Penyesalan memang selalu datang di akhir, kalau di awal namanya pendaftaran, itu yang di katakan Saga. Dulu, Aga pikir dia akan hidup tenang saat masuk kelas IPA yang katanya di huni oleh siswa-siswi berkelakuan baik, iya, memang baik, tapi pelajaran wajibnya yang membuat Aga tidak baik-baik saja. Apalagi ketika pelajaran kimia sedang membahas proton, elektron, neutron, hukum Newton, lama-lama jadi tronton.
Aga menatap malas papan tulis yang sudah di penuhi oleh mahakarya pak Hendra. Kemudian melirik jam dinding yang tepat berada di atas papan tulis tersebut. Dalam hati, Aga menghitung mundur. Meskipun pak Hendra adalah guru yang terkenal paling killer seantero sekolah, tapi beliau benar-benar menghargai waktu, datang tepat waktu, dan menghentikan pelajaran jika waktunya sudah berakhir meskipun sedang di tengah-tengah materi.
Dan boom!
Akhirnya yang di tunggu-tunggu berbunyi juga, Pak Hendra pamit setelah membereskan barang-barangnya. Meninggalkan siswa-siswi yang langsung berhamburan untuk mengisi daya setelah dikuras habis-habisan oleh soal-soal Kimia. Begitupula dengan tiga sekawan yang beranggotakan Gavin, Aga dan Satya.
"Tumben ke kantin? Gak bawa bekal?" Tanya Raya sambil menuangkan sambal ke mie ayamnya.
Saat sedang memesan mie ayam, ternyata Raya juga ada di sana, jadi Aga mengajaknya bergabung, modus.
"Bawa, tapi gue lagi pengen makan mie ayam."
Raya mengangguk sambil membulatkan mulutnya, "Kalo gue emang gak bawa, Mama gak masak tadi."
Selang beberapa detik, Gavin dan Satya datang dengan semangkuk bakso dan sebotol minuman dingin.
"Eh, ada Raya," sapa Gavin sambil melekatkan mangkuk baksonya di atas meja.
"Ketemu Aga pas beli mie ayam, gak papa kan, gue ikut gabung?"
"Gak papa, santuy saja," sahut Gavin sambil menuangkan kecap ke kuah baksonya.
Satya yang sedang menuangkan saus melirik singkat ke mangkuk Gavin,
"Kuah bakso apa oli tuh, item banget."Aga tertawa pelan, "Kalo kuah bakso Gavin warna merah, auto jadi keajaiban dunia ke delapan."
"Gak sadar diri!" Ketus Gavin sambil memasukan sepotong bakso ke mulutnya. Karena mie ayamnya Aga juga dibanjiri lautan kecap, benar-benar hitam.
Raya yang melihat interaksi absurd ke tiganya itu hanya tertawa, benar-benar unik, pikirnya.
"Btw, Lo udah boleh makan mie ayam, Ga?" Tanya Satya.
"Siapa yang larang?"
Satya mendengus setelah mendengar jawaban Aga, "Bukan gitu maksudnya!"
"Kemaren gue makan mie ayam sama Saga, pas balik sekolah."
"Geblek!" Umpat Gavin.
"Si Saga, gak ngadu ke Mami?"
Aga menggeleng, "Enggak, asal mie ayamnya gue yang bayar."
"Saga? Kalandra Saga Anak SMK sebelah?" Tanya Raya memastikan.
"Iya, Lo kenal?" Sahut Gavin.
Raya mengangguk singkat, "Jadi, dia Abang lo, Ga?"
"Abang sepupu sih, tapi Gue manggil Mami nya Saga Mami juga, kebiasaan dari kecil."
"Lo, kenal Saga, dimana?" Tanya Satya.
"Waktu Porseni Gabungan pas kelas sebelas."
Makan siang mereka benar-benar penuh tawa karena lawakan receh Gavin, apalagi Raya, gadis yang baru sebulan sekelas dengan mereka itu sampai berkaca-kaca karena tak bisa menghentikan tawanya. Raya baru tahu, mantan ketua Futsal itu ternyata punya aib tak terduga yang di buka terang-terangan oleh sahabat karibnya, Aga.
Tanpa mereka sadari, ada tatapan tidak suka dari kejauhan, menatap benci interaksi hangat mereka, terutama Pada Aga yang duduk di samping Raya.
Aga sudah sampai di parkiran ketika menyadari jika kunci motornya tertinggal di dalam kelas. Dengan berat hati, anak itu harus kembali menaiki anak tangga setelah menyuruh Satya dan Gavin pulang lebih dulu dan memberitahu jika Saga akan segera sampai. Jadi mereka tidak perlu khawatir.
Sampai di kelas, Aga segera berlari ke mejanya untuk mencari kunci, tapi tidak ada, padahal Aga yakin jika dia menaruhnya di kolong meja, itu sudah menjadi kebiasaannya sejak pertama kali membawa kendaraan sendiri ke sekolah, padahal sudah di peringati Saga, takut hilang atau kelupaan seperti sekarang.
Aga menoleh kebelakang saat mendengar suara pintu di tutup. Ternyata Aldo pelakunya. Cowok itu berjalan ke arah Aga sambil melambai-lambaikan sebuah kunci di tangan kirinya. Kunci motor dengan gantungan bunga matahari yang sama persis seperti yang Mamanya berikan dulu, membuat Aga yakin jika kunci di tangan Aldo itu miliknya.
"Nyari ini?"
Aga menghampiri Aldo yang sudah duduk di meja guru, kemudian menjulurkan tangannya untuk mengambil kunci yang sedang di putar-putar di jari telunjuk itu. Tapi Aldo langsung menariknya ke atas.
"Eits, sabar dong."
Aga berdecak pelan, dia itu sedang lelah, ingin segera pulang, lalu makan, kemudian rebahan.
"Ck, balikin. Gue mau pulang."
Aldo menatap Aga remeh, kemudian mengetuk dagunya dengan jari telunjuk, "Pulang? Emang, Lo punya rumah?"
Entah apa yang dimaksud Aldo, tapi topik sensitif ini membuatnya sedikit emosi.
"Lo ada masalah apa sih sama gue?"
Melihat aga yang mulai emosi, membuat senyum Aldo mengembang, "Gak ada." Ternyata cukup mudah juga untuk memancing emosi Aga.
Tapi sedetik kemudian, senyum itu menghilang digantikan dengan wajah datar dan tatapan tajam.
"Gue ... Gak suka sama Lo."
Kening Aga mengkerut dalam.
Oke Aga, positif thinking.
"Kalau Lo suka sama gue, berarti Lo gak normal." Aga mencoba mengalihkan suasana.
Aldo semakin menatapnya tajam, "Gue gak suka Lo deket sama Raya!"
Aga sedikit terperanjat ketika Aldo meninggikan suaranya. Kemudian mengangguk paham, ternyata karena perempuan.
"Kita cuma temenan," jawab Aga sambil bersandar ke meja. Jujur, tubuhnya mulai terasa lemas. Apalagi setelah mendengar bentakan Aldo tadi.
"Gue juga gak suka, saat guru-guru bersikap beda sama Lo, hanya karena Lo cucunya Wakasek."
Aga diam, karena itu memang benar. Para guru disini memang sedikit mengistimewakannya. Entah karena kondisinya, atau seperti yang di katakan Aldo, karena dia Cucu dari wakil kepala sekolah. Tapi Aga tidak pernah meminta itu semua.
"Kenapa? Gak bisa jawab!" Aga bahkan masih diam ketika Aldo mendorong bahunya membuat Aga langsung terjatuh dan kepalanya terbentur sudut meja. Gawat, kepalanya mulai pening.
Aldo mendekatkan wajahnya, kemudian membisikan sesuatu yang membuat Aga semakin terpaku.
Aldo melempar kunci motor itu ke sembarang arah, tanpa memperdulikan Aga, dia segera berjalan keluar dan menutup pintu kelas dengan kencang. Meninggalkan Aga yang masih mencerna apa yang Aldo katakan barusan.
"Harusnya Lo sadar, Lo itu cuma beban, penyakitan, dan menyusahkan."
Iya, Aga sadar dia itu cuma beban, dia penyakitan, dan menyusahkan. Selama ini, tidak ada orang yang mengatakan ini dengan terang-terangan pada Aga, biasanya hanya melalui sindiran. Aga sedikit meringis ketika kepalanya semakin Pening, untung kunci motor itu tidak terlempar jauh, Aga segera mengambilnya kemudian berjalan pelan menuju parkiran.
Next chapter......
KAMU SEDANG MEMBACA
ABYAN (end)
Teen FictionJika bisa memilih, mungkin seorang Abyan Naraga juga tidak ingin lahir dari 'sebuah kesalahan'. Sejak lahir, Aga di rawat oleh eyang dari Papa, karena kedua orangtuanya memutuskan untuk berpisah, usia yang masih muda membuat mereka merasa tak bisa m...