12

4.9K 503 6
                                    

Aga berlari cepat berlawanan arah dengan segerombolan manusia berseragam abu-putih yang menuju kelas masing-masing setelah upacara dinyatakan selesai sepuluh menit yang lalu. Setiap Senin, tepatnya sehabis upacara akan dilakukan pemeriksaan rambut, seragam, kuku, dan sepatu pada seluruh siswa baik itu laki-laki ataupun perempuan, Aga yang notabenenya pemuja rambut gondrong ala opaa-oppa langsung ngacir ke kelas sebelum banyak orang yang menyadari kalau dia sudah hilang dari lapangan. Ketika teman sekelasnya mulai memasuki ruang kelas, Aga tiba-tiba ingin buang air kecil membuat dia harus cepat-cepat sebelum pelajaran pertama dimulai.

Untungnya toilet lantai dua sudah di perbaiki, sehingga dia tidak perlu naik turun tangga agar bisa mengosongkan kandung kemihnya. Setelah menyelesaikan misinya, Aga langsung mencuci tangan dan membasuh wajahnya. Melirik ke arah cermin yang terletak di atas keran, wajahnya terlihat pucat dengan nafas sedikit memburu akibat berlari melewati lima ruang kelas.

Pintu bilik kamar mandi yang lain kembali terbuka, menampilkan sosok pemuda yang katanya tampan bernama Aldo. Entah kesialan atau apapun, tapi Aga rasa sekarang dia akan mendapatkan kesialan.

Aldo berjalan ke arah keran air di samping Aga, tatapannya menajam ke arah Aga melalui cermin.

"Gue udah peringatin buat jauhin Raya," ucap Aldo kemudian berbalik ketika langkah Aga terhenti di depan pintu keluar, "tapi Lo ngeyel juga, ya."

Aga mengurungkan niatnya untuk menarik gagang pintu, kemudian berbalik, "Gue gak pernah deketin Raya."

Aldo berjalan kemudian mencengkram kerah seragam Aga yang kancingnya terpasang sampai atas, menariknya dengan keras kemudian membanting tubuh Aga ke pintu kamar mandi. Punggungnya terasa sakit, apalagi bagian pinggang yang terhantuk dengan daun pintu.

"Gak usah munafik, Lo, Ga."

"Munafik ... apa?" Jawab Aga dengan susah payah, Aldo terlalu kuat menarik kerah seragamnya, membuat lehernya terasa di cekik.

"Lo suka, kan, sama Raya?"

Melihat Aga kembali diam membuat dia naik pitam, tangannya kanannya terlepas hendak memukul rahang Aga namun dia urungkan ketika melihat manusia di depannya mulai kesusahan bernapas. Aldo melepaskan kerah seragam Aga, bagaimanapun dia tidak mau membuat nilai minus karena ketahuan membuat cucu Wakasek itu sekarat di kamar mandi.

Uhhuukk ... Uhhuukk ...

Aga menepuk dadanya dengan brutal ketika sesak itu kian menjadi, mencoba tenang, kemudian menerapkan apa yang sering Saga lakukan ketika dia tiba-tiba sesak napas.

Aldo yang masih berada di sana hanya menatap Aga dengan datar sambil melipat kedua tangan di depan dada, tubuhnya bersender di pintu keluar sehingga Aga tidak bisa melarikan diri.

"See? Orang lemah kayak Lo, gak pantes buat Raya."

"Gue gak nyangka, anak kesayangan para guru ternyata bermuka dua," balas Aga.

Kedua alis tebal Aldo mulai menukik, tatapannya kembali menajam, tangan yang semula bersedekap di depan dada kini saling mengepal di samping tubuhnya.

Aga berdiri setengah membungkuk, menatap remeh pada Aldo yang mulai tersulut emosi.

"Kenapa? Kalau satu sekolah tau kelakuan murid kebanggaan mereka yang sebenernya itu kayak gini, gue yakin, semua orang akan berfikir dua kali sebelum jadiin Lo sebagai idola."

Entah keberanian darimana Aga bisa mengucapkan kalimat jahat sepanjang itu, sesekali Aldo harus di gertak. Meskipun akhirnya, dia pasti kalah.

Aldo tersenyum miring mendengar perkataan Aga, kemudian berjalan mendekat.

"Anak Eyang mulai berani, ternyata."

Tanpa aba-aba, Aldo menendang perut Aga tepat di bagian ulu hatinya. Kemudian tersenyum puas saat Aga tersungkur ke belakang.

"Akh ... Uhhuukk ... "

"Huh, untung sepatu gue bersih," kata Aldo lalu ikut berjongkok di hadapan Aga yang meringis kesakitan sambil menekan ulu hatinya, "silahkan bilang apapun ke semua orang, karena gue yakin, gak bakal ada yang percaya."

Aldo terlalu pintar untuk meninggalkan barang bukti, menendang di bagian perut tak akan membuat orang lain curiga ketika mereka keluar dari kamar mandi yang entah kenapa begitu sepi pagi ini. Dengan santainya, dia berjalan meninggalkan Aga yang masih terduduk di lantai kamar mandi sambil memasukan kedua tangannya ke saku celana, seakan tak pernah terjadi apa-apa.














Aga berjalan lemas menuju gerbang rumah Oma yang tidak terlalu besar, setelah membayar ojek online yang dia pesan untuk bisa sampai ke tempat ini. Mama tidak bisa menjemput, Om Darel sedang mengajak anak manjanya berjalan-jalan. Aga membuka sepatunya saat sudah sampai di teras, kemudian meletakkannya di tempat yang sudah di sediakan, tangannya yang lemas mengetuk pintu sebanyak dua kali, hendak mengucap salam, namun dia ingat jika ini bukan di rumah Eyang.

Aga membuka pintu utama dengan perlahan, baru juga terbuka setengah, suara menyakitkan dari dalam sana membuat Aga mematung, tidak ingin mendengar lebih jauh tapi raganya seakan dipaksa untuk mendengarkan dan mengetahui kebenaran.

"Kamu kenapa gak bilang sih, kalau anak itu juga ikut nginap."

"Bu, yang ibu sebut 'anak itu', itu anak aku."

"Tapi ibu gak suka, Nadya. Harusnya kamu ngerti."

"Bu, ini sudah delapan belas tahun, kenapa Ibu belum bisa terima Aga, Bu? Dia juga Cucu Ibu."

"Tapi gara-gara dia, kamu kehilangan masa mudamu, Nadya."

"Ibu! Berapa kali aku harus bilang, Aga itu gak salah Bu. Yang salah itu aku, aku, Bu!"

"Tetap saja Nadya ... "

Tak ingin lebih sakit hati, Aga kembali menutup pintu dan berlari keluar gerbang yang belum dia tutup tadi.  Tubuhnya sakit, tadinya dia ingin mengadu dan bermanja-manja dengan sang Mama. Tapi kali ini, hatinya terasa lebih sakit daripada tendangan Aldo tadi, perkataan Oma sukses membuat Aga kembali jatuh, membuat Aga kembali mengingat bagaimana statusnya yang kata orang adalah anak haram. Tapi siapa mau lahir dengan julukan seperti itu? Jika bisa memilih pun, Aga ingin terlahir kembali di keluarga yang normal dan wajar, satu keyakinan, dan hidup berdampingan.






























ABYAN (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang