Satu Minggu sudah berlalu, tapi rasanya aroma tanah merah yang bercampur air hujan hari itu masih tercium sampai sekarang. Saga ingat, ketika petugas medis berlarian saat alarm peringatan berbunyi, juga teriakan Nadya yang meraung-raung memanggil Aga untuk kembali.
Saga masih ingat, ketika dokter mengumumkan waktu kematian Aga dan mulai melepaskan penopang hidup anak itu. Melihat Nadya menangis histeris sampai akhirnya pingsan, juga Bayu yang dengan tegar memeluk dan menciumi seluruh permukaan wajah Aga yang sudah tak bernyawa.
Saga menghalau air mata yang mulai menetes di sudut matanya. Kemudian memandang seluruh penjuru kamar Aga sebelum kembali menutup pintu dan menarik dua koper yang berisi beberapa pakaian dan barang-barang yang akan dia bawa.
Di lantai bawah, semuanya sudah berkumpul dengan barang-barang yang terkemas rapi, hari ini, Saga resmi pindah bersama kedua orang tuanya dan eyang Mira, ke Jakarta. Sebagian barang milik Aga di bawa oleh bayu dan Nadya.
"Gak ada yang ketinggalan lagi?"
Suara mami Sonya menginterupsi dan di jawab gelengan kepala oleh sang anak.
"Rumah ini ... gak di jual kan?" Tanya Saga, meskipun akan pindah, rasanya tidak rela jika saksi bisu kenangan manisnya dengan Aga harus berpindah ke tangan orang lain.
"Enggak, kok. Setiap libur panjang, kita pulang ke sini, jenguk Aga," jawab Mami Sonya.
Saga mengangguk singkat, kemudian berjalan keluar untuk memasukan koper ke dalam bagasi mobil.
Bayu dan Trisha juga ada di sana, tapi tidak dengan Nadya, wanita itu tidak jadi pindah, dan kembali menetap di Jakarta. Setelah mengambil beberapa barang milik Aga sebagai kenangan kemarin, Nadya pamit untuk pulang.
"Mama sehat-sehat ya, terimakasih sudah merawat Aga, Bayu gak tahu lagi kalau gak ada Mama sama Papa. Bayu minta maaf karena sudah merepotkan Mama,"
Eyang Mira mengelus lembut kepala Bayu yang duduk di sampingnya.
"Aga gak pernah repotin Mama, dia cucu Mama, mama juga minta maaf gak bisa merawat Aga dengan baik."
Bayu memeluk Mamanya singakt, kemudian beralih menatap sang kakak perempuan.
"Makasih juga buat mbak Sonya, terimakasih sudah membagi kasih sayang mbak buat Aga."
Sonya hanya mengangguk, mengingat Aga, rasanya dia ingin menangis lagi. Kepulangan Aga tengah malam dengan keadaan sudah tak bernyawa benar-benar memberikan luka yang tak kunjung kering di hatinya.
"Kalau begitu, kita pamit. Betah-betah di rumah baru, kalau ada kesempatan, nanti aku sama keluarga kecilku akan berkunjung."
Mami Sonya memeluk Trisha, dia tahu jika Trisha sudah menerima Aga, tapi Tuhan tidak mengizinkan dia menjadi ibu yang sesungguhnya untuk Aga.
"Sering-sering kabarin ya, Trish."
"Iya, mbak."
Bambang mengunci pintu rumah, barang-barang yang akan dibawa sudah di kemas rapi dan dibawa lebih dulu ke mobil barang.
Dia mengangguk singkat ketika Bayu membunyikan klakson sebelum menghilang di balik gerbang. Eyang Mira duduk di samping Saga yang menyenderkan kepalanya ke kaca mobil, dengan earphone tersumpal di kedua telinganya. Kedua mata anak itu terpejam, membuat mereka yang masuk ke mobil menghela napas ketika melihat Saga yang tidak bersemangat.
Kepergian Aga benar-benar menjadi luka yang besar untuk Saga, hidup berdampingan selama belasan tahun membuat Saga tanpa sadar sudah bergantung pada Aga.
Kecewa pada diri sendiri, dia belum sempat meminta maaf, apalagi ketika Gavin dan Satya mengatakan, jika Aga sebenarnya menyukai seorang gadis, dan itu adalah raya, kekasihnya. Jika tahu, hari itu adalah hari terkahir untuk dirinya bertemu aga, jika dia tahu bahwa seminggu ketika mendiami Aga adalah Minggu terkahir mereka masih satu dunia, maka Saga tidak mungkin membiarkan Aga sendirian menahan sakit yang tidak diberitahu pada siapapun.
Jika saja Saga tidak terbawa emosi, mungkin aga akan bercerita jika dia sakit, mungkin penanganan nya akan tepat dan nyawa agar dapat di selamatkan. Jika saja hari itu dia lebih sabar, jika saja dan seandainya terus berputar di kepala Saga.
Mobil itu melaju pelan, menikmati semilir kota Bogor yang menjadi tempat kelahiran. Meninggalkan luka yang kenangannya akan terus terbawa, memulai hidup Baru.
Penyesalan akan selalu ada di akhir dan itu sangat menyakitkan.
Kepergian Aga yang mendadak dan tiba-tiba sukses membuat semua orang yang mengenalnya terkejut.
Ini adalah hidup, satu detik setelah ini pun tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. setiap orang pasti pernah merasakan penyesalan, meskipun tidak semua bisa di perbaiki, setidaknya bisa dijadikan pelajaran untuk selanjutnya.
Dia, Abyan Naraga. Remaja 18 tahun yang menyerah atas hidupnya yang penuh luka dan rasa sakit. Perjuangannya cukup keras untuk melawan vonis dokter yang mengatakan jika umurnya tidak akan sampai usia 17 tahun. Tapi aga berhasil, dia hampir berusia 19 tahun, sehari sebelum Tuhan mengambil nyawanya kembali.
Abyan Naraga, meskipun kepergianmu menyisakan luka, namun setidaknya kamu merasakan ketenangan untuk selamanya. Kamu tidak akan merasakan sakit baik di hati maupun fisik. Sudah cukup, kamu hebat.
The end
Typu-typu?
Enggak,
Ini beneran ending.Mungkin ini gak sesuai ekspektasi, (atau udah ketebak kalau akhirnya bakal sad ending dan si tokoh utama meninggoy), mungkin juga endingnya aneh, menggantung, gak jelas dan terkesan tiba-tiba.
Mohon maaf banget, tapi cerita Abyan sudah aku rancang seperti ini, endingnya tiba-tiba, gitu aja.
Pesannya, cuma ingin mengatakan kalau penyesalan itu gak enak, dan kematian tidak bisa di duga, mungkin sekarang baik-baik saja, gak tahu kalau nanti.
Hihi, cukup sekian.
Terimakasih buat kalian yang sudah bertahan sampai sejauh ini, dari bab satu sampai ending, dengan typo bertebaran, dan ketidak jelasan di setiap bab-nya.
Sekali lagi aku mohon maaf, terimakasih sudah berkunjung ke lapak ini, saranghae 💞
***
Aku buka sesi tanya jawab nih, baik tentang ceritanya, atau mungkin ada yang kepo sama authornya, wkwkSilahkan isi di kolom komentar, kalau bisa di jawab, pasti aku jawab.
Papayy, sampai ketemu di cerita selanjutnya.🖤🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
ABYAN (end)
Teen FictionJika bisa memilih, mungkin seorang Abyan Naraga juga tidak ingin lahir dari 'sebuah kesalahan'. Sejak lahir, Aga di rawat oleh eyang dari Papa, karena kedua orangtuanya memutuskan untuk berpisah, usia yang masih muda membuat mereka merasa tak bisa m...