Aga mengerjap pelan ketika lampu di langit-langit berwana putih itu menyorot ke matanya. Setelah menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina, Aga menyadari jika dirinya berada di rumah sakit. Wajahnya tertutup masker oksigen, tangan kanannya terasa kebas dan pegal akibat jarum yang terhubung dengan selang dan sekantung darah itu menembus pembuluh Vena di lipatan sikutnya.
Aga tidak tahu apa yang terjadi setelah dia menutup pintu kelas kemarin, koridor lantai dua sudah sangat sepi ketika Aga tiba-tiba merasa sesak dan tubuhnya meluruh begitu saja. Aga dapat merasakan jika saku jaketnya bergetar menandakan ada panggilan masuk, namun sesak yang tak kunjung berhenti itu membuat Aga menyerah, dan membiarkan kegelapan menghampirinya.
Aga ingin berteriak memanggil Saga yang tertidur di sofa, masker oksigen ini sungguh tidak nyaman. Dia haus, tenggorokan nya kering. Memang kampret si Saga ini, jagain orang sakit malah tidur. Baru saja ingin menutup mata, suara pintu terbuka membuat Aga mengurungkan niatnya. Melihat siapa yang datang, senyumannya langsung mengembang meskipun membuat pipinya terasa sakit.
Melihat mata Aga sudah terbuka, Mami Sonya langsung berlari dan menggenggam tangan dingin Aga.
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar sayang."
Mami Sonya langsung menekan bel yang berada di atas ranjang Aga, tak lama kemudian Dokter Bram datang bersama suster Hana.
"Wah ... Pasien nakal sudah bangun ternyata," sapa dokter Bram.
Suster Hana langsung melakukan tugasnya, mengukur kadar oksigen di tubuh Aga menggunakan oksimeter yang di capitkan di ibu jarinya.
"Kadar oksigen nya sudah naik dok, hanya belum stabil saja."
Dokter Bram mengangguk paham, kemudian memeriksa detak jantung Aga menggunakan stetoskop yang terhubung ke telinganya.
"Keadaan Aga sudah membaik, masker oksigennya boleh di ganti sama nassal canul."
"Gimana, pusing kan?" Tanya dokter Bram dan di angguki Aga, "HB kamu turun drastis tadi, bikin panik se UGD, datang-datang udah kayak vampir. Padahal jadwal transfusi kamu masih dua Minggu lagi," omel dokter Bram.
"Untung saya ganteng ya dok, pasti tadi udah mirip vampir kayak di film twilight yang sering Kak Hana tonton," jawab anak itu setelah suster Hana selesai memasang nassal canul nya.
Dokter Bram melotot, Mami Sonya menyentil pelan dahi Aga yang sudah mulai tertutup poni, dan suster Hana tertawa.
"Ganteng ndas mu! Kulit pucat, bibir biru, ganteng dari mananya?" Sahut dokter Bram.
Aga tertawa sampai terbatuk-batuk, "tuh kan, makanya gak usah banyak gaya. Mending tidur lagi."
"Saya haus dok," ucap Aga memelas.
Dokter Bram malah tertawa, "Saya lupa bertanya, udah gemes pengen ngomel soalnya."
Mami Sonya langsung memberikan Aga minum dibantu sedotan, karena anak itu belum boleh bangun.
"Ya sudah, nanti saya kesini lagi jika transfusinya sudah selesai. Suster Hana, tolong pantau terus ya. Kalau begitu, saya permisi."
Suster Hana mengangguk, "Baik, dok."
"Iya dok, terimakasih," jawab Mami Sonya.
Dokter Bram keluar di ikuti suster Hana, kemudian Mami Sonya kembali menatap Aga, "Mending Aga tidur lagi ya, tadi Mami udah telpon Papa, dia bilang mau kesini, nanti mami bangunin kalo Papa udah Dateng."
"Iya, Mi."
Aga membiarkan memejamkan matanya, elusan lembut yang Mami berikan di kepalanya membuat pusing itu sedikit hilang, digantikan ketenangan, sehingga kantuk mulai menyerang, membuat Aga melepaskan dirinya ke alam mimpi.
Waktu sudah menunjukan pukul delapan malam ketika Satya dan Gavin datang dengan dua loyang martabak ketan dan sekilo buah mangga. Tepat saat Saga kembali ke rumah sakit setelah pamit pulang untuk mandi, dan sekarang bergantian dengan Mami Sonya yang pulang di antar Papa. Mereka berdua patungan untuk membeli makanan tersebut karena tau itu adalah salah satu makanan favorit Aga.
Saat ini, anak itu sedang duduk di ranjang, untungnya dia hanya perlu sekantung darah, sehingga jarum besar itu tidak berlama-lama menembus kulitnya, nassal canul nya juga sudah di lepas, membuat dia sedikit bebas. Aga melipat kedua tangannya didepan dada, mulutnya mengerucut dan matanya memicing membuat mata minimalis itu semakin tenggelam, ketika melihat Gavin dan Saga dengan lahapnya memasukan potongan martabak ketan yang masih mengepulkan aroma lelehan mentega tersebut ke mulut mereka.
"Kalian itu bawa makanan buat gue, apa buat bekal, sih? Kok malah di makan sendiri!" Pekiknya tak terima.
Masalahnya, ketiga manusia dengan tingkat kewarasan yang di pertanyakan itu malah menggelar piknik dadakan di ruang rawat Aga, iya, bertiga, karena Satya juga ikut-ikutan dengan mereka, duduk lesehan di lantai sambil memakan buah Mangga.
"Tadi katanya pusing, kalau pusing itu gak boleh makan martabak," kata Gavin sambil dengan sengaja melakukan gerakan slow motion saat memasukan mastebak itu ke mulutnya.
"Dih, apa hubungannya pusing sama gak boleh makan martabak?"
"Ya ada, itu adalah teori baru hasil penelitian profesor Elgavin Siahaan berdasarkan pasal 1 ayat 5."
Sontak jawaban absurd Gavin membuat Satya gemas dan menggeplak kepala belakangnya, "gak nyambung, goblok!"
Saga tertawa saat melihat Gavin tersedak akibat terkejut, "Kualat kan, ngerjain orang sakit."
"Tega banget Lo Sat, kalo gue mati gegara keselek kan gak elit."
"Lebay!" Cibir Satya.
Saga mengambil kotak martabak yang tersisa dua potong, kemudian berjalan menghampiri Aga dan duduk di kursi yang ada di samping ranjang Aga.
"Nih," kata Saga sambil menyodorkan kotak martabak tersebut.
Aga tersenyum senang, kemudian mengambil sepotong martabak yang mulai dingin itu. Aga itu sangat bar-bar jika berhubungan dengan makanan, dia bukan tipe orang pemilih dan memakan apapun yang tersaji di hadapannya. Untungnya, ke bar-baran Aga masih berlaku meskipun anak itu sedang sakit, membuat keluarganya sedikit tenang karena tidak perlu susah-susah membujuk Aga supaya makan.
"Wahh, enaknya," kata Aga setelah menelan segigit martabak favoritnya itu, membuat Saga yang duduk di sampingnya menatap gemas. Tangannya terjulur untuk mengecek kening Aga, ternyata masih hangat, pikirnya.
"Jangan gini lagi ya, Ga."
Tadi siang, dia menelpon Aga untuk memberi tahu anak itu bahwa dia sudah berada di gerbang, tapi Aga tak kunjung menerima panggilannya membuat Saga mulai cemas. Dia menelpon Satya, dan Satya bilang jika Aga kembali ke kelas karena kunci motornya tertinggal, keadaan sekolah yang sudah sepi membuat Saga berani masuk ke dalam, hanya ada satu kendaraan yang tersisa di parkiran siswa, dan itu adalah motor Aga. Saga langsung berlari menaiki anak tangga karena dia tau jika kelas aga berada di lantai dua, saat sampai di ujung tangga, nafasnya yang masih tersengal akibat berlari semakin tercekat ketika melihat sosok yang di cari sudah tergeletak di lantai.
Aga menghentikan acara makannya setalah mendengar suara lirih Saga yang kini sedang menunduk. Lagi, dia membuat orang di sekitarnya kerepotan, membuat Eyang Mira menangis, membuat Mami harus bulak balik kerumah sakit, membuat ucapan Aldo terngiang-ngiang kembali, dan membuat pening di kepalanya kembali menghampiri.
"Maaf."
Dan sialnya, hanya kata itu yang dapat keluar dari bibirnya.
Next chapter....
KAMU SEDANG MEMBACA
ABYAN (end)
Teen FictionJika bisa memilih, mungkin seorang Abyan Naraga juga tidak ingin lahir dari 'sebuah kesalahan'. Sejak lahir, Aga di rawat oleh eyang dari Papa, karena kedua orangtuanya memutuskan untuk berpisah, usia yang masih muda membuat mereka merasa tak bisa m...