6

6.4K 585 5
                                    

Saga memasuki rumah beriringan dengan Eyang Gusti, tadi kendaraan mereka berpapasan di pertigaan menuju perumahan. Saga baru akan berteriak ketika melihat Mami berlari panik sambil membawa kotak tisu. Pikiran negatif mulai berdatangan, hanya satu hal yang langsung Saga ingat saat Mami berlari panik sambil membawa kotak tisu.

Aga.

Sontak saja keduanya ikut berlari, ketika tiba diruang tamu, dapat Saga lihat tubuh lemas Aga yang berada dalam dekapan Om Bayu, darah segar yang masih mengalir itu sudah turun ke dagu bahkan sedikit mengotori celana sekolah yang masih Aga pakai.

Eyang Gusti segera menghampiri istrinya yang masih menangis di samping Aga, kemudian mengelus pundaknya pelan. Sedangkan Saga, pemuda itu masih diam, cukup shock melihat Aga yang drop padahal tadi pagi baik-baik saja.

Setelah lima menit, akhirnya mimisan Aga berhenti. Mami Sonya kembali ke dapur untuk mengambil air hangat. Lembaran tisu yang sudah berwarna merah itu berserakan di meja ruang tamu. Papa belum melepaskan pelukannya, sungguh, saat ini dirinya benar-benar merasakan takut, takut jika Aga tiba-tiba pergi dari hidupnya.

Papa baru melepaskan pelukannya saat Mami Sonya datang dengan segelas air hangat, kemudian Aga meminumnya dengan perlahan hingga tersisa setengahnya. Aga memandang wajah Papa yang masih basah karena air mata, di lengan kemeja biru muda yang Papa kenakan terdapat titik-titik darah yang menetes di dagu Aga. Mungkin ini pertama kalinya Aga di peluk Papa saat sedang kambuh.

"Makasih, Pa. Makasih karena udah peluk Aga."

Aga merasa jika rasa sakitnya sedikit berkurang saat sedang di peluk Papa.

Air mata Papa kembali mengalir, kemudian kembali mendekap tubuh lemas Aga, "Maaf, Maafin Papa."

Eyang Gusti menepuk pelan pundak Papa, memberikan support pada putranya.

"Lebih baik Aga di pindahkan ke kamar, kasihan harus duduk begitu," titah Eyang Gusti.

Papa segera menggendong tubuh Aga, tubuh jangkung berkulit pucat itu terasa ringan. Bayu bahkan lupa, kapan terakhir kali dia menggendong putra sulungnya tersebut. Mami Sonya sudah berjalan lebih dulu untuk membuka pintu kamar dan merapikan kasur. Setelah memastikan posisi tidur Aga nyaman, Papa mencium kening Aga lama.

"cepet sembuh anak Papa, Papa pulang dulu, ya. Papa sayang kamu."

Setelah merapikan selimut Aga, Papa keluar kamar di ikuti Mami Sonya dibelakangnya, menutup pintu dengan perlahan supaya Aga tidak terganggu. Mami Sonya langsung menghampiri Saga yang masih diam di samping kursi, memeluknya erat sambil berkata bahwa Aga baik-baik saja.

Mami Sonya melepaskan pelukannya, kemudian menangkup wajah Saga, "Ganti baju dulu sana, terus langsung makan. Mami udah masak tadi, pasti kamu laper habis rapat OSIS."

Saga mengangguk, kemudian berjalan pelan menaiki satu persatu anak tangga yang entah kenapa terasa begitu panjang, padahal sudah sering dia lewati.

Bayu menghampiri kedua orangtuanya yang masih duduk di ruang tamu, dia harus pamit untuk menjemput Trisha di tempat kerjanya.

"Pa, Ma , Bayu pamit pulang ya."

"Mending Makan dulu, Sonya udah masak banyak tadi."

"Lain kali aja, Ma. Bayu harus jemput Trisha, takut telat."

"Ya sudah, hati-hati. Salam buat Trisha," balas Eyang Gusti.

Bayu mengangguk, setelah mencium tangan kedua orangtuanya, dia segera beranjak keluar di ikuti Mami Sonya. Sampai di depan pintu, Mami Sonya menahan tangan Bayu.

"Sering-sering main ke sini ya, Bay. Aga pasti seneng."

"Ku usahakan, Mbak."

Kemudian Bayu memasuki mobilnya, setelah membunyikan klakson satu kali, roda kendaraan tersebut mulai berputar dan menghilang di balik gerbang.






Keesokan harinya, seakan tidak terjadi apa-apa, manusia dengan nama lengkap Abyan Naraga itu sudah duduk manis di meja makan sambil menikmati semangkuk bubur ayam dan segelas teh manis hangat. Pagi-pagi buta, Aga sudah merengek pada Saga, minta di belikan bubur ayam, Aga bilang dia sedang tidak nafsu makan nasi. Padahal menurut Saga, nasi dan bubur itu terbuat dari bahan baku yang sama, yaitu beras.

Sebenarnya Saga malas, tapi mengingat Aga yang muntah-muntah sampai menangis semalam, membuat Saga rela mengantri di tukang bubur keliling yang setiap pagi mangkal di pertigaan.

Hari ini Aga diantar ke sekolah oleh Eyang Gusti, tadinya dia mau nebeng ke Saga, tapi abang sepupunya itu bilang kalau pagi ini sudah ada janji, mau menjemput sang pujaan hati. Aga turun di depan gerbang, Eyang bilang kalau hari ini ada rapat dengan komite sekolah. Saat Aga mencium tangan Eyang, kepalanya terasa di elus pelan.

"Kalau ada apa-apa, bilang ke guru. Jangan diem aja, ya?"

"Iya, Eyang."

Aga memasuki kawasan sekolah saat mobil Eyang sudah kembali melaju, sudah biasa menjadi pusat perhatian, mengabaikan tatapan memuja dari gadis-gadis di sekolahnya, apalagi adik-adik kelas yang baru satu bulan masuk sekolah. Siapa sih yang tidak kenal dengan seorang Abyan Naraga, kakak kelas ganteng Cucu wakil kepala sekolah yang sering keluar masuk UKS. Meski bukan golongan siswa pintar, dan tidak aktif di segala kegiatan, wajah tampannya lah yang membuatnya menjadi terkenal. Padahal, Aga tidak punya sosial media. Jadi, dari mana anak-anak baru ini mengenal dirinya?

Oke, terlalu banyak paparazi di sekolah.

Aga berjalan pelan di koridor lantai dua yang sedikit sepi, sambil mencari ponselnya didalam tas. Tiba-tiba, tubuhnya bertabrakan dengan seseorang, membuat pemuda jangkung itu sedikit terdorong ke belakang dan buku yang dibawa orang tersebut jatuh berserakan.

"Kalau jalan tuh, pake mata!" Sentak orang yang menabrak Aga.

"Setau gue, jalan itu pakai kaki."

Aga ikut berjongkok untuk mengumpulkan buku yang berserakan itu, tapi tangannya langsung di tepis kasar, membuat Aga jatuh terduduk di lantai.

"Gak usah!"

Dia Aldo, teman sekelasnya di kelas dua belas ini. Murid kesayangan para guru, pemegang peringkat pertama pararel selama dua tahun berturut-turut.

"Lo kenapa sih, Do? Gue cuma mau bantuin."

"Tapi gue gak butuh bantuan Lo!" Aldo langsung berdiri setelah bukunya kembali terkumpul, tanpa memperdulikan Aga yang masih terduduk di lantai.

Aga menatap punggung Aldo yang berjalan tergesa hingga menghilang di ujung tangga, dari awal masuk kelas dua belas, Aldo memang bersikap sinis padanya. Aga tidak tahu dia punya salah apa sampai Aldo tidak menyukainya. Mungkin lain kali, akan dia tanyakan. Itu pun, jika Aldo mau berbicara dengannya.

Next chapter....







ABYAN (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang