24

8K 687 96
                                    

Mungkin ini yang namanya takdir, hari ini benar-benar tidak bisa di tebak oleh Aga. Jatuh dari motor, gagal punya pasangan dan yang paling menyesakkan adalah pengakuan masing-masing orang yang katanya keluarga itu mengenai kehadirannya. Poin terakhir bahkan lebih menyakitkan dibandingkan ketika eyang Gusti meninggal Minggu lalu, dari dulu, Aga selalu berpikir jika dirinya beban, namun seiring berjalannya waktu, ada Saga yang membuatnya yakin dan percaya bahwa keluarganya benar-benar ada, namun pada akhirnya, ketika menerima dan mulai percaya, harapan itu malah di jatuhkan sejatuh-jatuhnya.

Untuk kedua kalinya, Aga mengunci pintu kamar dari dalam. Tanpa melepaskan pengaitnya pada pintu supaya tidak ada orang yang bisa masuk menggunakan kunci cadangan. 

Tubuhnya meluruh, membiarkan sunyi dan gelap menyapa membuat dirinya seakan lupa bagaimana caranya bernapas. Air matanya masih mengalir deras di iringi tarikan napas yang kian sulit di hirup, ternyata oksigen juga ingin menjauhinya.

Aga merangkak menuju nakas dekat kasur mengandalkan cahaya jendela yang ditutup tirai, buram yang terlihat membuat kepalanya semakin berat, benturan bekas jatuh itu ternyata baru terasa sekarang, atau mungkin sudah dari tadi namun aga tidak sadar, tapi ada yang salah, titik tersakit di tubuhnya bukan dibagian terbentur aspal, melainkan di ulu hati yang beberapa hari ini sedikit membengkak.

Sakit sekali, seperti ada ribuan jarum yang menusuk secara bersamaan. Aga tidak kuat, tubuh yang baru bergerak lima puluh sentimeter itu terbaring dilantai. Rasa sakit yang datang dari segala arah membuat Aga tak bisa berkerak, tubuhnya mulai terasa panas dan sedikit bergetar, aga ingin berteriak namun dadanya terasa seperti terbakar dan ada yang mendesak keluar, ingin membalikan badan sekedar untuk muntah pun tak bisa, membuat cairan merah yang keluar dari mulutnya itu berhamburan ke wajah serta leher dan bahu.

Aga mengerang, bahkan untuk berteriak sakit pun aga tidak sanggup, padahal rasanya sakit sekali. Air matanya kembali meluruh membuat dadanya semakin sesak, pikirannya kalut. Aga takut ini adalah hari terkahir nya di dunia, tanpa ada yang mendampingi juga dengan masalah yang belum terselesaikan, tapi aga pasrah, sakit yang membabi buta itu membuat aga terbuai dalam dengung panjang juga kegelapan yang membawa tubuhnya terasa ringan, hingga sakit itu perlahan hilang seiring dengan mata yang terpejam pelan.

***

Saga mengepalkan tangannya di depan pintu utama rumah yang masih terbuka, niatnya memberi kejutan perihal hubungannya dengan raya yang baru resmi hari ini hancur sudah setelah mendengar perdebatan memuakkan yang tak kunjung selesai dari  dulu. Semuanya memang egois, terutama orangtua Aga yang sama sekali tak mau menurunkan ego masing-masing.

Melihat aga yang berlari menaiki anak tangga lantas membuat jantung Saga berdegup kencang, wajah pucat serta napas berantakan itu terlihat jelas, bagaimana mungkin Saga lupa ketika raya memberitahu bahwa Aga jatuh dari motor pagi tadi, melihat keluarganya malah diam setelah Aga berlari membuat emosinya semakin naik.

"Mau kalian itu apa, sih?"

Semua mata yang tadinya menatap kosong mulai mengalihkan atensi mereka pada sosok yang kini berdiri sambil menenteng helm hitam kesayangannya.

"Aku gak ngerti--"

" Mami gak bilang kalau kita mau pindah, kenapa gak ajak Aga?"

Bambang menatap putranya dengan datar, "delapan belas tahun sudah cukup untuk merasakan sosok ibu, Aga perlu mandiri dan Mami adalah ibu kamu, Saga!"

Saga menggeleng pelan, "aku gak masalah," katanya, "Aku rela kalau Mami lebih sayang Aga daripada aku, karena aku tahu, Aga gak akan bisa dapat kasih sayang seorang ibu dari ibu kandungnya yang gak tahu diri itu!"

"Saga!!"

Mami Sonya berteriak ketika Saga mengatakan kalimat terakhirnya, kemudian dia menggeleng cepat.

ABYAN (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang