Langit begitu jahat, kenapa dia terasa lebih cerah padahal hati aga sedang mendung. Remaja itu sedang duduk dilantai dingin ruang rawatnya, bersandar di pojokan dekat jendela, sambil menopang dagu dengan lutut yang di peluk erat. Punggung tangan kirinya masih mengeluarkan darah akibat jarum infus yang di cabut paksa, membiarkan kabel oksimeter dan selang oksigen menggantung di atas kasur. Sesekali air matanya kembali melewati pipi tirus yang mulai memucat itu. Aga tidak melamun, dia hanya merada kecewa pada dirinya sendiri, kenapa harus kambuh di saat seperti ini? Kenapa tubuhnya selemah ini? Sebelum obat bius bereaksi, Aga bisa mendengar jika Eyang akan segera di makamkan. Dan Aga bangun tepat 5 jam setelah itu. Dia tidak ikut mengantar Eyang ke peristirahatan terakhirnya, Aga tidak ikut memandikan Eyang, tidak ikut menyolatkan Eyang, Aga tidak sempat bertemu Eyang sebelum tubuh itu kembali ke tanah.
Aga marah, dia takut. Tidak ada seorangpun saat kedua matanya terbuka. Ruangan ini terlihat sangat menakutkan padahal aga sudah terbiasa, sendirian di tempat berjuang ini membuat Aga yang baru saja kehilangan takut kembali di tinggalkan.
Tubuhnya mulai bergetar, tangis yang hanya isakan kecil berubah menjadi lebih keras dan terdengar menyakitkan. Aga menenggelamkan wajahnya ketika bayangan Eyang kembali menghampiri, hingga suara pintu terbuka terdengar di telinganya. Bukannya lebih tenang, Aga malah semakin mengeraskan tangisnya, membuat orang yang baru datang itu kalang kabut ketika melihat ranjang kosong dengan darah berceceran di kasur langsung berlari menuju suara yang terdengar di balik nakas.
Tangis Bayu langsung pecah ketika melihat Aga yang tengah menangis keras di pojokan, pria paruh baya itu langsung memeluk tubuh putranya yang semakin bergetar tak karuan, berusaha menghentikan tangisnya dan menenangkan anaknya. Namun tiba-tiba Aga berontak, entah dapat tenaga dari mana Aga bisa mendorong Bayu sampai Papanya itu terjengkang ke belakang.
"AGA SALAH APA SIH, PAH?!" teriaknya dengan napas memburu.
Aga bangkit dari duduknya, menghempas tangan Papa yang mencoba menggapai tubuhnya.
"KENAPA TUHAN JAHAT SAMA AGA!!"
Bayu semakin ketar-ketir ketika mendengar suara mengi di setiap tarikan napas putranya, saat seperti ini suara Bayu malah tercekat, melihat Aga sekacau ini membuat Bayu tak bisa menghentikan tangisnya bahkan hanya sekedar untuk mengucapkan kata penenang.
"KENAPA AGA HARUS PENYAKITAN?! KENAPA HARUS AGA!! hiks..."
"KENAPA HARUS EYANG YANG PERGI! KENAPA BUKAN AGA! hiks... "
"JAWAB PAH!!"
"KENAPA!"
"Kena ... Ppa ... hiks ... Aga capek pah ... hiks..."
"Tuhan gak sayang sama Aga, hiks..."
Tangis anak itu kembali pecah, pintu terbuka dengan keras membuat orang di balik itu menutup mulutnya melihat keadaan kacau di dalam ruangan. Dokter jaga yang sudah datang tidak berani mendekat, membiarkan ayah anak itu menenangkan putranya. Jika di dekati secara paksa, akan lebih berbahaya.
Bayu berjalan pelan, kedua tangannya yang sudah bergetar menggapai tubuh Aga yang mulai lemas, memeluknya dengan erat, karena mereka sama-sama kehilangan.
"Aga ... Tenang nak, ... Jangan seperti ini ..." Sekuat tenaga menahan isakannya, ayah mana yang tidak hancur melihat putranya seperti ini.
"Aga capek pah ... hiks ... Yang sakit Aga ... hhahh ... kenapa eyang yang pergi? hiks ... "
"Aga pengen ikut Eyang pah, hiks..."
Bayu semakin mengeratkan pelukannya ketika mendengar racauan Aga yang terdengar semakin lirih, tidak, putranya tidak boleh pergi, putranya tidak boleh meninggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABYAN (end)
Teen FictionJika bisa memilih, mungkin seorang Abyan Naraga juga tidak ingin lahir dari 'sebuah kesalahan'. Sejak lahir, Aga di rawat oleh eyang dari Papa, karena kedua orangtuanya memutuskan untuk berpisah, usia yang masih muda membuat mereka merasa tak bisa m...