Aga berhasil berjuang Melewati hari-hari kurang mengenakkan di rumah papa. Setelah satu Minggu menginap dan tidak masuk sekolah, Aga memutuskan untuk kembali ke rumah eyang dan tidak mau lagi menginap di rumah orangtuanya, baik itu mama ataupun papa. Tidak ada kesamaan saat bersama mereka, Aga merasa jika dirinya terlalu asing bahkan untuk kedua orangtua kandungnya sendiri. Terbiasa hidup dengan Eyang, membuat Aga merasa jika mereka bukan rumahnya untuk pulang, ada yang kurang, tapi tidak tahu apa.
Meskipun sempat terkejut ketika mendengar ketukan pintu di tengah malam, Saga sebagai lelaki tetap memberanikan diri untuk mengintip di balik gorden jendela, matanya langsung terbelalak saat melihat seonggok manusia dengan pakaian ala musim dingin berdiri di depan pintu sambil menggenggam tali ransel yang menjuntai di kanan kirinya.
Saga cepat-cepat membuka kunci, kemudian menarik manusia yang menjelma sebagai adik sepupunya itu untuk masuk dan kembali mengunci pintu karena waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam. Yang di tarik hanya menyengir lebar, katakan saja Aga kabur. Meninggalkan sepucuk surat di meja makan, dan mencopot satu kunci di gantungan, aga berhasil keluar dari rumah papa yang satpamnya sedang tidur di pinggir gerbang. Kalau izin baik-baik, yang ada aga tidak akan bisa pulang. Hah, sepertinya hidup Aga memang akan tenang dan nyaman jika berada di rumah Eyang, baru masuk saja rasanya sudah membuat Aga ingin cepat-cepat menuju kamarnya yang sudah dua Minggu dia tinggalkan.
"Lo ngapain pulang malem-malem, anjir."
Aga meringis pelan, "Gue udah izin,kok."
Saga mengangkat sebelah alisnya, tidak mungkin Om Bayu melepaskan aga begitu saja.
"Gue udah ninggalin surat singkat di meja makan, pasti besok dibaca sama ibu tiri," ucap anak itu dengan entengnya membuat Saga seketika menepuk jidatnya.
"Seenggaknya kabarin gue, biar gue jemput. Pulang naik apa Lo, tengah malem gini?"
"Ini zaman milenium broh, apa gunanya HP bagus kalau gak di manfaatkan?"
Saga menyentil pelan kening Aga, "Milenial, dodol! Milenium-milenium, dikata dunia robot. Yaudah lah, yang penting Lo selamat, mending langsung istirahat, yang lain udah pada tidur. Gak mungkin gue bangunin satu-satu."
Aga mengangguk semangat, lagian dia juga sangat lelah. Ternyata jaket tebal ini tak bisa menghalau angin malam saat naik ojol tadi, lagipula apa yang bisa di harapkan dari tubuh bobroknya itu? Baru menaiki satu anak tangga, aga berbalik dan mengamati Saga yang kembali duduk di sofa ruang tamu.
"Lo, gak tidur? Besok hari Senin,"kata aga.
Saga mengangkat ponselnya yang lalu menunjukan layar buram yang dari jarak cukup jauh itu memperlihatkan siluet seorang perempuan. Membuat kening Aga mengkerut dalam, "Siapa tuh?"
Saga menunjukan senyum sombongnya, "Cewek gue, lah."
Ah, aga ingat sekarang. Dari beberapa bulan yang lalu, sepupu laknatnya itu selalu menyombongkan seorang gadis yang katanya adalah pacarnya. Tapi Saga tidak pernah memberitahu nama dan memperlihatkan wajahnya. Dia bilang, kalau waktunya sudah tepat akan dia ajak kerumah. Aga yang tadinya penasaran dan ingin menghampiri Saga untuk melihat lebih jelas lagi, dia urungkan ketika pening mulai mengunjungi kepalanya, tidak parah tapi lumayan menganggu.
"Sekolah woy, besok aja telponan nya. Bucin banget tengah malem Video call. "
Saga terkekeh geli melihat wajah muram aga, dia pikir aga iri karena dia sudah punya tambatan hati. Padahal, pemuda yang sedang berusaha menaiki anak tangga itu te gah menahan pening yang mulai meraja.
Aga mengatur napasnya ketika sampai di ujung tangga. Melangkah cepat ketika peningnya sudah berkurang, dibukanya pintu kayu yang tak pernah terkunci itu, melihat kamarnya yang di dominasi warna abu-abu, membuat senyumnya mengembang, aga melangkah masuk kemudian menutup pintu dengan pelan. Dia meletakkan ransel hitam itu di lantai, tanpa membuka sepatu, aga segera merebahkan diri di kasurnya yang masih wangi padahal sudah dua Minggu tak dikunjungi. Menatap langit-langit kamar yang penuh dengan gantungan bintang, aga mulai memejamkan matanya yang sudah berat. Lagi, dia mengabaikan rutinitas wajib yang harus dia lakukan, entah sengaja atau tidak, sejak tinggal diruang papa, aga tidak pernah meminum butiran pil penunjang hidupnya lagi. Karena aga pikir, semuanya sama sekali tak berguna, dan Aga ingin merasakan jadi manusia normal di sisa hidupnya.
***
Cerahnya mentari pagi ini tak bisa mengalahkan cerahnya wajah Aga yang sedang di beri ceramah panjang di pukul enam tiga puluh pagi. Seisi rumah kecuali Saga dibuat panik ketika Bayu menelpon jika Aga hilang, namun kepanikan itu berubah menjadi kegemasan kala melihat seonggok manusia yang sudah duduk rapi dengan seragam lengkap di meja makan, sambil menikmati teh hangat dan sehelai roti selai coklat buatan Bu Sari.
Aga duduk rapi dengan tangan terlipat di meja, senyumnya tak pernah luntur bahkan setelah eyang dan Mami Sonya bergantian memberikan pidato pagi, ah berasa lagi apel, pikirnya. Pemuda itu hanya mengangguk dan menggeleng saat mulai disudutkan, di seberangnya ada Saga yang menopang dagu sambil menyeruput segelas susu dingin, dia juga kecipratan pidato karena tidak memberitahu perihal kepulangan aga tadi malam.
"Aga dengerin Mami gak, sih?"
Yang ditanya hanya mengangguk, membuat wanita yang hampir menginjak usia setengah abad itu menghela nafas panjang.
"Lain kali jangan gitu lagi, ya? Kalau Aga mau pulang, izin baik-baik. Tunggu pagi dulu, jangan pulang tengah malam kaya gini."
Eyang Mira hanya tersenyum melihat anak perempuannya menahan kesal, karena wajah Aga yang sangat menyebalkan sekaligus menggemaskan. Eyang Gusti hanya diam saja setelah mengusap puncak kepala Aga, dia sedang kurang enak badan. Lagipula, istri dan anaknya sepertinya sudah cukup membuat telinga cucu nakalnya itu kepanasan.
"Saga juga, kenapa gak kasih tahu mami?"
Saga yang kembali kena cipratan langsung memberikan konfirmasi, "Kan aku udah bilang, kalian udah pada tidur. Masa, aku bangunin? Lagian, bocah ini juga gak papa. Masih kaya terkahir kita ketemu, kurus dan yang pastinya tidak lebih tampan dari aku."
Aga yang mendengar kalimat terkahir Saga langsung berlagak ingin muntah, ternyata keputusan absurd nya semalam berbuah manis. Meskipun harus menahan dingin, kehangatan seperti ini tak pernah bisa dia temukan dirumah kedua orangtuanya. Ah, rasanya ingin cepat sampai di sekolah, Aga rindu kawan sengkleknya yang selama dia dirawat tidak datang berkunjung, hanya bertemu melalui video call karena sang papa sangat membatasi geraknya. Sebenernya bukan hanya itu, sepertinya aga harus menghapus prinsip untuk tidak jatuh cinta, Sekolah juga membuat dia bertemu dengan raya, gadis perhatian yang membuat perhatian Aga terpusat padanya. Hah, hanya memikirkan raya saja sudah membuat Aga sesenang ini, sampai dia melupakan satu hal, dua Minggu terakhir mama sama sekali tak menjenguk bahkan menanyakan kabar melalui telpon genggam, benar kata orang, cinta itu buta. Bahkan bisa membutakan perasaan Aga, entah ini pertanda baik atau tidak, tapi kali ini, aga ingin memperjuangkan kebahagiaannya. Dan dia sangat yakin, jika kebahagiaan itu adalah raya. Petugas PMR, cinta ketiga Aga, setelah eyang Mira dan Mami Sonya.
**
Chapter ini ringan aja ya, lagi gak mood ngerjain Dek Aga, wkwk
Terimakasih banyak buat yang sudah berkunjung di cerita ini, terimakasih juga buat yang sudah memberi dukungan melalui vote dan komentar.
Saranghae✨
Next chapter, papayy✨
KAMU SEDANG MEMBACA
ABYAN (end)
Teen FictionJika bisa memilih, mungkin seorang Abyan Naraga juga tidak ingin lahir dari 'sebuah kesalahan'. Sejak lahir, Aga di rawat oleh eyang dari Papa, karena kedua orangtuanya memutuskan untuk berpisah, usia yang masih muda membuat mereka merasa tak bisa m...