11

5.5K 485 14
                                    

Hujan turun begitu deras malam ini, membuat suhu di rumah Oma semakin dingin. Siang tadi, setelah dokter memperbolehkannya pulang, Aga langsung di boyong ke rumah Oma oleh Mama, ternyata Mami Sonya sudah menyiapkan tas berisi keperluan Aga selama menginap, sehingga dia tidak perlu pulang dulu ke rumah Eyang.

Aga menarik selimut sampai ke leher, ini masih pukul dua pagi sehingga ruangan tanpa air conditioner ini terasa begitu dingin, kemudian dia menyamping dan terlihat lah wajah cantik Mama Nadya yang tertidur di sampingnya. Seketika tubuhnya merasa hangat, dingin yang sedari tadi menusuk kulit itu pergi entah kemana. Meskipun harus berdebat dengan Damian, bocah tengil kelas dua SD yang sialnya menjadi adik tiri Aga, selalu ada pelangi setelah hujan, Aga menang dan berakhir tidur di peluk Mama semalaman.

Rasanya Aga tidak rela jika malam ini akan segera berakhir, dia bertekad untuk tidak kembali tidur agar bisa berlama-lama memandang wajah damai Mama yang sedang memejamkan mata di sampingnya. Tapi kantuk menyebalkan itu mulai menghampiri dan sekuat apapun Aga menahannya, tetap saja matanya yang sudah berat mulai terpejam, dan kembali terlelap saat Adzan subuh berkumandang dari ponsel yang dia simpan di bawah bantal.

"Mas Aga! Bangun!"

Aga yang dari dulu mudah di bangunkan langsung terkesiap saat mendengar pekikan anak kecil tepat di telinganya. Jantungnya berdegup kencang karena terkejut, matanya memejam saat kepala belakangnya seperti di tusuk-tusuk, dia kurang tidur. Setelah dirasa lebih baik, aga duduk di tepi kasur dan memandang anak laki-laki yang masih memakai piyama oodboods yang saat ini sedang menatap polos kearahnya.

"Mian Banguninnya pelan-pelan dong, kaget tau!"

Anak laki-laki bernama Damian itu hanya mengangkat bahu sambil menaikkan kedua alisnya secara bersamaan, membuat Aga mendengus malas.

Aga turun dari kasur, kemudian berjalan keluar kamar sambil menguap lebar, membuat Damian ikut mengejarnya dari belakang.

"Mas Aga, gak mandi dulu?"

"Orang ganteng mah, gak usah mandi, cil."

Damian bergidik jijik saat melihat Aga mencolek-colek ujung matanya kemudian mengusapkannya ke baju. Bocah berpiyama biru itu langsung berlari menuju ruang makan.

"Bunda! Mas Aga, nya, gak mau mandi!"

Mata Aga langsung terbelalak saat mendengar teriakan Damian yang menggema di seluruh ruangan, dia langsung berlari ke ruang makan yang ternyata sudah ramai pengunjung. Dapat Aga lihat jika Damian sedang memeluk perut mamanya, Aga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, kemudian duduk di samping Om Darel.

"Emangnya kamu udah mandi, dek?" Sahut ayah anak itu tanpa mengalihkan perhatiannya dari koran yang sedang dia baca.

"Aku kan masih kecil, mas Aga udah gede," rengek anak itu tak terima karena bundanya juga ikut menertawakannya.

Mama Nadya mendudukkan Damian di kursi di samping Oma, kemudian wanita yang dipanggil bunda oleh Damian itu duduk di kursi yang tersisa, di ujung meja diantara Damian dan Aga.

"Mama kok gak bangunin Aga, sih?"

"Kamu tidurnya pulas banget tadi, Mama gak tega banguninnya."

Sarapan berjalan lancar, Aga sedikit iri saat melihat Damian di suapi oleh Mama. Aga melirik kursi yang tadi di duduki oleh Oma sudah kosong, dia menghela napas pelan. Selalu seperti itu, dalam satu tahun, Aga bahkan bisa menghitung berapa kali dia berbicara dengan Oma.

Hanya tersisa Aga dan Mama di ruang makan, matanya terus memandang wanita yang yang sedari tadi hilir mudik mengambil piring kotor ke tempat cuci piring.

Aga menelan tiga butir obat yang berbeda itu sekaligus, meskipun setelahnya sedikit terbatuk-batuk.

"Habis ini, Mama mau ke Gereja. Aga mau ikut?"

Anak itu menggeleng pelan, buat apa dia ikut? "Aga di rumah aja, Ma."

Tak lama setelah itu, Damian muncul dengan setalah batik biru dan celana hitam senada dengan Om Darel, ayahnya. Di ikuti Oma Rossa yang datang dengan dress hitam polos dan tas genggam berwarna putih. Mama Nadya pamit untuk ganti baju, setelah siap semuanya lantas berangkat ke tempat ibadah mereka.








Senin kembali datang, seperti biasa, Aga yang tadi pagi di antar mamanya ke sekolah itu sudah nangkring di tembok sambil senyum-senyum manis di bawah pohon rindang. Satya dan Gavin yang ikut duduk di sana sebelum upacara dimulai pun lantas duduk menjauh, takut si Aga ketempelan penunggu pohon mangga yang ada di belakang mereka.

Bel masuk berdering kencang, membuat seluruh siswa yang masih berada di kelas, berhamburan kelapangan untuk mengikuti upacara mingguan. Petugas PMR yang baru keluar dari ruangan mereka hanya menggeleng pelan, belum juga upacara dimulai, sudah ada pasien yang sedang duduk bersila sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah dua pemuda yang berlari menuju barisan kelas mereka.

Raya duduk di samping Aga setelah meletakan kotak obat, sebenarnya dia sudah tidak wajib menjadi petugas, kerena sudah kelas dua belas dan sudah ada petugas yang baru, tapi Raya punya titipan dari seseorang agar selalu memperhatikan Aga selama di sekolah.

"Tumben udah disini, Ga?"

Dari kelas sepuluh, hanya Raya gadis yang berani mendekati Aga terlebih dahulu. Entah kenapa, padahal Aga gak gigit, loh, dia juga sama-sama makan nasi.

"Karena gue lagi seneng."

Raya mengerutkan keningnya sampai membuat alis tipis itu hampir menyatu, baru hendak menjawab sebuah suara membuat Raya menoleh kebelakang. Terlihat dua perempuan petugas PMR yang baru di Lantik kemarin, datang dengan segelas teh yang masih mengepul. Pipi mereka sedikit merah membuat Raya tertawa pelan.

"Kak Aga, ini teh hangat nya."

Aga ikut menoleh ke arah suara, kemudian menerima secangkir teh hangat dari dua perempuan yang di yakini masih kas sepuluh itu.

"Wahh, padahal gue belom minta, loh. Btw, thanks ya."

Pipi mereka semakin merah saat Aga tersenyum manis sambil menerima teh yang mereka berikan, keduanya mengangguk cepat kemudian berlari menuju sekumpulan anggota PMR baru yang baru di beri tugas membuat teh manis atau membeli makan.

"Cie, Aga punya fans baru."

Raya mencolek pinggang Aga saat lelaki itu sedang menyeruput teh, membuat yang di colek langsung tersedak karena kegelian.

Raya yang tadinya tertawa pelan langsung panik kemudian menepuk pelan punggung Aga, dia mengambil alih cangkir yang di pegang Aga supaya tidak jatuh.

"Biasa, orang ganteng," ucap Aga setelah batuknya mereda.

Raya mengambil tisu yang yang terletak di dalam tas p3k, kemudian mengusap dahi Aga yang sedikit berkeringat karena tersedak.

"Pagi-pagi gini udah keringatan, jangan-jangan Lo gak mandi ya?"

Aga baru saja ingin meminum teh nya kembali ketika Raya mengusap halus dahinya dengan tisu, tangannya mengambang sambil menatap wajah Raya yang berada di sampingnya. jantungnya langsung berdegup kencang, tapi kali ini, dadanya tidak sesak, kepalanya tidak pening, dan telinganya tak berdengung. Malah wajahnya yang terasa panas, padahal tidak ada matahari yang menyorot karena terhalang dedaunan. Sial, kenapa malah dia yang baper?


























ABYAN (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang