15

5.5K 538 9
                                    

Saga masih duduk termenung di kursi stainless yang ada di koridor, di sampingnya ada Eyang Mira yang masih menangis dalam dekapan Mami. Eyang Gusti berdiri di samping putranya, Bayu. Merangkul bahu pria berusia 40 tahun yang kini hanya berdiri lemas dengan tatapan kosong. Kaca besar itu begitu jelas memperlihatkan dokter yang mulai tenang setelah Aga berbaring nyaman, lengkap dengan peralatan yang Saga tidak tahu apa fungsinya. Yang jelas, bisa mereka lihat jika kedua mata Aga sudah terbuka, anak itu bahkan hanya diam ketika dokter mulai mengajaknya berbicara, tak mendapat respon, seluruh petugas lantas keluar ruangan, seorang dokter jaga berjalan menemui Bayu yang masih belum bisa mencerna keadaan.

"Dari hasil pemeriksaan sementara, putra bapak tidak apa-apa. Hanya mengalami syok berat, sehingga tubuhnya yang masih menyesuaikan obat mulai bereaksi. Tapi saran saya, bapak harus membawa putra bapak ke psikiater, saya rasa pikirannya sangat tertekan. Dilihat dari respon mata yang sama sekali tak menunjukan apapun, bahkan setelah di pancing dengan cahaya, sepertinya putra bapak mengalami depresi ringan."

"Tapi anak saya gak gila, dok."

"Iya pak, saya paham. Saya tidak bilang jika anak bapak mengalami gangguan jiwa. Namun sepertinya, psikisnya sedikit tertekan, menemui psikiater bukan hanya karena masalah kejiwaan pak, psikiater hanya teman cerita, menemukan solusi, dan berkonsultasi. Ini hanya saran saya, semuanya adalah hak bapak sebagai orang tua. Saya sudah menginjeksikan obat penenang, putra bapak tidak tidur. Ajak berbicara meskipun dia tidak merespon, dan pertimbangkan kembali saran saya. Kalau begitu, saya permisi."

Saga semakin menyandarkan punggungnya ketika mendengar penjelasan dokter barusan. Tidak mungkin jika adik sepupunya memiliki gangguan mental, yang Saga tahu, orang yang menemui psikiater adalah orang yang memiliki keterbelakangan mental. Eyang Mira semakin menangis, Bayu yang terisak pelan dalam dekapan eyang Gusti.

"Anak aku gak gila, Pah."

"Aku yang salah, semuanya salah aku. Karena aku, Aga jadi begini. Kenapa tuhan harus menghukum aku melalui Aga, pah? Mendengar dia memiliki penyakit sialan itu saja, rasanya lebih dari cukup. Kenapa putraku harus lebih tersiksa lagi?"

"Kamu ini orang cerdas, menemui psikiater itu bukan berati orang gila. Harusnya kamu sadar, Bay. Kamu belum bisa membuat Aga menceritakan semua bebannya sama kamu, dia belum percaya sepenuhnya sama kamu, sampai mentalnya tertekan dan berakhir seperti ini. Dia membutuhkan teman, psikiater adalah sesuatu yang Aga butuhkan sekarang."

Eyang Gusti memberikan petuah pada Bayu yang terlihat sangat prustasi, entah apa yang terjadi. Semuanya terlalu tiba-tiba. Bayu yang akhir-akhir ini terlihat sangat peduli pada Aga, dan Nadya yang kembali pulang setelah setahun lamanya hanya memberi kabar melalui telpon genggam. Eyang Gusti tidak tahu apa yang sedang terjadi pada keluarga berantakan putranya itu, dia senang karena Aga bisa merasakan kasih sayang orangtuanya seperti ini, namun semua ini terasa salah. Seperti ada yang mengganjal, ingin bertanya pada putranya, tali dia rasa ini bukan waktu yang tepat.

Lagi pula, eyang Gusti juga merasa bersalah pada cucunya itu. Delapan belas tahun Aga hidup bersamanya, berdampingan dengannya, tapi masalah yang di alami cucunya saja dia tidak tahu. Eyang Gusti duduk di samping Eyang Mira yang masih menangis sesenggukan, istrinya adalah saksi hidup dari sulitnya mempertahankan hidup seorang Aga semasa kecil, putrinya Sonya baru bergabung ke rumah setelah suaminya pindah tugas ke Sumatera sembilan tahun yang lalu. Aga yang sudah terdiagnosis mengidap talasemia mayor sejak lahir, membuat anak itu sering sakit. Pikirannya jadi terhambat karena pengaruh obat-obatan yang keras, membuat Aga sedikit melupakan masa lalunya dengan kedua orang tua kandungnya. Ketika Bayu menyibukkan diri dan Nadya yang menghilang bagai di telan bumi.

