Saga masih membuka matanya ketika waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari, besok hari Sabtu dan sekolah libur. Jadi dia memutuskan untuk Mabar game online bersama kawan sekolahnya. Satya dan Gavin sudah pulang tiga jam yang lalu, sebenarnya mereka ingin menginap, tapi tidak di izinkan oleh orangtuanya. Rumah sakit begitu sunyi ketika Saga melepaskan ear phone karena ingin buang air kecil. Malam ini, hanya Saga yang menemani Aga di rumah sakit, Mami Sonya tidak bisa kembali ke rumah sakit karena hipertensi Eyang Mira kambuh, sudah menjadi kebiasaan jika Aga masuk rumah sakit.
Setelah selesai mengosongkan kandung kemihnya, Saga berinisiatif untuk mengecek kondisi Aga, sedetik kemudian, dia berlari panik ketika menyadari wajah Aga yang pucat pasi dengan peluh yang membanjiri dahinya. Saga merituki kebodohannya yang malah main game menggunakan ear phone sehingga tidak bisa mendengar gumaman Aga yang memanggil-manggil mamanya.
Saga nyaris berteriak ketika menyentuh kening Aga yang terasa panas, tapi tangannya malah sangat dingin. Tanpa pikir panjang, pemuda yang merangkap sebagai Abang sepupu Aga itu langsung berlari keluar untuk meminta bantuan dokter yang berjaga di meja resepsionis ruang rawat, padahal dia bisa menekan tombol di atas ranjang untuk memanggil bantuan, tapi Saga yang sudah panik tidak bisa berpikir jernih sehingga membuat keributan di tengah malam.
Saga ikut masuk ketika dokter jaga memasuki ruang rawat Aga, padahal sudah di peringatkan untuk menunggu diluar, tapi dia tetap ingin masuk dengan alasan takut, koridor ruang rawat itu selalu sepi meskipun di siang hari, apalagi ini tengah malam. Saga hampir menangis ketika dokter kembali memasang nassal canul di hidung Aga dan memasang infus di lengan kirinya, pikirannya mulai kemana-mana.
Dokter jaga berjenis kelamin laki-laki itu menepuk pundak Aga yang masih terdiam sambil menggigit jarinya.
"Gak papa, dia cuma demam biasa. Mungkin karena imun tubuhnya sedang turun."
"Kok sampe pasang infus dan oksigen dok? Tadi sore dia gak papa, loh."
Dokter itu tersenyum melihat bagaimana paniknya wajah Saga.
"demamnya cukup tinggi, jadi harus di infus supaya tidak dehidrasi, saya juga sudah menyuntikkan penurun panas di infusnya, mungkin satu jam lagi akan bereaksi. Napasnya kelihatan sedikit berat, jadi saya pasang oksigen supaya tidurnya nyenyak."
"Oh iya, kamu sendirian?" Tanya dokter itu, pasalnya pasiennya tadi terus menggumam memanggil mamanya.
"Mami gak bisa nginep dok, Eyang saya juga lagi sakit di rumah." Dokter tersebut mengangguk paham.
"Ya sudah, kamu jagain adiknya ya. Bentar lagi demamnya pasti turun, kalau ada apa-apa, tekan tombol ini saja," jelas dokter itu sambil menunjuk tombol yang menempel di dinding membuat Saga meringis malu, "gak usah lari-lari keluar."
Saga meringis malu ketika menyadari kebodohannya, "Maaf dok, panik banget tadi."
"Iya gak papa, kalau gitu saya keluar dulu ya. Kamu juga tidur lagi, ini masih malam, nanti ikutan sakit siapa yang jagain adiknya?"
Setelah dokter jaga itu keluar, Saga menarik kursi lipat yang tersimpan di bawah ranjang Aga, kemudian mendudukan dirinya di sana. Tangannya dengan cekatan mengambil tisu yang terletak di atas nakas, kemudian mengelap peluh aga yang sudah mulai berkurang membuat rambut anak itu sedikit lepek.
Sejujurnya dia merasa bersalah pada Aga, tadi setelah Saga menceritakan kronologis kejadian dirinya menemukan Aga yang tergeletak di lantai koridor dan membuat hipertensi Eyang Mira kembali kambuh, Aga langsung terdiam dan meminta maaf, hanya kata itu yang terucap sebelum dia kembali meletakan sepotong martabak yang baru habis setengahnya itu ke kotak dan menyerahkannya pada Saga. kemudian Aga membaringkan dirinya menyamping membelakangi Saga sambil menarik selimut sampai ke lehernya.
Saga kemudian menggenggam tangan dingin Aga yang terbebas infus, mengelusnya pelan, sambil menelungkupkan wajahnya di pinggiran kasur Aga. Kemudian mulai memejamkan matanya berharap kantuk segera datang dan menjemputnya ke alam mimpi, karena kejadian yang terjadi hari ini begitu menakutkan. Saga mulai terlelap, tanpa memperdulikan ponselnya yang tergeletak begitu saja di sofa, dengan layar yang masih menyala menampilkan arena game online yang sedang di skip, mungkin teman mabarnya sedang mengumpat karena Saga tak kunjung muncul kembali.
Mama Nadya sudah berada di rumah sakit ketika waktu masih menunjukan pukul enam pagi, bersama suaminya dia berjalan tergesa menuju ruang rawat putra sulungnya. Saat memeriksa ponselnya bangun tidur tadi, dirinya panik bukan main ketika mendapati pesan singkat dari Saga yang mengatakan jika Aga masuk rumah sakit setelah di temukan pingsan di sekolah. Apalagi saat melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Sonya membuat Nadya yakin jika keadaan putranya benar-benar tidak baik. Untungnya dia sudah sampai di rumah ibunya tadi malam, dan hari ini berencana menjemput Aga untuk menginap.
Nadya langsung berlari saat pintu ruang rawat Aga sudah terlihat, tanpa mengetuk pintu Nadya masuk begitu saja dan mendapati Putranya yang masih tertidur dengan selang oksigen yang melintang di hidung dan tangan kiri terpasang infus yang tersisa sedikit lagi di kantungnya, kemudian tersenyum saat melihat Saga yang tertidur nyenyak dikursi sambil menelungkupkan wajahnya di pinggir kasur Aga, dengan tangan yang masih saling menggenggam.
Nadya berjalan pelan menghampiri Saga untuk membangunkan anak itu, punggungnya pasti sakit tertidur dengan posisi seperti ini semalaman.
"Saga, bangun nak."
Entah keajaiban dari mana, Saga yang biasanya susah bangun langsung menegakan tubuhnya ketika merasakan tepukan pelan di pipinya.
"Loh, Tante Nadya." Saga kembali mengucek matanya, takut salah liat.
"Iya ini Tante, kamu pindah ke sofa gih, pasti sakit tidur kayak gini."
Saga menggeleng pelan, "Gak usah Tante, Saga mau cuci muka aja. Udah pagi juga, belom kabarin Mami."
Saga beranjak dari sana tanpa menyadari jika Mama Nadya tidak sendirian, tapi bersama suaminya, Om Darel.
Mama Nadya langsung menggantikan posisi Saga, matanya mulai berembun melihat putranya terbaring lemah di ranjang pesakitan. Om Darel, suami Mama Nadya hanya bisa mengelus bahu istrinya. Dia menggenggam tangan Aga yang sudah mulai hangat, tangan yang satunya lagi terjulur untuk menyentuh kening Aga yang dibasahi sedikit keringat, tapi sudah tidak panas.
Tiba-tiba pintu kemabli terbuka membuat Mama Nadya dan Om Darel menoleh ke belakang, terlihat seorang pria dengan setelan santai datang sambil membawa plastik putih berisi bubur ayam. Namun pria itu mematung di ambang pintu ketika matanya menangkap figur seorang perempuan yang duduk di samping ranjang putranya.
"Nadya."
"Mas Bayu."
KAMU SEDANG MEMBACA
ABYAN (end)
Teen FictionJika bisa memilih, mungkin seorang Abyan Naraga juga tidak ingin lahir dari 'sebuah kesalahan'. Sejak lahir, Aga di rawat oleh eyang dari Papa, karena kedua orangtuanya memutuskan untuk berpisah, usia yang masih muda membuat mereka merasa tak bisa m...