Aroma disinfektan yang menyengat membuat Aga tahu dia sedang berada di mana meski kedua matanya masih tertutup. Punggung tangan kirinya ngilu, dadanya terasa tidak nyaman seperti ada yang menempel dan sedikit menyengat. Hidung dan pipinya terasa tertekan, dan tangan kanannya yang terpasang oksimeter terasa hangat dan digenggam erat. Dari posturnya, Aga yakin jika yang menggenggam tangannya adalah papa.
Aga membuka kedua matanya secara perlahan, menyesuaikan cahaya lampu di langit-langit kamar yang berwarna putih terang membuat pandangannya sedikit buram. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca bukan karena menangis, tapi karena terasa panas dan perih. Ingin di usap, tapi tangannya begitu lemas. Aga meremas pelan tangannya yang di genggam papa, berharap pria paruh baya itu akan merasakannya.
"Pah ... pah ..."
Uap air terlihat di balik masker oksigennya kala suara yang coba aga keluarkan hanya berbentuk angin. Tapi usahanya membuahkan hasil, papa terduduk tegak kemudian menatap Aga yang sedang tersenyum lemah.
"Loh, kok nangis? Ada yang sakit? Bilang sama papa?!"
Senyumannya semakin lebar melihat papa begitu panik, kemudian anak itu menggeleng pelan.
"Hah ... ush ..."
Bayu mengusap sudut mata Aga menggunakan tisu yang tersedia, kemudian mengambil minum yang sudah lengkap dengan sedotan agar pasien mudah meminumnya. Tangannya yang lain terulur untuk menarik masker oksigen yang di gunakan putranya, kemudian mengarahkan ujung sedotan ke mulut aga.
"Kamu tidurnya lama banget, bikin papa panik."
Aga hanya menatap Bayu yang sudah kembali duduk sambil mengusap rambutnya. Tubuhnya terlalu lemas bahkan hanya untuk sekedar menganggukkan kepala.
"Tadi Eyang sama Mami kesini, tapi papa suruh pulang. Baru aja, kalau kamu bangun lebih cepet, pasti mereka gak bakal pulang."
Aga mengerjapkan matanya pelan, kemudian mencoba berbicara meskipun sangat sulit. Suaranya hilang, dadanya sedikit sakit jika di paksa bersuara.
"Ma ... ma ..."
Senyum Bayu langsung luntur ketika menangkap gumaman Aga.
"Gak usah tanyain dia, sekarang kamu sama papa. Pulang ke rumah papa."
Aga mengalihkan pandangannya ke langit-langit kamar. Mendengar jawaban papa, Aga langsung teringat apa yang terjadi sebelum dia kembali terdampar di tempat ini. Pertengkaran mama dan Oma yang melibatkan Aga membuat anak itu merasa bersalah.
Sejak Aga mulai mengingat, Oma Rossa memang sama sekali tak pernah mengajaknya berbicara lebih dulu, sejak Aga masuk SMP, dia tidak pernah mau ikut lagi di acara keluarga mamanya. Selain berbeda keyakinan, Aga selalu merasa di kucilkan karena statusnya. Selain Oma, om dan Tante dari pihak Mama pun bersikap sama. Hanya Opah yang menganggapnya berbeda, selalu memperlakukannya layaknya seorang kakek pada cucunya. Tapi sayang, tuhan sudah lebih dulu menjemput opah ketika Aga memasuki kelas enam SD.
"Papa gak suka, Aga tinggal di rumah Oma. Bukannya mau menjauhkan Aga dari Mama, tapi papa gak mau lihat kamu disakiti lagi, dan selalu berakhir seperti ini. Papa minta maaf, mungkin dulu papa juga selalu mengabaikan Aga, papa merasa bersalah karena selalu menuruti ego papa. Papa hanya ingin berubah, kamu itu putra papa, kesayangan papa."
Aga kembali menatap Papa, bilang saja dia plin-plan. Perasaannya tak pernah menetap, mungkin dulu dia benci papa dan Mama karena mereka berdua lebih memilih keluarga masing-masing tanpa satupun yang mengajaknya untuk bergabung. Tapi seiring berjalannya waktu, Aga paham jika dia ikut dengan salah satu dari merekapun tidak akan baik juga.
Bayu mengeratkan genggaman tangannya, "Harusnya papa yang minta maaf, karena kesalahan papa, kamu yang harus jadi korban. Aga, papa benar-benar ingin mengulang semua dari awal. Papa ingin lebih dekat sama Aga, jadi papa mohon, setelah ini kamu tinggal sama papa, di rumah papa."
Tapi akhir-akhir ini, Aga akui jika kedua orangtuanya memang berubah. Mereka lebih sering menghubunginya, entah apa yang terjadi. Namun Aga senang, meskipun tidak pernah merasakan bagaimana hidup dengan orang tua kandung yang lengkap dan utuh, Aga bisa merasakan kasih sayang mereka sekarang. Setelah umurnya menginjak usia delapan belas tahun.
Tangannya yang lemas dipaksa bergerak untuk membuka masker oksigen yang menghalanginya mengeluarkan suara.
"Aga ... Minta maaf ... Pah," ucap anak itu dengan susah payah.
"Karena Aga, ... Kalian ... Jadi berantakan ... hah ... hah "
"Enggak nak, ini bukan salah kamu. Ini kesalahan Mama dan papa. Jangan menyalahkan diri kamu seperti ini."
Bayu hendak memasang masker oksigen itu kembali saat Aga terlihat terengah-engah, tapi anak itu menggelengkan kepalanya.
Tiba-tiba air matanya mengalir deras, membuat Bayu kelimpungan karena napas Aga ikut tersendat. Pikiran negatif mulai berdatangan, membuat kepalanya pusing dan napasnya jadi berat. Tapi Aga tidak mau berhenti menangis bahkan setelah Bayu membawa Aga dalam dekapannya. Sambil mengusap punggung rapuh putranya, Bayu terus mengucapkan kalimat penenang. Sedikit bingung juga ketika Aga terus menggeleng saat tangannya hendak memasangkan masker oksigen, tombol darurat juga cukup jauh dari jangkauan tangannya.
"Udah, jangan nangis. Napasnya jadi sesak kan?"
"Ma...af."
"Maafin ... Aga ... hah ... hah ..."
"Hiks ... hiks ... Maafin ... Aga ... Uhhuukk ...""Uhhuukk ... Uhhuukk ... Akh ... "
"Shut, udah udah. Aga gak salah, gak perlu minta maaf. Papa sayang sama Aga, Aga putranya papa. Dan akan terus begitu, udah udah."Bukannya tenang, tangis Aga malah makin menjadi membuat anak itu semakin kesulitan bernafas. Mencengkram dadanya dengan erat, kemudian menepuknya secara brutal saat sesak itu kian menerjang.
"Hah ... hah ... Uhhuukk ... Uhhuukk ..."
"Akh... Sakit ..."
"Ppah ... Pahh ..."
"Akh ... Hah ... hah ..."
Bayu menepuk pipi Aga yang mulai memejamkan matanya, tangannya menarik tangan Aga yang masih memukul-mukul dadanya. Keringat dingin mulai bercucuran di dahi Aga, padahal malam ini hujan cukup deras. Bayu yang kepalang panik lantas berteriak memanggil dokter dari dalam, dia tidak bisa mencapai tombol darurat karena tubuh Aga mulai lemas dalam dekapannya. Teriakannya semakin keras saat tangannya terasa hangat karena darah dari hidung Aga yang mengalir begitu deras sampai membuat baju rumah sakit yang berwarna biru itu menjadi merah. Bising tanda vital Aga yang awalnya bernada jadi nyaring tak beraturan.
Tubuh anak itu bergetar hebat seperti kedinginan, giginya terkatup rapat seperti mrnahan sakit, bahkan selang infus dan oksimeter yang terkait pun ikut terlepas, Suhu tubuhnya meningkat drastis membuat Bayu semakin mengeratkan pelukannya. Pintu terbuka kasar saat tubuh Aga tiba-tiba mengejang, napasnya berantakan, matanya memutar ke atas dengan kedua tangan mencengkram erat, kakinya bergerak tak karuan membuat Bayu seketika lemas dan jatuh ke lantai.
Pikirannya kosong, sampai salah seorang perawat memapahnya berjalan keluar ruangan dan kembali menutup pintu. Yang terkahir kali dia lihat adalah ketika dokter yang kalang kabut menahan tubuh Aga yang terus bergerak tak karuan. Bayu mendudukan dirinya di lantai rumah sakit yang dingin, sepi malam hari membaut Isak tangisnya terdengar memilukan. Putranya baik-baik saja, tadi baik-baik saja, kenapa jadi begini?
***
Hay Hay...
Mohon maaf kalau ceritanya gak nyambung, lagi berusaha buat di sambungin sih🙈
Maaf baru menyapa👋
Aku Cicikayy, salam kenal👋See you again 👋👋
KAMU SEDANG MEMBACA
ABYAN (end)
Teen FictionJika bisa memilih, mungkin seorang Abyan Naraga juga tidak ingin lahir dari 'sebuah kesalahan'. Sejak lahir, Aga di rawat oleh eyang dari Papa, karena kedua orangtuanya memutuskan untuk berpisah, usia yang masih muda membuat mereka merasa tak bisa m...