***

Lima hari mendapatkan perawatan, dan bertemu teman baru yang menyenangkan. Membuat kondisi Aga cepat stabil. Bayu mengikuti saran dokter untuk membawakan aga seorang psikiater, kebetulan, ada seorang psikiater baru yang masih muda, yang Bayu dengar dia baru lulus kuliah dan sedang magang. Bayu bukannya ingin memberikan putranya psikiater abal-abal karena mempercayakan magang untuk menemani putranya, tapi umurnya yang masih muda membuat Bayu yakin, jika Aga bisa nyaman berkomunikasi dengan yang seumuran.

Dan untungnya, dari hasil pemeriksaan ternyata tekanan batin yang di alami Aga belum sampai ke tahap depresi. Itu hanya reaksi tubuh yang lelah juga demam tinggi dan beban pikiran yang menumpuk jadi satu. Namun psikiater muda bernama Dimas itu tetap menyarankan agar Aga sering dibawa berkonsultasi dengan psikiater.

Meskipun kamar ini terasa asing, namun tetap nyaman. Aga baru tahu jika rumah papa baru di renovasi, sehingga ada yang berbeda. Kamar ini memang di sediakan Bayu khusus untuk Aga jika putra sulungnya itu menginap, dan rencananya Bayu akan membawa Aga bersamanya. Hidup dengannya, Bayu benar-benar ingin memperbaiki semuanya.

Aga yang baru pulang dua jam lalu itu hanya bisa duduk di atas kasur singel dengan spray hitam polos dan bantal bercorak abu. Di sampingnya, ada bubur yang di beli papa di perjalanan pulang, belum sedikitpun dia sentuh. Karena perutnya memang tidak lapar. Sejujurnya aga sedikit takut dengan ibu Trisha, dia tidak jahat, tidak baik juga. Hanya saja, Aga sedikit tidak nyaman.

Belum lagi tatapan bara dan Bella yang sedikit berbeda dari biasanya, membuat perasaanya makin tidak enak. Ah, rasanya Aga ingin tinggal di rumah eyang saja. Dia menyesal sering berdoa pada Tuhan agar bisa hidup dengan orangtuanya jika tahu akan begini.

Aga menolehkan kepalanya ketika pintu terbuka, ibu Trisha masuk dengan sebuah botol Tupperware satu liter dan sebuah gelas kosong, kemudian meletakannya di samping bubur yang masih terbungkus rapi itu di atas nakas di samping ranjang. Dia duduk di pinggiran ranjang Aga, kemudian membuka bungkus bubur tak bertoping dan meletakkannya di atas pangkuan aga yang tertutup selimut. Aga hanya bisa diam sambil memperhatikan apa yang akan ibu tirinya lakukan, ternyata membuka botol obat, mengeluarkan isinya sesuai dosis dan di letakan di lusin kecil.

"Makan, kamu baru keluar dari rumah sakit. Ibu gak mau kamu balik lagi kesana, Bella selalu menanyakan ayahnya, kemarin dia demam."

Aga mengerti sekarang, "Nanti Aga makan, Bu."

"Perlu ibu suapi?"

Ibu Trisha mengambil kembali bubur yang dia letakan tadi, kemudian mengarahkan sesuap pada mulut Aga yang masih tertutup. Anak itu menggeleng pelan kemudian mengambil alih bubur di tangannya.

"Kamu maunya apa sih? Ibu tahu, dia Papa kamu. Tapi kamu juga tahu, bahwa dia memiliki keluarga yang lain, Bella dan Bara masih kecil, ibu gak mau mereka kehilangan momen bersama ayahnya karena kamu yang sering keluar masuk rumah sakit, ibu juga gak mau lihat kamu sakit lagi."

Aga menunduk kecil, kemudian menyuapkan sesendok makan bubur ayam tawar itu ke mulutnya. Ibu Trisha menghela napas pelan, sepertinya dia kelewatan.

"Maaf, ibu gak bermaksud ... Ah, sekarang kamu makan, terus minum obat. Bekasnya taruh di situ aja, Nanti ibu bersihkan, setelah itu istirahat."

Dengan perasaan campur aduk, ibu Trisha meninggalkan Aga yang masih mengaduk bubur itu tanpa niat kembali memakannya, matanya melirik ke arah pisin obat yang isinya terlihat semakin banyak dan warna-warni. Apa perlu dia meminum permen memuakkan penyambung hidupnya itu jika seperti ini. Tidak ada yangemgerti perasaannya, siapapun itu. Bahkan aga sendiri pun bingung, dengan apa yang sebenarnya dia rasakan.








***

Note : penjelasan mengenai medis atau apapun yang mungkin gak masuk akal hanya karangan semata, jika ada kesalahan mengenai penjelasan harap di maklumi.

Jangan lupa tinggalkan jejak ✨

Cerita ini murni dari hasil pemikiran dan kehaluan-ku. Jika ada cerita yang sama Persis mungkin itu hanya kebetulan. Terimakasih ✨

ABYAN (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang