rumah. Tapi melihat resiko yang cukup tinggi, Aga jadi berfikir dua kali, sudah cukup dia membuat repot kedua Eyangnya dan Mami Sonya juga Saga.


Satya dan Gavin adalah dua orang pertama yang awet menjadi teman Aga sampai sekarang. Mereka bertiga dipertemukan saat masa orientasi siswa dua tahun lalu, saat upacara pembukaan MOS, saat itu Satya dan Gavin berbaris tepat di depan dan belakang Aga. Dengan insiden yang hampir sama, Aga mimisan dilapangan membuat semua orang ketakutan karena darah yang keluar sangat banyak. Saking banyaknya, baju yang tadinya berwarna putih bersih menjadi merah merona karena darah yang mengalir di hidung Aga.

Satya dan Gavin diminta untuk menemani Aga yang masih pingsan di ruang kesehatan sampai keluarganya menjemput, dan betapa terkejutnya mereka saat orang yang datang untuk menjemput Aga adalah wakil kepala sekolah yang tadi memberikan sambutan. Sejak saat itu mereka tahu bahwa Aga adalah cucu dari wakil kepala sekolah, dan juga tentang penyakit yang sejak dulu Aga derita.

"Bubur ini belum sepadan, sama darah yang keluar di hidung gue, tadi pagi," jelas Aga.

"Harusnya Lo minum darah Ga, bukan bubur ayam," ucap Gavin sambil tertawa.

Satya menggeleng pelan, Gavin memang kurang waras sejak dulu. Kemudian menatap Aga yang sedang lahap memakan bubur ayam spesial itu.

"Kalo sakit, ya gak usah masuk ga. Lagian belum ada kegiatan, cuma pengumuman kelas doang."

"Kalo nungguin gue sembuh, yang ada gak bakal masuk-masuk gue nya."

Satya menghentikan suapan terakhirnya, "ya bukan gitu maksud gue."

Setiap membahas topik sensitif ini, suasana menjadi canggung. Dan Gavin adalah manusia yang tidak suka kecanggungan. Mencoba mencari topik yang bisa mencairkan suasana.

"Btw, tahun ini kita sekelas lagi, lho."

Aga mengangguk singkat, "sudah kuduga."

"Sama Raya juga," kata Gavin sambil tersenyum miring ke arah Aga.

Satya tersedak dengan di sengaja, membuat Aga yang sedang menyantap bubur ayam spesial itu segera menghentikan aktivitasnya, kemudian meminum teh botol yang sedari tadi di anggurkan.

Gavin dan Satya sering bilang kalau gadis bernama Raya itu menyukainya, entah tau dari siapa. Mungkin karena gadis itu begitu perhatian pada Aga yang sering jadi pasien langganannya saat hari Senin. Meski begitu, Aga juga lelaki normal, Raya itu cantik, baik, perhatian dan ramah. Mana mungkin dia tidak tertarik.

"Wahh, Aga bakal dapat pelayanan medis everytime dan everywhere mulai sekarang."

Tapi melihat kondisinya, Aga bersikeras untuk tidak jatuh cinta dan membuat orang jatuh cinta. Terlebih, pada seorang perempuan sempurna seperti Raya.





Next chapter...





ABYAN (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang