Setelah insiden mimisan dua Minggu yang lalu, Mami Sonya selalu membuatkan bekal makan siang untuk Aga. Padahal, dokter bilang penyebab mimisannya itu bukan karena salah makan, tapi karena Aga sedang tertekan dan banyak pikiran.
Sebenarnya Saga juga dibuatkan bekal, tapi anak itu menolak dengan alasan sudah besar. Kalau Aga justru senang dibuatkan bekal, uang jajannya jadi aman dan dia tidak akan tergoda oleh jajanan kantin yang sangat pantang untuk dia makan. Apalagi aroma kuah bakso yang menjadi langganan Satya dan Gavin saat istirahat, sangat menggoyahkan iman Aga.
Setelah selesai menjalani hukuman, akhirnya Aga kembali mengendarai motornya ke sekolah meskipun harus di antar oleh Saga, insiden mimisan itu juga membuat Eyang Mira melarangnya berkendara sendirian. Terpaksa, selama dua Minggu, Aga harus terjebak dalam kecanggungan dengan Eyang Gusti, saat berangkat dan pulang sekolah. Bukannya apa, hanya saja, Aga tidak terlalu dekat dengan Eyang Gusti.
Setelah Saga memastikan Aga sampai ke sekolahnya dengan selamat, pemuda yang mengenakan celana hitam itu segera putar balik menuju sekolahnya.
Aga memarkirkan motor dan melepas helm, kemudian segera beranjak menuju kelasnya yang ada di lantai dua. Saat sampai dikelas, ternyata sudah cukup ramai, termasuk dua mahluk yang menjadi sahabat Aga, siapa lagi kalau bukan Gavin dan Satya. Tanpa memperdulikan tatapan orang-orang, aga berjalan santai menuju kursinya.
"Udah ngerjain PR?"
Bukannya menyapa, Gavin malah bertanya mengenai PR kimia yang belum dia kerjakan. Sudah minta ke Satya, tapi tidak beri tahu.
"Udah." Aga segera mengeluarkan buku kimianya, "nih."
Gavin berteriak senang sambil mengambil buku Aga, sedangkan Satya hanya memutar bola matanya malas.
"Kebiasaan. jangan sering-sering lah, Ga, keenakan nih bocah."
Aga tertawa pelan, diantara ketiganya, memang Satya lah yang paling pintar. Dia menduduki peringkat 3 selama dua tahun terakhir. Kalau Aga itu sedang lah, pintar tidak, bodoh juga tidak. Setiap tahun, peringkatnya hanya menetap di angka 15. Beda lagi dengan Gavin, meskipun sering menjadi peringkat 3 di urutan terakhir, kelebihannya ada di bidang olahraga, terutama futsal.
"Aga mah bae, gak kaya situ," sahut Gavin yang sedang menyalin tugas milik Aga.
Satya mencibir pelan, "Yang Minggu kemarin ngasih jawaban bahasa Inggris siapa ya? Lupa gue."
Dengan kekuatan secepat kilat, Gavin berhasil menyalin jawaban kimia sebanyak dua lembar itu hanya dalam waktu sepuluh menit. Entah bagaimana dengan tulisannya, yang penting sudah ada jawaban yang bisa dia kumpulkan.
Gavin menepuk pundak Aga yang duduk di depannya sambil menyodorkan buku bersampul Cokelat itu, "nih."
"Udah selesai? Cepet amat."
Gavin menunjukkan deretan gigi rapinya, dan Satya yang menyahut dari depan, "liat tulisannya, Ga, udah macem cacing pasti."
Aga meringis setelah melihat tulisan Gavin, Satya memang tidak salah, benar-benar macam cacing itu tulisan. Aga pusing sendiri membayangkan bagaimana Pak Hendra akan membaca tulisan itu, untung beliau menggunakan kacamata. Sehingga ada lapisan yang membuat tulisan cacing itu tidak langsung ke mata.
Tak lama, bel masuk berbunyi. Siswa siswi yang berhamburan mulai duduk rapi di kursi masing-masing.
Bel istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu, Gavin dan Satya sudah pergi ke kantin untuk membeli makanan yang nantinya mereka bungkus dan dimakan di kelas bersama Aga. Tiba-tiba handphone Aga bergetar menandakan ada panggilan masuk, saat dilihat tertera nama Mama Nadya.
Aga segera menggeser ikon hijau dengan logo telpon rumah tersebut.
"Halo, Ma."
"Aga, gimana kabarnya sayang?"
"Alhamdulillah sehat, Mama?"
"Mama juga sehat, udah makan belum? Sekarang jam istirahat kan?"
"Nunggu Satya sama Gavin dulu, Ma."
"Oke, jangan lupa minum obatnya ya. Mama cuma mau ngabarin, Minggu depan Mama ke rumah Oma, kamu nginep ya."
Aga terdiam sebentar,
"Iya Ma, kalo gak sibuk, Aga bakal nginep."
"Harus pokoknya, udah dulu ya. Mama masih di kantor. Nanti Mama telpon lagi, tadi Mama udah transfer uang buat jajan. Jangan nakal, Bye."
"Bye."
Aga segera mematikan sambungan telepon itu, sejak Aga punya rekening, Mama selalu menransfer uang jajannya. Padahal dulu, sebelum Aga punya rekening sendiri, Mama selalu menemuinya dan memberikan uang jajannya secara langsung. Apalagi, tadi Mama mengatakan kalau Aga harus menginap dirumah Oma.
Aga menepis pikiran negatif yang mulai berdatangan, sebelum kepalanya makin pusing Aga segera meletakan ponsel itu di kolong meja. Dan mengeluarkan kotak bekal berwarna biru muda dari dalam tasnya, sebelum Satya dan Gavin datang.
Kursi di samping Aga bergeser, ternyata Raya. Tanpa sadar membuat senyum aga mengembang. Sehari setelah Aga membawa bekal, Raya juga ikut membawa bekal. Hingga hari ke hari berlalu, mereka semakin dekat seperti teman lama.
"Hay, Ga."
Aga mengangguk singkat, "Tunggu Satya sama Gavin dulu, ya."
"Oke, hari ini menunya apa?"
Aga menunjukan kotak bekal miliknya yang berisi Nasi, tahu, dan sayur hijau , "Seperti biasa."
"Mau coba punya gue?" Tawar Raya sambil menunjukan isi kotak bekalnya. Sebenernya cukup menggiurkan, ada nasi, lengkap dengan rendang dan sayur.
"Bisa disidang 24 jam gue, kalo ketauan makan daging merah."
Raya tertawa, tak lama Gavin dan Satya datang dengan dua kotak berwarna putih dan juga minuman kaleng. Kemudian menarik kursi agar mengelilingi meja Aga.
"Udah berdua-duaan aje, lu, tong," kata Gavin sambil membuka kotak putih yang berisi mie goreng.
"Berduaan matamu! Temen yang lain apa kabar? Kagak keliatan?" Balas Aga, sambil melempar bekas tisu.
Raya menatap Satya dan Gavin bergantian, "tumben kalian lama?"
"Si Gavin minta ditemenin ke kamar mandi, mana ngantri lagi," sahut Satya.
Aga tertawa kencang, Gavin ini dari dulu tidak berani ke kamar mandi sekolah sendirian, kebanyakan nonton film horor membuat lelaki itu jadi parno sendiri saat ke kamar mandi sekolah yang selalu berada di ujung koridor.
"Mantan kapten futsal, takut ke kamar mandi sendirian."
Ketiganya tertawa melihat wajah Gavin yang tertekuk masam sambil mengerucutkan bibirnya. Bukannya kasihan, mereka malah makin terbahak.
Hingga bunyi handphone Aga kembali terdengar, kini layar itu menampilkan nama Mami Sonya, tanpa pikir panjang Aga segera menjawab panggilan tersebut.
"Kenapa,Mi?"
"Aga udah makan?"
"Ini lagi makan, Aga gak lupa minum obat, kok."
Dapat Aga dengar kekehan kecil di seberang sana,
"Pulang sekolah jangan main ya, langsung pulang pokoknya."
"Biasanya juga langsung pulang, Mi."
"Iya, Mami tau. Cuma mau ingetin aja."
"Kenapa, Mi?" Mendadak perasaan Aga jadi tidak enak.
"Ada Papa kamu di rumah, katanya pengen ketemu Aga. Ada yang mau di bicarakan."
Next chapter.....
KAMU SEDANG MEMBACA
ABYAN (end)
Teen FictionJika bisa memilih, mungkin seorang Abyan Naraga juga tidak ingin lahir dari 'sebuah kesalahan'. Sejak lahir, Aga di rawat oleh eyang dari Papa, karena kedua orangtuanya memutuskan untuk berpisah, usia yang masih muda membuat mereka merasa tak bisa m...